11. Hubungan Empati dengan Pengendalian Diri
Dalam teori empati Hoffman, terdapat hubungan yang signifikan antara empati dan pengendalian diri. Untuk merespons secara empatik, anak-anak harus dapat mengendalikan impuls mereka dan memprioritaskan kebutuhan orang lain di atas kebutuhan mereka sendiri. Misalnya, seorang anak yang menunjukkan empati mungkin menunda keinginannya untuk bermain sendiri agar bisa membantu temannya yang sedang merasa sedih atau kesulitan.
Kemampuan untuk mengendalikan diri ini berkembang seiring dengan bertambahnya usia, dan anak yang telah mengembangkan kontrol diri yang baik cenderung menunjukkan empati yang lebih tinggi. Dengan kata lain, pengendalian diri memungkinkan individu untuk menahan dorongan pribadi yang mungkin bertentangan dengan kebutuhan orang lain, yang merupakan elemen penting dalam perilaku empatik.
12. Empati dan Budaya
Hoffman juga menekankan bahwa empati bukanlah sifat yang bersifat universal tanpa pengaruh budaya. Setiap budaya memiliki cara yang berbeda dalam mengajarkan dan mempraktikkan empati. Sebagai contoh, dalam budaya kolektivistik seperti yang ada di banyak negara Asia, empati sering dikaitkan dengan menjaga keharmonisan sosial dan kepedulian terhadap kelompok, sementara dalam budaya individualistik seperti yang ada di banyak negara Barat, empati mungkin lebih terkait dengan hubungan antarindividu dan kebebasan pribadi.
Perbedaan budaya ini mempengaruhi cara individu memandang dan merespons perasaan orang lain. Oleh karena itu, empati dalam konteks budaya juga bisa dilihat sebagai suatu keterampilan sosial yang dapat berubah dan berkembang tergantung pada nilai-nilai budaya yang ada.
13. Perbedaan Empati dalam Jenis Kelamin
Penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan gender dalam cara empati dipraktikkan dan dikembangkan. Berdasarkan teorinya, Hoffman menyarankan bahwa secara umum, perempuan cenderung lebih empatik daripada laki-laki, meskipun hal ini tidak berarti laki-laki tidak bisa mengembangkan empati yang mendalam. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan lebih cenderung menunjukkan empati dalam bentuk perhatian dan perawatan emosional, sedangkan laki-laki lebih cenderung menunjukkan empati dengan cara membantu atau memberikan solusi praktis.Namun, perbedaan ini seringkali dipengaruhi oleh norma sosial dan harapan budaya yang mengatur peran gender. Dengan meningkatnya kesadaran sosial dan pendidikan, perbedaan dalam empati antara laki-laki dan perempuan semakin dapat dijembatani, karena individu dari kedua jenis kelamin dapat mengembangkan bentuk empati yang serupa.
14. Empati dan Konflik Sosial
Hoffman juga meneliti bagaimana empati dapat berperan dalam mengurangi konflik sosial. Ketika individu mampu merasakan apa yang dirasakan oleh pihak lain, mereka lebih cenderung untuk mencari solusi yang adil dan saling menguntungkan dalam situasi konflik. Empati dapat mendorong seseorang untuk tidak hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga mempertimbangkan perspektif orang lain, yang pada gilirannya dapat menghasilkan keputusan yang lebih inklusif dan harmonis.Sebagai contoh, dalam konteks mediasi konflik, baik di antara teman sebaya, dalam keluarga, atau dalam masyarakat, kemampuan untuk merasakan penderitaan pihak lain sering kali membantu meredakan ketegangan dan menciptakan solusi yang lebih damai. Empati, dengan demikian, berfungsi sebagai alat penting dalam resolusi konflik dan pengembangan hubungan yang lebih harmonis di dalam kelompok sosial.
15. Perkembangan Empati pada Anak dengan Kondisi Khusus