Menurut Pasal 6 KHI, setiap Muslim wajib mencatatkan perkawinannya di catatan sipil untuk menjaga prinsip mitsaqan ghalidzan, yang dituangkan dalam Pasal 2 KHI, dan untuk mencapai tujuan Islam yang termasuk dalam Pasal 5 yang dilakukan untuk kemaslahatan ummat.
c. Yuridis
Timbul pertanyaan mengingat ketentuan hukum, realitas masyarakat, dan akibat hukum tidak dicatatnya perkawinan: Seberapa pentingnya pencatatan perkawinan? Â Apakah pencatatan perkawinan menetapkan legalitas perkawinan? Â Isu-isu ini harus diangkat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pencatatan perkawinan.
D. Pendapat Ulama Dan KHI Tentang Perkawinan Wanita Hamil
Pendapat pertama Imam Hanafi masih terdapat perbedaan pendapat, antara lain:
Pernikahan adalah sah terlepas dari apakah pria itu hamil. Â Namun, harus dengan laki-laki yang sedang hamil dan tidak dapat diperoleh sampai laki-laki tersebut melahirkan. Selama Anda melahirkan, Anda bisa menikah dengan orang lain. Jika Anda suci dan belum melalui siklus menstruasi Anda, menikah dapat diterima. Â Namun, Anda tidak dapat dikumpulkan sampai Anda melewati masa istibro Anda.
Penilaian ke dua dari Imam Maliki dan Imam Ahmad canister Hambal, bahwa pernikahannya tidak sah kecuali dengan orang yang menghamilinya dan ini harus memenuhi keadaan, yaitu dia harus menebusnya terlebih dahulu.
Penilaian ketiga dari Imam Syafi'i lebih longgar. Â Ini tidak berarti bahwa perzinahan diperbolehkan. Â Karena perzinahan adalah dosa, itu adalah anggapan yang salah. Â "Tidak boleh satu orang mencuri buah dari satu pohon," kata Imam Syafi'i. Â Setelah dia beli pohonnya, apakah buahnya masih haram atau halal? Â Itu diperbolehkan. Â Sebelum menikah, itu tidak sah, dan kemudian menjadi sah. Tetapi agar tidak ada kebingungan, mana yang lebih dulu, bebas dari murka Tuhan atau bebas dari dosa perzinahan? Â Tidak dari perspektif hukum itu. Dilihat dari sudut pandang ini, seorang wanita yang melakukan perselingkuhan tidak memiliki iddah, namun jika dia menikah, pernikahannya masih kuat.
Peneliti Hanabilah menilai bahwa adalah melawan hukum melawan hukum untuk menikahi seorang wanita yang diketahui telah melakukan perselingkuhan, baik dengan seorang pria yang tidak melakukan perselingkuhan, terutama dengan seorang pria yang melakukan perselingkuhan, kecuali jika wanita tersebut telah memuaskan pihak yang menyertainya. Â dua keadaan: Pertama, dia telah menyelesaikan masa iddahnya. Â Rahimnya melahirkan iddahnya jika dia hamil. Â Akad nikah kedua batal demi hukum jika yang pertama ditandatangani pada saat yang pertama hamil.
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), seorang wanita yang hamil di luar nikah dapat menikah dengan pria yang menghamilinya tanpa harus menunggu kelahiran anak.
E. Solusi Menghindari Perceraian