Mohon tunggu...
Sigit Kristiantoro
Sigit Kristiantoro Mohon Tunggu... Guru - Kepala Divisi Pendidikan Yayasan Tarakanita

Menggali dan mencintai filosofi dari banyak peristiwa dan pengalaman, termasuk dari dunia pendidikan (Bekerja di Yayasan Tarakanita).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

PR Pendidikan, Refleksi Optimistis Ganti Menteri dan Relevansinya

14 November 2024   09:07 Diperbarui: 14 November 2024   09:18 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Satu fenomena yang sering terjadi ketika pergantian pejabat Kementerian khususnya Pendidikan adalah kegelisahan dan kegamangan akan turut sertanya berganti kurikulum. 

Berdasarkan fakta sejarah, setidaknya sudah pernah terjadi beberapa kali pergantian kurikulum di Indonesia, mulai dari Kurikulum 1947 (Rentjana Pelajaran), Kurikulum 1952 (Rentjana Pelajaran Terurai), Kurikulum 1964 (Rentjana Pendidikan), Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994 (Suplemen 1999), Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, Kurikulum 2013, dan Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM).

Di satu sisi, pergantian kurikulum memang membawa banyak konsekuensi, baik bagi sekolah sebagai institusi maupun bagi guru sebagai ujung tombak implementasi kurikulum dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. 

Mempelajari dan menguasai tuntutan kurikulum membutuhkan waktu yang tidak sebentar, belum lagi menemukan cara dan strategi yang tepat dalam penyiapan materi ajar dan penyampaian pembelajaran kepada peserta didik. 

Ketika sudah mulai menemukan ritme yang cocok dan mulai terbangun pola belajar yang kondusif, tidak terasa periode pergantian menteri harus terjadi. Pergantian itu tentu saja memberi ruang perubahan, setidaknya pada nama kurikulumnya, meskipun mungkin tidak akan menyasar keseluruhan substansi yang termuat di dalamnya.

Di sisi lain, cara memandang perubahan kurikulum juga dapat dimaknai secara lebih realistis dan optimis. Filosofi dasar perubahan sebagai sebuah keniscayaan dapat digunakan sebagai titik pijak melihat perubahan kurikulum dengan lebih bijak. 

Ketika jaman berubah, karakteristik peserta didik pun turut berubah, tuntutan kebutuhan juga mengalami perubahan, output pendidikan yang relevan dan kontekstual tentu saja menjadi konsekuensi yang tidak bisa ditawar-tawar. Perubahan kurikulum menjadi salah satu cara untuk menyesuaikan dan memenuhi tuntutan perkembangan jaman dengan berbagai dampak dan konsekuensinya.

Setiap periode atau jaman, memiliki konteks dan kebutuhannya, pun menghadirkan persoalan sekaligus tantangan dan peluang dalam perubahan dan pengembangan kurikulum. Seperti yang terjadi ketika memasuki periode abad-21 di mana dunia pendidikan dihebohkan, bukan karena kehebatan dan prestasi yang diraih, tetapi karena munculnya kesadaran akan bahaya keterbelakangan dan krisis pendidikan (Sugiyono dkk, 2020). 

Ketersadaran akan kondisi pendidikan yang "sedang tidak baik-baik saja" itu bukan tanpa sebab. Abad-21 yang ditandai dengan globalisasi, kemajuan teknologi, koneksitas tanpa batas, dan realitas disrupsi di berbagai bidang membuka kesadaran baru bahwa Indonesia bukanlah entitas tunggal yang berdiri sendiri. Sebagai sebuah bangsa, Indonesia mau tidak mau tersandingkan dan terbandingkan dengan negara-negara lain di sekitarnya, bahkan di dunia yang begitu luas. 

Dalam konteks itulah, kesadaran akan mutu/kualitas penduduk Indonesia, termasuk dalam hal pendidikan, ikut serta diukur dan dinilai dalam kolektivitas, contohnya adalah pengukuran kualitas penduduk Indonesia berdasar Human Development Index 2012 berada di urutan 121 dari 187 negara.

Kesadaran kolektif itu juga mempengaruhi cara pandang kita terhadap sumber daya yang dimiliki, dibandingkan dengan negara lain, salah satunya berkaitan dengan bonus demografi. 

Disebutkan bahwa Indonesia berdasarkan data sensus penduduk tahun 2010 akan mengalami bonus demografi, di mana jumlah penduduk usia muda dan produktif akan lebih banyak dan mencapai masa maksimumnya pada tahun 2028, 2029, 2030, dan 2031 sebesar rata-rata 46,7%. 

Kondisi ini merupakan sebuah tantangan dan sekaligus peluang strategis bagi upaya-upaya penyiapan dan pemenuhan kapabilitas sumber daya itu agar mampu memberikan kontribusi bagi perkembangan, pertumbuhan, dan pembangunan bangsa, tetapi juga mampu memiliki daya saing secara global bersama dengan negara-negara yang lain.

Daya saing global inilah yang menjadi pintu masuk kesadaran reflektif akan masih rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang yang berdampak pada tidak maksimalnya penyediaan sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan keahlian yang dibutuhkan dalam pembangunan bangsa di berbagai bidang.

 Data tes Programme for International Student Assessment (PISA) Tahun 2022 menunjukkan hasil skor 359 pada membaca, 366 pada matematika, dan 383 pada sains dari rerata OECD pada skor 500. 

Berdasarkan data tersebut, Kemendikbudristek bahkan menyimpulkan jika 70% peserta didik usia 15 tahun (level pendidikan dasar) berada di bawah kompetensi minimum membaca dan matematika (Kemendikbudristek, 2022). 

Pembelajaran berbasis mata pelajaran (mapel) yang selama ini digunakan di Indonesia rupanya belum mampu mengoptimalkan capaian kompetensi literasi, numerasi, dan juga sains yang notabene menjadi fokus pengembangan kompetensi peserta didik di negara-negara lain.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa Indonesia sejatinya masih memiliki banyak PR, seperti disampaikan oleh Satriwan Salim sebagai Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) yang dimuat dalam DetikEdu (21 Oktober 2024) sebagai tanggapan atas kepemimpinan Presiden dan Kementerian baru, salah satunya yaitu: mengejar skor PISA. 

Penurunan nilai capaian tes PISA tahun 2022 dibanding tahun 2018 pada semua komponen yang diujikan yaitu literasi, numerasi, dan sains, memberikan gambaran wujud kondisi pendidikan di Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja. 

Kemampuan jelajah ilmiah guru dan peserta didik menjadi tantangan besar agar kemampuan literasi, numerasi, dan sains semakin hari semakin baik. Guru maupun peserta didik harus dibiasakan untuk melakukan analisis kritis terhadap data dan informasi, lebih dari sekedar menerima materi berpendekatan mata pelajaran.

Belum lagi soal dampak bekal pendidikan bagi generasi Z (lahir antara tahun 1995-2005) jika dilihat dari kualitas yang mereka hasilkan di dunia kerja. Generasi yang dikenal sebagai generasi digital native dan adaptif terhadap teknologi ternyata juga menghadapi persoalan besar. 

Data survei Intelligent 2024 (platform konsultasi pendidikan dan karir) menyatakan bahwa 60% perusahaan yang disurvei telah memecat lulusan baru (masuk kategori generasi Z) dengan alasan utama yang berkaitan dengan kurangnya motivasi atau inisiatif (50%), kurangnya profesionalisme (46%), keterampilan berorganisasi yang buruk (42%), keterampilan komunikasi yang buruk (39%), sulit menerima feedback (38%), kurangnya pengalaman kerja yang relevan (38%), keterampilan pemecahan masalah yang buruk (34%), keterampilan teknis yang tidak memadai (31%), ketidakcocokan budaya (31%), dan kesulitan bekerja dalam tim (30%).

Data lain dari Deloitte Global 2024 Gen Z and Millennial Survey dengan 14.468 responden Gen Z dari 44 negara menunjukkan bahwa generasi Z sebenarnya memiliki motivasi yang tinggi setiap kali mereka memilih bekerja dan berkomitmen untuk menikmati waktu bekerja dan berusaha untuk meningkatkan kualitas pekerjaan (80%) dengan cara-cara yang menurut mereka cocok (84%), meskipun secara data juga ditunjukkan jika mereka memiliki kesulitan tersendiri untuk memasuki dunia kerja (57%).

 Persoalan dua sisi, baik dari sisi pekerja maupun lembaga kerja, rupanya turut serta memberikan pengaruh terhadap fenomena tersebut, sehingga tidak jarang berdampak pula pada bagaimana generasi Z sebagai pendatang baru di dunia kerja merasakan sulitnya membangun keterikatan dan konektivitas dengan lembaga (26%) dan membangun budaya kolaborasi serta interaksi sosial (24%).

Beberapa data tersebut menunjukkan bahwa institusi pendidikan melalui sekolah sejatinya masih memiliki tantangan besar sekaligus peluang untuk mengintegrasikan materi dan proses pembelajaran dengan tuntutan hidup di masyarakat dan di dunia kerja. 

Sugiyono, dkk. dalam Peta Jalan Pendidikan Indonesia (2020) bahkan secara spesifik menyebut belum terakomodasi dengan baik dan utuh kebutuhan keterampilan dan karakter dalam pembelajaran, khususnya yang berkaitan dengan jiwa kepemimpinan, daya kreasi dan inovasi, elaborasi visi-misi diri, kemampuan adaptasi dan juga bersosialisasi. 

Nilai-nilai itu semakin menunjukkan bahwa output layanan pendidikan tidak hanya cukup memenuhi kriteria kecerdasan akademik, tetapi juga kecerdasan dari berbagai bidang lain, termasuk keterampilan, perilaku, dan juga karakter yang relevan dengan tuntutan perkembangan jaman, seperti dirumuskan juga dalam sasaran kompetensi Abad-21 (critical thinking, communication, collaboration, creativity, citizenship, and character).

Kemampuan analitis ilmiah merupakan tuntutan penting dari kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta didik. Pembelajaran literasi, numerasi, maupun sains bukanlah tujuan, melainkan sarana, cara, dan strategi agar peserta didik memiliki "medium" untuk sampai pada kemampuan analitis ilmiah tersebut. Ketika di sekolah-sekolah sudah digalakkan budaya belajar literasi, numerasi, dan sains melalui penerapan riset dalam pembelajaran, bagaimana implementasinya? Kesadaran akan pentingnya kemampuan dan keterampilan kritis dan logis sebagai output pembelajaran peserta didik diharapkan semakin memupuk kesediaan dan kecintaan para guru untuk membuat desain pembelajaran berbasis literasi, numerasi, dan riset dan melaksanakannya dalam pembelajaran dengan semangat.

Para guru harus terus didorong untuk membawa dan memberi warna literasi, numerasi, dan riset dalam setiap pembelajaran mereka, entah dalam muatan materinya, strategi belajarnya, maupun produk hasil belajarnya. Literasi dan numerasi serta riset harus menjadi pola pembiasaan yang "by design" di sekolah. Para guru juga harus mulai berani merancang dan melaksanakan pembelajaran berbasis High Order Thinking Skills (HOTS), termasuk pada mekanisme asesmen dan penilaiannya. 

Sekolah dan para guru harus memiliki awareness yang sama besar terhadap mekanisme uji-latih kompetensi peserta didik, baik yang difasilitasi oleh masing-masing guru melalui latihan dan pembahasan soal, maupun melalui program-program strategis seperti ANBK dan AKM Kelas. 

Pun demikian, baik guru maupun peserta didik juga harus didorong dan diberi ruang untuk membuktikan kapasitas dan kapabilitas mereka melalui ajang kompetitif berupa lomba sebagai media unjuk kompetensi dan raih prestasi.

Penerapan model-model pembelajaran yang menempatkan peserta didik sebagai subyek belajar, mengalami proses pembelajaran, dan menemukan sendiri unsur-unsur pengetahuan yang berguna dan relevan bagi hidup mereka, menjadi pilihan utama guru dalam memfasilitasi pembelajaran. 

Keseimbangan antara kecerdasan akademik, non-akademik, maupun karakter hendaknya tetap menjadi perhatian agar peserta didik dapat tumbuh dan berkembang secara utuh. 

Pendekatan, strategi, dan intervensi model serta metode pembelajaran ini niscaya akan menjadi bekal yang sangat kuat bagi sekolah dan para guru untuk tetap menjalankan fungsinya dalam memberikan layanan pendidikan yang berkualitas, terlepas dari adanya pergantian menteri maupun kurikulumnya.

Jika memang ada yang berubah, semoga perubahan itu semakin menempatkan dan menjadikan wajah Indonesia sebagai identitas pendidikan yang berakar pada budaya bangsa, dengan tetap terbuka pada penyesuaian kultur dan realitas (relevan), berdaya guna bagi pembangunan, serta mengedepankan aspek moral dan karakter.

 Kalaupun akan ada yang berubah, semestinya perubahan itu semakin memperkokoh pilar pendidikan seperti yang dinyatakan oleh UNESCO bahwa pendidikan dan pembelajaran itu "learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together" dengan penekanan pada penguatan kompetensi yang relevan dan kontekstual melalui "learn how to learn" (kemandirian belajar) dan "learning through our life" (belajar sepanjang hayat).

Daftar Bacaan

Living and Working with Purpose in a Transforming World. Deloitte Global 2024 Gen Z and Millennial Survey. Homepage On-Line. Available from https://www.deloitte.com/global/en/issues/work/content/genz-millennialsurvey.html. Accesses 24 Oktober 2024.

Mastuhu. Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional Abad 21. Yogyakarta: Safiria Insania Press. 2003.

Sugiyono, Prof. Dr. dkk. Peta Jalan Pendidikan Indonesia. Yogyakarta: UNY Press. 2020.

Survei Terbaru: Perusahaan Ramai Pecat Pegawai Gen Z, Ada Apa? Homepage On-line. Available from https://teknologi.id/bisnis. Accesses 23 Oktober 2024.

Wulandari, Trisna. P2G Sebut Ini 12 PR Pendidikan buat Prabowo-Gibran dan Mendikdasmen. Homepage On-Line. Available form https://www.detik.com/edu/sekolah/. Accesses 21 Oktober 2024.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun