Mohon tunggu...
Sigit Hariyanto
Sigit Hariyanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Manusia biasa yang mencoba-coba, seluangnya, sebisanya, dan sewajarnya saja. "Sak madya" kata orang Jawa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pengakuan Sastra

10 Juni 2024   22:49 Diperbarui: 11 Juni 2024   00:46 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Dokumentasi Pribadi, pada 16 Juli 2023).

Setelah menyelesaikan sebuah lukisan, dan membereskan sisa-sisa goresan yang berhamburan di lantai, dan pallet warna yang ada. Sastra merebahkan tubuh sejenak. Meski sebenarnya, lukisan itu belum selesai, namun kerja hari ini ia putuskan untuk usai. Sebab, malam telah semakin dalam. Semakin kelam,bahkan hanya tinggal diam.

Ia adalah seorang pelukis, yang juga seorang penulis. Seorang perupa, yang sekaligus gemar membaca. Tentu itu, membuat kaya dengan pengetahuan yang dimilikinya, meski tak sebanding dengan kekayaan materi yang dimilikinya. Ia adalah sosok yang bisa mengekspresikan isi jiwa dengan kata juga warna. Membuat indah terasa bagi siapapun yang menikmatinya. Kata dan warna itu dituangkan di atas kertas juga kanvas, dengan sepenuh jiwa yang bergelora.

Namun, ada yang membuat Sastra berbeda belakangan ini. Ia kini jatuh cinta, dengan seseorang perempuan yang ditemui secara tidak sengaja di sebuah acara pertunjukan kesenian perayaan ulang tahun suatu Kabupaten di Jawa Timur. Lebih-lebih lagi perempuan itu berasal dari daerah dimana pertunjukan kesenian itu berlangsung. Seperti sebuah cerita sastra ber-genre surealisme saja.

Karya-karya lukis dan tulis yang dihasilkannya tak luput dari dampak jatuh cinta yang dialaminya. Lukisan yang biasanya berlatar tema politik dan kehidupan yang keras dan fana, berubah menjadi karya yang terkesan lembut dan menentramkan jiwa yang menghayatinya. Karya tulis yang biasanya berisi kritik yang tajam merespon segenap persoalan sosial dilingkungan berubah menjadi karya sastra dan banyak puisi yang sulit untuk tidak dinikmati.

Perempuan yang dicintainya "Srikandi" namanya. Ia adalah perempuan yang jika dalam pewayangan adalah tokoh yang memiliki kepala mendongak ke atas. Ia sosok yang keras kepala, teguh pendirian, mandiri sat-set, tas-tes. Ia adalah perempuan yang berani, dan tampak kuat menghadapi apapun terutama ketika untuk mewujudkan keinginannya. Ia sosok yang kuat sekaligus lembut, mandiri tapi juga menghargai. Dan entah tidak tahu mengapa, Sastra mencintainya. Ia tetap cantik sebagai perempuan, meski tak begitu anggun. Sebagai bukti bahwa Ia adalah sosok yang kuat namun menjaga kecantikannya. Ia sangat kenes dan sedap dipandang. Dan entah kenapa, Sastra begitu mencintainya. Tapi, pasti sebagaian dari laki-laki lainya, yang sempat menemu kenali perempuan bernama Srikandi. Banyak yang sudah pasti mengagumi. Tentang kemandiriannya juga kecantikannya di waktu yang sama.

Hari-hari berganti, waktu ke waktu berlalu. Detik ke detik berdetak. Siapa yang menyangka, Sastra dan Srikandi bisa semakin dekat. Berangkat dari sebuah temu yang tiada sengaja di sebuah pertunjukan kesenian di suatu kabupaten di Jawa Timur. Waktu itu, berada di acara perunjukan "Alon-Aloon" tepatnya, ia sedang bersama Mbaknya yang bernama "Dropadi". Srikandi kala itu, masih dingin, dan bertegur sapa, berinteraksi seperlunya, sekenanya. Dan, Sastra layaknya laki-laki pada umumnya mengagumi kecantikannya.

Malam, demi malam dilalui tanpa kelam. Dengan segala percakapan yang tumpah menghiasi dan mengisi waktu menuju pagi. Setelah Sastra selesai dengan lukisan dan pekerjaannya, tak luput bertukar cerita dengan Srikandi. Begitupun sebaliknya, Srikandi menceritakan segenap apa yang terjadi.

"Saling berbagi cerita, berbagi rasa".

"Kata demi kata".

Di antara mereka berdua semua saling memberi dan saling menerima. Tapi soal hati manusia, tentu tidak mudah masing-masing dari kita mengetahuinya. Kecuali saling mengutarakannya. Saling mengungkapkan apa yang ada di dalam, dan terpendam. Menguak makna dari balik tiap kata, yang mengalir sebagai cerita. Sastra hanya bisa menerka adakah perasaan yang bersembunyi di balik rangkaian cerita yang dirangkai oleh Srikandi dan dirinya di tiap malam, yang tanpa kelam, pada setiap hari menuju pagi.

Segenap upaya dilakukan keduanya, namun apakah menjamin dikedua belah pihak melibatkan segenap-genap hati mereka. Sastra yang terlanjur jatuh cinta pada Srikandi, hanya berharap dengan cemas dan tidak pasti. Ada hal yang membuatnya ragu dengan perasaan Srikandi terhadapnya, meski keduanya telah saling memberi dan menerima, mengisi dan melengkapi satu sama lain. Sastra ragu apakah Ia dapat membuat hati Srikandi yang teguh hingga luluh.

Segenap usaha, dan upaya, perjuangan dijalankan habis-habisan untuk memastikan perasaan Srikandi yang kian hari membuatnya bertanya-tanya, dan menerka-nerka. Apakah segala yang menjadi bagian dari saling berbagi rasa, berbagi cerita hanyalah semu belaka. Pasalnya belakangan Srikandi seperti pasang surut gelombang laut yang bisa berkunjung ke bibir pantai sekenanya, dan semaunya.

Memang, keduanya tidak memiliki ikatan apa-apa. Sastra dan Srikandi tak lebih dari teman yang dekat. Dan tidak ada hal yang lebih lanjut, atau lebih dalam dari itu, hanya "teman". Malangnya, Sastra telah jatuh dalam perasaan. Saat ia benar-benar tak ingin "jatuh cinta" malah ia berjumpa dengan Srikandi secara tidak sengaja di perunjukan kesenian, di suatu kabupaten di Jawa Timur. Kasihan, memang malang datang tanpa di undang, dan untung tak dapat diraih.

Suatu malam ketika, Srikandi sehabis menyanyi dari suatu tempat. Di suatu daerah di Jawa Tengah.

"Makan yuk! Ku rasa dirimu harus mencicipi warung makan penyetan kesukaan ku". Ajak Srikandi melalui sebuah pesan.

"Di mana?". Tanya Sastra.

"Engkau nanti akan tahu sendiri, sudahlah ayo saja'.

Sudah hal yang pasti bahwa Sastra tak akan bisa menolak dari ajakan Srikandi.

Ia membalas dengan singkat, dan padat. Ia menyembunyikan perasaan melalui sebuah pesan, meski saat itu ia tengah berbahagia, senang, dan girang di studio "Ruang Hidup" yang menjadi tempat produksi karya lukis dan tulis.

Waktu yang ditunggu tiba, Sastra dan Srikandi menuju tempat makan yang sudah direncanakan. Kendaraan membelah dingin malam, udara menjadi hangat diantara tawa kecil, dan cerita yang melaju. Jalan rusak yang dilalui tiada begitu terasa, sebab dilalui bersama. Di tengah dingin Sastra memberikan cerita yang menggantung pada Srikandi "Ada yang ingin ku ceritakan pada mu".

Setiba di warung makan, hidangan sudah siap disajikan. Sebab Srikandi mengenal baik pemilik warung itu, dan bila hendak ke sana Srikandi tinggal menghubungi, dan setiba di sana hidangan sudah bisa siap santap. "Betapa beruntungnya, aku seperti benar-benar ketiban ndaru". Batin Sastra kala itu, setiba di warung makan penyetan kesukaan Srikandi.

Ketika makan, dan setelah makan tak luput serangkain cerita menjadi teman membersamai momen mereka. Mengamati laju kendaraan, yang membawa tujuan-tujuan yang tidak bisa diperkirakan. Srikandi menceritakan keluh kesah yang dialaminya selama segenap beberapa bulan terakhir. Tentang pekerjaanya, tentang pertemanannya, tentang sahabatnya, tentang kucing peliharaannya. Dan segala hal lainnya. Sastra tak pernah jemu mendengarnya, sebab Sastra mencintai Srikandi dengan segenap wadah hingga isi. Malam semakin tenggelam, dan tiada terasa sudah begitu lama berada di warung penyetan kesukaan Srikandi. Selepas dari warung itu, tak luput keduanya saling berterima kasih melalui sebuah pesan.

"Terima kasih sudah berkenan meluangkan waktu untuk ku".

Keduanya adalah tipe orang yang memang sangat menghargai waktu, Sastra adalah orang yang selalu tepat waktu dalam segala urusan baik itu karya lukis, tulis dan hal-hal keseharian. Srikandi juga demikian, adalah orang yang selalu tepat waktu, ia tak suka menunggu ataupun ditunggu oleh waktu. Mereka berdua saling menghargai waktu. Sebab sama-sama sadar. Toh,.. di dunia ini mana yang lebih berharga daripada waktu. Uang yang hilang bisa dicari, tapi waktu yang pergi tak akan pernah kembali. Tak pernah sama sekali. Sekalipun dalam mimpi.

Hingga suatu malam, Sastra merasa sudah waktunya. Setelah memendam dalam segenap perasaan, akhirnya malam itu ia memutuskan untuk membuat pengakuan. Pengakuan atas perasaan yang selama ini Ia rasakan. Ia sudah merasa cukup sesak sendirian, dan berpikir untuk segera melegakan dirinya sendiri. Perihal cintanya nati diterima atau ditolak itu lain soal. Barangkali, semoga Srikandi juga merasakan perasaan yang sama.

Dan begitulah malam itu terkirim sebuah surat:

Kepada Srikandi

Dalam perjalanan hidup, kata-kata menyimpan arti yang menari di antara tiap makna dan situasi yang berbeda. Aku meminta engkau merajut ceritaku dengan kedamaian jiwa. Sebagai insan biasa, aku ingin berbicara dari dimensi kesalahan yang kadang terperangkap dalam makna. Manusia, sejatinya, adalah pencerminan peristiwa di sekitarnya, menggerakkan langkah sesuai dengan makna yang mereka temukan. Terkadang, dalam hening, mata tertutup dan kesadaran akan kebaikan hidup yang akan menjelma. Jujur, lelahku terasa, namun keluhanku seakan hujan di musim kemarau, sesuatu yang terkadang diperlukan. Keinginan untuk menyerah, meski dekat, tak boleh meredupkan semangat melanjutkan perjalanan, sebab Tuhan tak akan menciptakan kebaikan untuk berakhir dalam keburukan. Jika luka tercipta, itu hanya karena harapan yang tersemat terlalu tinggi pada diri sendiri. Menerima,... bagai tanggung jawab pada diri sendiri, membawa kebahagiaan saat hati merasa cukup. Semoga pikiran dan jiwamu terasa damai, karena kebahagiaan seringkali lahir dari hal-hal sederhana, dan segalanya tiba pada waktunya yang tepat.

Tentang pengakuan...

Dalam getaran kelelahan, masihkah teringat akan cerita yang ingin kusampaikan pada saat itu? Menantikan hingga Desember terasa seperti mengikuti aliran waktu yang membelai dan sekaligus membebani diri. Meskipun dengan berani kuhadirkan cerita saat ini, bayangan kekhawatiran masih merayap di benak. Keraguan selalu menghampiri manusia ketika mereka menghadapi awal yang baru.

Bercermin pada perjalanan kehidupan, rasa cemas menyelinap di sanubari tentang bagaimana ceritaku akan melingkar bersama roda waktu. Walau hanya berharap pada kebaikan, keyakinan akan adanya koreksi tetap menggelora di dalam diri. Tetapi di ujung kisah ini, dapat membuka jendela hati dengan segera mungkin akan membawa kelegaan yang mengalir dalam diriku. Aku memiliki perasaan lebih dengan mu, Srikandi. Tapi tenang, aku tak mengharapkan balasan perasaan. Harapanku sederhana, tidak untuk mengubah takdir, melainkan untuk melepaskan riuh cerita yang bersemayam. Sebagai insan dewasa, kehadiran dalam kehidupan membawa pemahaman bahwa setiap peristiwa memiliki tempo yang indah. Langkah awal dilakukan dengan doa dan permohonan maaf, membuka diri untuk berbagi cerita, dan sekaligus merelakan sebagian beban hati.

Dalam gelombang riak kehidupan, manusia seperti perahu yang tak pernah henti melintasi lautan peristiwa. Senang datang dan pergi, sedih pun berlalu begitu saja. Luka dan air mata, tawa dan bahagia, itulah alur sementara yang menghiasi perjalanan ini. Kita diingatkan bahwa tak ada yang abadi, dan perasaan terus berubah seiring waktu. Mari melangkah dengan ringan, bersyukur dan berdoa. Aku bangga akan panggilan doa, dan harapanku adalah senja yang tetap damai, meski kadang diliputi oleh kabut tebal saat senja menjelang. Sebab, dalam heningnya, senja selalu percaya bahwa setiap hari yang berlalu tanpanya tetap akan baik-baik saja.

Tidak ada kenikmatan yang mengatasi kepuasan dari keinginan yang lenyap, saat tak ada lagi kisah yang ingin diceritakan oleh hati. Keadaan ini sungguh luar biasa, lebih dari sekadar merelakan dengan ikhlas apa yang belum kita miliki, namun masih ada keinginan yang tersirat di dalam relung hati. Setelah momen ini, mari kita temukan makna yang tersembunyi. Akhirnya, aku menemukan identitas sejatiku yang hilang, sebelum engkau mewarnai jalan hidupku.

Kejujuran terasa mencekam sebelum kata-kata ini terucap. Namun, ketika kisah ini tercipta, aku merasakan kelegaan membebaskan diri. Terima kasih tak terhingga atas kesabaran membaca hingga ujung, dan maaf jika terjadi ketidaknyamanan. Semoga setiap peristiwa yang menyertai membawa keberkahan. Kenangan berdiam di relung hati, biarkan ia menyala dalam kesunyian. Suatu saat, kita akan terbiasa mengenangnya sebagai sesuatu yang lumrah. Kesabaran adalah karya seni hidup yang tinggi, bentuk syukur yang meresap dalam, dan ikhlas yang tulus. Percayalah, segala sesuatu akan kembali baik-baik saja. Terima kasih banyak, semoga Tuhan melimpahkan berkat-Nya pada kita.

Pengakuan Sastra, 2024.

Blora, 04 Januari 2024.

Sigit Hariyanto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun