Mohon tunggu...
Vsiliya Rahma
Vsiliya Rahma Mohon Tunggu... Lainnya - Seseorang yang suka bermain dengan kata (🕊ϚìӀѵìą འ ą հʍ ą ա ą է ì🕊)

Manusia yang tak luput dari dosa dan hina

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Complete Hanging

2 Desember 2020   07:32 Diperbarui: 2 Desember 2020   07:37 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Bagaimana hasilnya?"


Seorang gadis dengan setelan jas putih yang tengah duduk sambil mengamati kertas di tangannya dengan teliti, seketika terkejut bukan main. 

"Tidak bisakah, kau mengetuk pintu sebelum masuk? Membuat kaget saja," ujar gadis itu dengan kesal. Sedangkan orang yang ia peringati hanya mengangkat bahu acuh, yang membuat sang gadis menghela napas jengkel.


"Bagaimana, Renesya?"


Gadis itu tersenyum, melipat tangan di depan dada sambil memandang remeh ke arah pemuda bernama Rexa itu.


"Renesya, jangan memancingku!" peringati Rexa.


"Begitukah caranya bicara dengan tunanganmu?"


"Tidak bisakah kau bersikap profesional?!" bentak Rexa yang sudah kehabisan stok kesabaran menghadapi tunangan sekaligus dokter forensik yang diminta untuk membantu kasus penyelidikan yang ia tangani.


"Baiklah-baiklah." Rexa menghela napas lega. "Mendekatlah!" Pemuda itu hanya menurut, dan ikut memusatkan perhatiannya pada kertas yang Renesya pegang.


"Kau bilang, kau tidak percaya bahwa Kexiana meninggal karena bunuh diri, lalu apa yang membuatmu berpikir seperti itu? Apa mungkin karena dia youtuber yang sedang naik daun dan tak memiliki skandal, sehingga dia tidak punya alasan untuk bunuh diri, apa seperti itu?"


"Ya."


Renesya terkekeh mendengarnya, sebelum berkata, "Ada apa denganmu Rexa, apa kemampuan analisismu telah lenyap hanya dalam hitungan hari karena patah hati?" 

Rexa membelalakkan matanya, sedangkan Renesya malah semakin tertawa kencang melihat ekspresi Rexa.


"Mana yang lebih kau khawatirkan, dituduh sebagai alasan kematian atau ... dituduh sebagai pelaku pembunuhan?" tanya Renesya setelah menghentikan tawanya. Lagi-lagi Rexa hanya diam, dan itu membuat Renesya menjadi sedikit merasa bersalah, apakah dia terlalu keterlaluan untuk menanyakan hal tersebut?


"Aku ingin tahu keadaan di TKP," ujar Renesya mencoba mengalihkan pembicaraan.


"Tubuh korban tergantung jauh dari atas tempat tidur, dengan tinggi korban yang hanya 160 cm, tidak mungkin bisa menjangkau tali di ketinggian 240 cm hanya dengan berpijak pada ranjang tempat tidur dengan ketinggian setengah meter." Renesya hanya mengangguk. "Ikatan yang kami temukan juga lebih kecil dari lingkar kepala, juga keadaan kamar yang berantakan."


"Lalu, bagaimana dengan alat pijakan lainnya?"


Rexa terdiam, menghela napas kasar hingga dapat terdengar di telinga Renesya. "Ada sebuah kursi di dekat tempat tidurnya."


"Kau sengaja tidak menjelaskannya dengan lengkap, itu tidak benar."


"Aku tau. Maaf."


"Lihatlah ini!" Renesya menunjuk gambar sebuah jejas jerat yang berupa lingkaran putus-putus yang meninggi ke arah simpul . "Kau tau apa artinya ini?"


Rexa hanya mengangguk, jejas seperti itu biasanya ditemukan pada orang yang gantung diri.

"Ini." Kali ini Renesya menunjukan sebuah gambar tulang leher yang mengalami dislokasi. "Fraktura pada tulang leher ini biasa terjadi pada kasus gantung diri akibat hentakan tiba-tiba karena seluruh tubuh hanya bertumpu pada leher. Juga ditemukan sianosis pada bibir juga kuku jari tangan dan kaki akibat kekurangan oksigen dalam darah. Jadi bisa disimpulkan bahwa korban meninggal karena mengalami asfiksia, yaitu kematian akibat kekurangan udara juga karena fraktura pada tulang leher."


Rexa mengacak rambutnya frustasi, dia masih tidak percaya bahwa Kexiana mati karena bunuh diri.


"Kenapa? Kau menyesal karena menjadi penyebab dari aksi bunuh diri Kexiana?"


"Diamlah! Aku mengenal Kexiana, gadis itu tak pernah puas sebelum mendapatkan apa yang dia inginkan. Bagaimana dia bisa mengakhiri hidup ketika ada sesuatu yang belum ia dapatkan?"


"Yang belum dia dapatkan? Maksudnya dirimu?" tanya Renesya dengan memasang raut wajah setenang mungkin yang membuat Rexa hanya terdiam.


"Aku tau semuanya Rexa, kau bahkan bertemu dengannya, sebelum dia meninggal." Setelah mengatakan itu Renesya tertawa dengan sangat kencang, sedangkan Rexa hanya diam, mengepalkan kedua tangan.


"Jangan menatapku seperti itu, Rexa. Atau orang lain akan berpikir kau telah membunuh Kexiana tanpa menyentuhnya."


Rexa menghela napas, tanpa berkata apapun pemuda itu berbalik, melangkah menuju pintu keluar.


 "Dia pasti sangat depresi sampai meminum citalopram."


Kalimat itu membuat Rexa berhenti melangkah, lalu berbalik, kembali menghampiri Renesya yang masih tersenyum di atas kursi.


"Citalopram?"


"Ya, citalopram, kami menemukannya pada darah Kexiana, citalopram atau celexa merupakan obat antidepresan SSRI, selective serotonin reuptake inhibitor yang berfungsi mengembalikan keseimbangan serotonin dalam otak, sehingga meningkatkan energi dan perasaan. Obat ini hanya bisa didapat dengan resep dokter karena citalopram adalah sianida dalam bentuk nitrit. Meskipun nitrit tidak berbahaya karena tidak mudah melepaskan ion CN, yang merupakam kelompok yang bertindak sebagai racun metabolisme, tapi penggunaan citalopram dengan dosisi tinggi akan menimbulkan perasaan ingin bunuh diri juga overdosis. Dan mungkin itu sebabnya---"


"Tunggu," potong Rexa cepat yang membuat Renesya mengernyit. "Kau bilang harus dengan resep dokter, bukan?"


 Renesya hanya mengangguk, yang membuat Rexa tersenyum, entah apa arti senyum itu.


"Kexiana sedang naik daun sekarang, semua aktivitasnya pasti dipantau oleh para penggemar juga heters, jika dia pergi ke dokter pasti akan ada pemberitaan tentang itu. Kau tau kan bagiamana orang-orang Indonesia itu kepo akut. Mereka bahkan rela masuk ke dalam lubang tikus untuk mendapat kabar terbaru."


Renesya mengangguk setuju. "Mungkin saja dia memiliki dokter pribadi atau mendapatkan obat dari seseorang."


"Apa menurutmu rumah Kexiana tidak ada yang ... akh, sial, mereka pasti juga tahu bahwa aku sempat datang ke rumah Kexiana," ujar Rexa sambil mengacak rambutnya frustasi.


Renesya berdiri, dia berjalan mendekat ke arah Rexa, lalu menunjukkan sebuah gambar pada pemuda itu. Dengan malas Rexa melihatnya, keningnya mengeryit ketika melihat sebuah goresan memanjang, kira-kira dua centimeter di betis kanan Kexiana. 

"Jika dilihat dari bentuknya, goresan ini tercipta karena benda tajam, tapi lebar goresan benar-benar sangat kecil, kemungkinan yang ada luka gores ini disebabkan oleh kuku. Jika Kexiana sengaja menggaruk betisnya sampai terluka, rasanya itu tidak mungkin, karena goresannya pasti lebih dari satu."


Rexa membelalakkan matanya mendengar itu, jika memang seperti itu berarti ada seseorang yang tidak sengaja melukai betis Kexiana.


"Ayo ke TKP, dan singkirkan masalah pribadimu terlebih dahulu," ujar Renesya kembali.


Baru saja Renesya ingin melangkah keluar, sebuah cekalan di pergelangan tangan menghentikan langkahnya.


"Kau yakin?"

"Tentu."

"Tetapi kita belum memiliki izin untuk melakukan penyelidikan kembali."


Renesya hanya tersenyum, sebelum berkata, "Lalu apa gunanya kekuasaan ayahku? Jika untuk mendapatkanmu saja bisa, maka untuk mendapat izin sangatlah mudah bagiku." 

Renesya tersenyum, lalu melangkah pergi meninggalkan Rexa.


Kedua orang itu kini sudah ada di TKP, mata Renesya menelusuri setiap sudut kamar Kexiana. Dilihatnya pintu kamar yang telah rusak karena dobrakan. "Kamar ini benar-benar berantakan."


"Itu juga salah satu kemungkinan yang membuatku yakin jika dia dibunuh."


"Jika dia depresi, keadaan kamar seperti ini sangatlah wajar." Kalimat itu seketika membuat Rexa terdiam. "Jadi, di posisi mana kalian saat di kamar ini?" tanya Renesya tanpa menoleh ke arah Rexa. Pemuda itu mendengkus sebal.


"Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku masuk ke kamar ini juga?"


Renesya menghela napas, lalu menatap Rexa. 

"Kexiana yang memberitahuku."


"Apa?!"


Renesya hanya tersenyum, tak berniat memberi penjelasan.


"Jadi ... posisi kalian di mana?"


Rexa tersentak, kali ini otaknya mulai bisa berpikir lebih cepat. Tanpa menjawab, pemuda itu melangkah menuju meja yang terletak di pojok kamar. Renesya yang melihat itu hanya tersenyum.


"Jika dia berniat merekam, maka tempat ini adalah tempat paling cocok untuk meletakkan kamera. Karena dari sini, seluruh ruangan kamar terlihat."


Rexa menajamkan penglihatannya, tak ada kamera, ponsel Kexiana saja ia temukan pecah berkeping-keping di dekat pintu. Mata Rexa mengernyit ketika melihat mata kanan boneka beruang berwarna kuning yang terletak dia atas meja. Diambilnya boneka itu, matanya membelalak ketika menyadari bahwa mata kanan boneka itu adalah sebuah kamera. Pemuda itu mendengkus kesal, bagaimana timnya ceroboh dan melewatkan barang bukti penting ini.


Renesya memilih berjalan keluar, dia menuju dapur, tanpa sengaja kakinya menendang sebuah tempat sampah. Dia mengernyit karena menemukan sebuah gelas yang berada di antara tumpukan sampah. Diambilnya gelas itu, lalu diperhatiakan baik-baik, tak ada warna juga bau ketika ia menciumnya, tetapi titik air masih tersisa di gelas itu. Dengan cepat wanita itu membawa gelas tersebut, lalu mengajak Rexa pergi.


Di ruangannya Rexa sibuk melihat rekaman yang ia temukan tadi. 

Dalam video terlihat bagaimana Kexiana berteriak sambil mengacak rambutnya frustasi. Lalu di detik berikutnya, seorang wanita paruh baya, yang tak lain adalah pembantu Kexiana juga sekaligus salah satu orang yang menemukan jasad Kexiana pertama kali , tengah masuk membawa segelas air putih.


Kexiana, merogoh sakunya, di sana dia mengambil sebutir obat dan menelannya. Sang pembantu keluar dengan gelas di tangan. Beberapa menit kemudian wanita itu memegang kepalanya, berjalan sempoyongan, menendang benda-benda di sekitarnya hingga menjadi berantakan, lalu gadis itu pergi ke kamar mandi, dari suaranya, sepertinya dia tengah memuntahkan seluruh isi perutnya. 


Kexiana kembali duduk di atas kasur, tiba-tiba dia mengalami kejang untuk beberapa menit, hingga dia menggelepar lemas tak berdaya.
Lalu pembantunya yang sudah sempat pergi, kembali ke kamar, kali ini dengan suaminya yang merupakan tukang kebun di rumah Kexiana, pria itu membawa sebuah tali tambang, membuat lubang pada plafon, dan mengikat tali tambang pada kayu yang tertutup plafon. 


"Apa dia benar-benar sudah mati?" tanya si pria.


"Iya, rencana kita untuk balas dendam berhasil."


Kedua orang itu lalu mengangkat tubuh Kexiana, dan meletakkan lehernya pada lubang tali. Keduanya tersenyum setelah memastikan Kexiana tergantung sempurna.


"Ambil kursi di gudang, dan letakkan di samping ranjang ini! Kita harus mengaturnya agar ini terlihat seperti bunuh diri," ucap si wanita.


Pintu ruangan terbuka, Renesya datang dengan kertas di tangan, yang membuat Rexa menghentikan putaran video itu. 

"Bagaimana?" tanya gadis itu.


Rexa menghela napas sebelum menjawab, "Seperti yang kau katakan, dia mati karena obat itu, dan kedua pembantunya membuat kematiannya seolah-olah tengah gantung diri. Tapi ada yang tak kumengerti, karena Kexiana hanya meminum satu butir saja, mungkinkah itu bisa membuatnya overdosis?"


"Jawabannya ada di sini, aku menemukan gelas yang sengaja dibuang ke sampah, setelah kuteliti terdapat arsenik dalam cairan tersebut, juga sidik bibir Kexiana ada di bibir gelas."


Rexa terkejut mendengarnya. "Jadi maksudmu ...."


"Ya, aku juga baru mendapatkan hasil laporan susulan, dalam lambung Kexiana ditemukan 0,2 gram arsenik, sedangkan dengan sepersepuluh arsenik saja sudah bisa membunuh. Kau beruntung karena memiliki diriku dan ayah, jika bukan karena kami, kau akan mendapatkan laporan ini tiga hari setelah outopsi," ucap Renesya tersenyum bangga.


"Sepertiya kau sangat bangga karena ayahmu seorang komesaris."


"Tentu saja, jadi ...." Renesya memutar kursi Rexa, hingga pemuda itu menghadap ke arahnya, dia mencobdongkan kepalanya ke arah Rexa. "Mana terima kasih juga pujian untukku."


Rexa mengangkat ujung bibirnya, pemuda itu berdiri yang membuat Renesya menegakkan tubuhnya. Direngkuhnya tubuh gadis itu, tangannya mengusap puncak kepala Renesya juga menciumnya. "Terima kasih atas kerja kerasmu, Renesya."


Renesya hanya tersenyum. "Lihatlah video itu sampai selesai, dan kau akan tau alasan kedua pembantu itu melakukan balas dendam itu," ujar Renesya setelah Rexa melepas pelukannya.

Rexa kembali memutar video itu, sebuah fakta mengejutkan ia dapatkan. Ternyata kedua pembantu itu ingin balas dendam atas kematian putri mereka.


Ingatan pemuda itu kembali pada masa lalu, saat itu Rexa tengah berkunjung ke rumah Kexiana. Tiba-tiba seorang wanita paruh baya berlutut di kaki gadis itu sambil menangis. Dia meminta gajinya di awal bulan, padahal baru dua hari yang lalu Kexiana membayar gaji wanita itu. Pembantu itu mengatakan bahwa dia membutuhkan uang karena putrinya sedang sakit, tetapi Kexiana tak peduli akan hal itu. Gadis itu berpikir bahwa sang pembantu berbohong agar bisa pergi setelah mendapat gaji double. Nahas, beberapa hari setelahnya, ada kabar jika putri pembantu Kexiana meninggal.


Rexa mengacak rambutnya kasar, jika saja dia bisa membuat Kexiana lebih perduli pada orang lain, atau dia saja yang inisiatif memberi pinjaman wanita itu, maka semua ini tidak akan terjadi. Tetapi nasi sudah menjadi bubur. Tapi satu hal yang masih mengganjal di pikiran Rexa. Bagaimana Renesya hampir tau segalanya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun