Mohon tunggu...
Sindi Septiana Kusumawati
Sindi Septiana Kusumawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta

Jangan lupa baca Al-Qur'an

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Jejak Langkah Pencatatan Perkawinan: Sejarah, Analisis Makna, dan Dampaknya dalam Kehidupan Masyarakat

21 Februari 2024   21:32 Diperbarui: 21 Februari 2024   21:35 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sejarah Pencatatan Perkawinan di Indonesia

Pertama, Periodisasi sejarah hukum pencatatan perkawinan adalah mengacu pada berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dikarenakan, dengan berlakunya Undang-Undang tersebut sudah terwujud unifikasi hukum di bidang perkawinan, yang merupakan cita-cita utama dari merdekanya Indonesia.

Kedua, Periodisasi hukum pencatatan perkawinan adalah sebagai berikut:

A. Sebelum berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

1) Sistem Hukum Perkawinan Adat yang berlandaskan pada Hukum Adat.

2) Sistem Hukum Perkawinan Islam yang berlandaskan pada:

(a) Ringkasan Freijer (masa VOC tahun 1750-1765) 

(b) Hukum Islam(masa Deandels tahun 1800-1811) 

(c) Hukum Islam (masa TSUndian tahun 1811-1816)

(d) RR/Stbl. 1885 Nomor 2.

(e) IR/Stbl. 1925Nomor 416; Stbl. 1929 Nomor 221.

(f) RO Perkawinan Tercatat.

(g) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.

(h) Undang-Undang No.32 Tahun 1954 Tentang Berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di Seluruh Daerah Jawa dan Madura.

3) Sistem Hukum Perkawinan KUHPerdata yang berlandasakan pada Burgelijk Wetboek.

B. Setelah berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan atau masa unifikasi Hukum, yang berlandaskan pada:

 (a) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

(b) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

(c) Kompilasi Hukum Islam.

Ketiga, Sebelum berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ketentuan ketertiban perkawinan tidak diatur dalam Hukum Perkawinan Adat dan Hukum Perkawinan Islam sebelum kemerdekaan. Sebagai bukti perkawinan dalam Hukum Perkawinan Adat ada tiga, yaitu (1) pelaksanaan upacara adat, (2) terlaksananya rukun perkawinan (adanya wali dan dua orang Saksi), dan (3) terpenuhinya syarat perkawinan (mas kawin, penyelesaian jasa, dan pertukaran gadis). 

Sedangkan sebagai bukti dari perkawinan dalam Hukum Perkawinan Islam sebelum kemerdekaan adalah adanya wali dan dua orang Saksi. Namun Setelah kemerdekaan, dalam Hukum Perkawinan Islam telah dikenal dengan ketentuan "pencatatan perkawinan", dengan akta perkawinan sebagai alat bukti dari perkawinan. Namun dalam Hukum Perkawinan BW dan HOCI telah dikenal ketentuan "pencatatan perkawinan", dengan Akta Perkawinan sebagai alat bukti dari perkawinan, atau alat bukti lain sesuai penilaian dan pengakuan hakim atau penguasa jika tidak pernah ada bukti tersebut atau hilang.

Keempat, Masa setelah di undangkannya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah masa unifikasi hukum perkawinan nasional dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 sebagai ketentuan Undang-Undang izinnya, dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam sebagai peraturan pelaksananya. Dalam masa ini terdapat ketentuan keharusan "pencatatan perkawinan" yang selanjutnya diberikan alat bukti berupa Akta Perkawinan.

Mengapa Pencatatan Pernikahan Diperlukan?

Perkawinan tidak tercatat memberikan gambaran bahwa tidak adanya bukti yang menjelaskan adanya suatu perkawinan berupa akta nikah, maka tidak ada pula kepastian hukum di dalam perkawinan tersebut. Sehingga, suami yang melakukan perkawinan tanpa dicatatkan dapat untuk tidak mengakui anak dari istrinya itu. Hal ini tentu berdampak pada psikologis dan hak seorang anak. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum, pendidikan, ataupun kesejahteraan sosial.

Pencatatan perkawinan ini untuk memberikan kepastian dan perlindungan bagi para pihak yang melangsungkan perkawinan, sehingga memberikan kekuatan bukti autentik tentang telah terjadinya perkawinan dan para pihak dapat mempertahankan perkawinan tersebut kepada siapa pun di hadapan hukum. Dan Pencatatan perkawinan merupakan kewajiban administrasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk memberikan jaminan perlindungan hak asasi jika dikemudian hari timbul perbuatan hukum yang berimplikasi terjadinya akibat hukum sehingga dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta autentik sebagai suatu bentuk kepastian hukum. Bahwa pencatatan perkawinan dilakukan guna memberi kemanfaatan yang sebesar besarnya demi terciptanya kebahagiaan bagi banyak orang. Pencatatan perkawinan bukan menjadi penentu sah tidaknya suatu perkawinan. Hal ini yang kemudian menjadi faktor yang mengakibatkan banyak orang tidak melakukan pencatatan pada Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama (KUA) bagi orang muslim. Pada sisi lain, ketentuan ini merupakan suatu kesatuan saja, maka peristiwa perkawinan tersebut belum memenuhi unsur hukum yang ditentukan oleh undang-undang.

Analisis Filosofis, Sosiologis, Religius dan Yuridis Pencatatan Nikah

Pencatatan nikah melibatkan aspek filosofis, sosiologis, religius, dan yuridis yang penting dalam konteks budaya dan hukum. Secara filosofis, pencatatan nikah mencerminkan komitmen dan kesetiaan dua individu untuk saling mendukung dan melengkapi dalam perjalanan hidup mereka. Ini menyoroti nilai-nilai seperti cinta, tanggung jawab, dan kepercayaan.

Dari perspektif sosiologis, pencatatan nikah memainkan peran dalam membangun struktur sosial dan stabilitas dalam masyarakat. Nikah adalah fondasi dari keluarga, unit dasar masyarakat, dan pencatatan formal memfasilitasi hak dan kewajiban yang terkait dengan status perkawinan, seperti warisan, asuransi, dan hak-hak lainnya.

Dalam konteks religius, pencatatan nikah sering kali terkait dengan praktik dan doktrin keagamaan yang mengatur hubungan antara suami istri. Di banyak tradisi agama, nikah adalah ikatan sakral yang dianggap suci, dan pencatatan formal menjadi cara untuk mengakui dan mengamankan ikatan tersebut di hadapan Tuhan dan masyarakat.

Secara yuridis, pencatatan nikah diperlukan untuk memberikan perlindungan hukum bagi pasangan yang menikah. Ini mencakup hak-hak seperti hak waris, hak perwakilan hukum, dan hak-hak keuangan. Pencatatan juga memungkinkan pemerintah untuk memantau dan mengatur statistik perkawinan, yang penting dalam perencanaan kebijakan sosial dan ekonomi.

Secara keseluruhan, pencatatan nikah mencerminkan hubungan yang kompleks antara individu, masyarakat, agama, dan hukum. Ini merupakan titik temu antara nilai-nilai pribadi dan norma-norma sosial yang membentuk struktur masyarakat.

Perkawinan memiliki banyak kepentingan yang meliputi:

1.Aspek Sosial: Pencatatan perkawinan membantu dalam mengatur hubungan sosial antara individu-individu dan keluarga-keluarga yang terlibat. Ini membantu dalam mengidentifikasi hubungan keluarga, hak warisan, serta hak dan tanggung jawab sosial lainnya.

2.Aspek Religius: Dalam banyak agama, pencatatan perkawinan dianggap penting karena memvalidasi secara resmi ikatan antara pasangan dalam kerangka agama tertentu. Ini juga memfasilitasi pengakuan dan praktik keagamaan yang berkaitan dengan status perkawinan.

3.Aspek Yuridis: Secara hukum, pencatatan perkawinan menetapkan status hukum pasangan, hak dan kewajiban mereka, serta hak-hak anak yang mungkin dilahirkan dari perkawinan tersebut. Tanpa pencatatan, pasangan mungkin tidak memiliki perlindungan hukum yang sama, seperti hak warisan, hak asuransi, atau hak pengambilan keputusan medis.

Dampak dari tidak adanya pencatatan perkawinan bisa beragam, termasuk:

1.Ketidakjelasan Status: Tanpa pencatatan, status pernikahan seseorang mungkin menjadi tidak jelas dalam berbagai konteks, seperti dalam urusan hukum, sosial, dan keagamaan.

2.Ketidakpastian Hukum: Pasangan yang tidak mencatatkan pernikahan mereka mungkin menghadapi ketidakpastian dalam hal hak dan kewajiban hukum, seperti hak warisan, perwalian anak, dan hak asuransi.

3.Kehilangan Hak dan Proteksi: Tanpa pencatatan, pasangan dan anak-anak mereka mungkin kehilangan hak dan proteksi yang diberikan oleh hukum terkait pernikahan, seperti hak atas warisan, akses ke layanan kesehatan, dan perlindungan hukum dalam kasus perceraian atau kematian pasangan.

Secara keseluruhan, pencatatan perkawinan penting untuk memastikan ketertiban sosial, kepastian hukum, dan perlindungan hak individu dan keluarga yang terlibat.

Pencatatan perkawinan sangat penting, sebab buku nikah yang diperoleh merupakan bukti autentik tentang keabsahan pernikahan itu, baik secara agama maupun negara. Dengan buku nikah, mereka (suami-istri) dapat membuktikan pula keturunan sah yang dihasilkan dari perkawinan tersebut dan memperoleh hak-haknya sebagai ahli waris. Pada umumnya yang dimaksud dengan perkawinan tidak tercatat adalah perkawinan yang tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (selanjutnya disebut PPN) atau perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang Islam Indonesia, memenuhi baik rukun-rukun maupun syarat-syarat perkawinan, dan didaftarkan pada pejabat pencatat nikah. Sebaliknya, perkawinan tercatat adalah perkawinan yang tidak berada di bawah pengawasan PPN, dianggap sah secara agama tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak memiliki bukti -- bukti perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    - Selamat membaca, Semoga membantu -

Disusun oleh Kelompok 5:

1. Nida Ningtyas Alfiana Cila (212121094)

2. Qisthi Fatta Mu'alifah (222121016)

3. Alfian Apriansyah (222121021)

4. Sindi Septiana Kusumawati (222121034)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun