Data lain dari Deloitte Global 2024 Gen Z and Millennial Survey dengan 14.468 responden Gen Z dari 44 negara menunjukkan bahwa generasi Z sebenarnya memiliki motivasi yang tinggi setiap kali mereka memilih bekerja dan berkomitmen untuk menikmati waktu bekerja dan berusaha untuk meningkatkan kualitas pekerjaan (80%) dengan cara-cara yang menurut mereka cocok (84%), meskipun secara data juga ditunjukkan jika mereka memiliki kesulitan tersendiri untuk memasuki dunia kerja (57%).
 Persoalan dua sisi, baik dari sisi pekerja maupun lembaga kerja, rupanya turut serta memberikan pengaruh terhadap fenomena tersebut, sehingga tidak jarang berdampak pula pada bagaimana generasi Z sebagai pendatang baru di dunia kerja merasakan sulitnya membangun keterikatan dan konektivitas dengan lembaga (26%) dan membangun budaya kolaborasi serta interaksi sosial (24%).
Beberapa data tersebut menunjukkan bahwa institusi pendidikan melalui sekolah sejatinya masih memiliki tantangan besar sekaligus peluang untuk mengintegrasikan materi dan proses pembelajaran dengan tuntutan hidup di masyarakat dan di dunia kerja.Â
Sugiyono, dkk. dalam Peta Jalan Pendidikan Indonesia (2020) bahkan secara spesifik menyebut belum terakomodasi dengan baik dan utuh kebutuhan keterampilan dan karakter dalam pembelajaran, khususnya yang berkaitan dengan jiwa kepemimpinan, daya kreasi dan inovasi, elaborasi visi-misi diri, kemampuan adaptasi dan juga bersosialisasi.Â
Nilai-nilai itu semakin menunjukkan bahwa output layanan pendidikan tidak hanya cukup memenuhi kriteria kecerdasan akademik, tetapi juga kecerdasan dari berbagai bidang lain, termasuk keterampilan, perilaku, dan juga karakter yang relevan dengan tuntutan perkembangan jaman, seperti dirumuskan juga dalam sasaran kompetensi Abad-21 (critical thinking, communication, collaboration, creativity, citizenship, and character).
Kemampuan analitis ilmiah merupakan tuntutan penting dari kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta didik. Pembelajaran literasi, numerasi, maupun sains bukanlah tujuan, melainkan sarana, cara, dan strategi agar peserta didik memiliki "medium" untuk sampai pada kemampuan analitis ilmiah tersebut. Ketika di sekolah-sekolah sudah digalakkan budaya belajar literasi, numerasi, dan sains melalui penerapan riset dalam pembelajaran, bagaimana implementasinya? Kesadaran akan pentingnya kemampuan dan keterampilan kritis dan logis sebagai output pembelajaran peserta didik diharapkan semakin memupuk kesediaan dan kecintaan para guru untuk membuat desain pembelajaran berbasis literasi, numerasi, dan riset dan melaksanakannya dalam pembelajaran dengan semangat.
Para guru harus terus didorong untuk membawa dan memberi warna literasi, numerasi, dan riset dalam setiap pembelajaran mereka, entah dalam muatan materinya, strategi belajarnya, maupun produk hasil belajarnya. Literasi dan numerasi serta riset harus menjadi pola pembiasaan yang "by design" di sekolah. Para guru juga harus mulai berani merancang dan melaksanakan pembelajaran berbasis High Order Thinking Skills (HOTS), termasuk pada mekanisme asesmen dan penilaiannya.Â
Sekolah dan para guru harus memiliki awareness yang sama besar terhadap mekanisme uji-latih kompetensi peserta didik, baik yang difasilitasi oleh masing-masing guru melalui latihan dan pembahasan soal, maupun melalui program-program strategis seperti ANBK dan AKM Kelas.Â
Pun demikian, baik guru maupun peserta didik juga harus didorong dan diberi ruang untuk membuktikan kapasitas dan kapabilitas mereka melalui ajang kompetitif berupa lomba sebagai media unjuk kompetensi dan raih prestasi.
Penerapan model-model pembelajaran yang menempatkan peserta didik sebagai subyek belajar, mengalami proses pembelajaran, dan menemukan sendiri unsur-unsur pengetahuan yang berguna dan relevan bagi hidup mereka, menjadi pilihan utama guru dalam memfasilitasi pembelajaran.Â
Keseimbangan antara kecerdasan akademik, non-akademik, maupun karakter hendaknya tetap menjadi perhatian agar peserta didik dapat tumbuh dan berkembang secara utuh.Â