Ketika makan, dan setelah makan tak luput serangkain cerita menjadi teman membersamai momen mereka. Mengamati laju kendaraan, yang membawa tujuan-tujuan yang tidak bisa diperkirakan. Srikandi menceritakan keluh kesah yang dialaminya selama segenap beberapa bulan terakhir. Tentang pekerjaanya, tentang pertemanannya, tentang sahabatnya, tentang kucing peliharaannya. Dan segala hal lainnya. Sastra tak pernah jemu mendengarnya, sebab Sastra mencintai Srikandi dengan segenap wadah hingga isi. Malam semakin tenggelam, dan tiada terasa sudah begitu lama berada di warung penyetan kesukaan Srikandi. Selepas dari warung itu, tak luput keduanya saling berterima kasih melalui sebuah pesan.
"Terima kasih sudah berkenan meluangkan waktu untuk ku".
Keduanya adalah tipe orang yang memang sangat menghargai waktu, Sastra adalah orang yang selalu tepat waktu dalam segala urusan baik itu karya lukis, tulis dan hal-hal keseharian. Srikandi juga demikian, adalah orang yang selalu tepat waktu, ia tak suka menunggu ataupun ditunggu oleh waktu. Mereka berdua saling menghargai waktu. Sebab sama-sama sadar. Toh,.. di dunia ini mana yang lebih berharga daripada waktu. Uang yang hilang bisa dicari, tapi waktu yang pergi tak akan pernah kembali. Tak pernah sama sekali. Sekalipun dalam mimpi.
Hingga suatu malam, Sastra merasa sudah waktunya. Setelah memendam dalam segenap perasaan, akhirnya malam itu ia memutuskan untuk membuat pengakuan. Pengakuan atas perasaan yang selama ini Ia rasakan. Ia sudah merasa cukup sesak sendirian, dan berpikir untuk segera melegakan dirinya sendiri. Perihal cintanya nati diterima atau ditolak itu lain soal. Barangkali, semoga Srikandi juga merasakan perasaan yang sama.
Dan begitulah malam itu terkirim sebuah surat:
Kepada Srikandi
Dalam perjalanan hidup, kata-kata menyimpan arti yang menari di antara tiap makna dan situasi yang berbeda. Aku meminta engkau merajut ceritaku dengan kedamaian jiwa. Sebagai insan biasa, aku ingin berbicara dari dimensi kesalahan yang kadang terperangkap dalam makna. Manusia, sejatinya, adalah pencerminan peristiwa di sekitarnya, menggerakkan langkah sesuai dengan makna yang mereka temukan. Terkadang, dalam hening, mata tertutup dan kesadaran akan kebaikan hidup yang akan menjelma. Jujur, lelahku terasa, namun keluhanku seakan hujan di musim kemarau, sesuatu yang terkadang diperlukan. Keinginan untuk menyerah, meski dekat, tak boleh meredupkan semangat melanjutkan perjalanan, sebab Tuhan tak akan menciptakan kebaikan untuk berakhir dalam keburukan. Jika luka tercipta, itu hanya karena harapan yang tersemat terlalu tinggi pada diri sendiri. Menerima,... bagai tanggung jawab pada diri sendiri, membawa kebahagiaan saat hati merasa cukup. Semoga pikiran dan jiwamu terasa damai, karena kebahagiaan seringkali lahir dari hal-hal sederhana, dan segalanya tiba pada waktunya yang tepat.
Tentang pengakuan...
Dalam getaran kelelahan, masihkah teringat akan cerita yang ingin kusampaikan pada saat itu? Menantikan hingga Desember terasa seperti mengikuti aliran waktu yang membelai dan sekaligus membebani diri. Meskipun dengan berani kuhadirkan cerita saat ini, bayangan kekhawatiran masih merayap di benak. Keraguan selalu menghampiri manusia ketika mereka menghadapi awal yang baru.
Bercermin pada perjalanan kehidupan, rasa cemas menyelinap di sanubari tentang bagaimana ceritaku akan melingkar bersama roda waktu. Walau hanya berharap pada kebaikan, keyakinan akan adanya koreksi tetap menggelora di dalam diri. Tetapi di ujung kisah ini, dapat membuka jendela hati dengan segera mungkin akan membawa kelegaan yang mengalir dalam diriku. Aku memiliki perasaan lebih dengan mu, Srikandi. Tapi tenang, aku tak mengharapkan balasan perasaan. Harapanku sederhana, tidak untuk mengubah takdir, melainkan untuk melepaskan riuh cerita yang bersemayam. Sebagai insan dewasa, kehadiran dalam kehidupan membawa pemahaman bahwa setiap peristiwa memiliki tempo yang indah. Langkah awal dilakukan dengan doa dan permohonan maaf, membuka diri untuk berbagi cerita, dan sekaligus merelakan sebagian beban hati.
Dalam gelombang riak kehidupan, manusia seperti perahu yang tak pernah henti melintasi lautan peristiwa. Senang datang dan pergi, sedih pun berlalu begitu saja. Luka dan air mata, tawa dan bahagia, itulah alur sementara yang menghiasi perjalanan ini. Kita diingatkan bahwa tak ada yang abadi, dan perasaan terus berubah seiring waktu. Mari melangkah dengan ringan, bersyukur dan berdoa. Aku bangga akan panggilan doa, dan harapanku adalah senja yang tetap damai, meski kadang diliputi oleh kabut tebal saat senja menjelang. Sebab, dalam heningnya, senja selalu percaya bahwa setiap hari yang berlalu tanpanya tetap akan baik-baik saja.