Menuding keterlibatan peran lingkar kekuasaan dan pemerintahan yang merestui manuver Moeldoko di Partai Demokrat adalah tidak logis bila tanpa bukti sahih, apalagi mengaitkannya dengan Presiden Jokowi, pun juga menuding manuver Moeldoko tersebut adalah tidak beradab dan beretika dalam manuvernya tersebut jugalah tidak relevan, meskipun benar kalau mau secara jujur dikatakan bahwa Moeldoko tidak beradab dan beretika terkait manuver politiknya tersebut.
Sehingga masihlah bisa dibilang wajar dalam rangka mencapai kehendak kekuasaan tersebut Moeldoko akan menghalalkan segala cara baik positif maupun negatif, tidak beradab dan tidak beretika adalah sah-sah saja.
Karena apa, ya ini karena budaya menghalalkan segala cara sudah umum dan mendarah daging terjadi di negeri ini. Bahwasanya praktik perpolitikan di negeri ini selalu akan menghalalkan segala cara, baik itu dengan cara money politik, perbuatan curang, saling sikut-menyikut sesama anggota di internal partai maupun yang datangnya dari eksternal partai guna menghamba pada kepentingan dan demi tercapainya suatu tujuan untuk berkuasa tersebut.
Kalau mau disalahkan atau ada yang mau dituntut terkait pecahnya Partai Demokrat, ya salahkanlah budaya partai politik yang selalu menghalalkan segala cara untuk berkuasa dan kalau pun mau menuduh lingkar kekuasaan dan pemerintahan turut andil serta merestui Moeldoko bermanuver di Partai Demokrat, ya buktinya apa.
Memang sih, ada bukti sejarah terkait adanya intervensi politik penguasa untuk memecah belah Parpol, seperti yang pernah terjadi pada PDI pada saat Rezim Soeharto berkuasa, maka apa yang terjadi di Partai Demokrat ini bisa saja terjadi sama seperti itu, tapi selama itu tidak terbukti, maka dalam hal ini lingkar penguasa dan pemerintahan tidak bisa diganggu gugat.
Yang jelas Ke depan Partai Demokrat harus apa, siapa Demokrat yang sejati, Kubu AHY kah atau Kubu Moeldoko kah, ya tinggal bertarung saja baik itu di PTUN dan di Kemenkumham RI, seperti halnya partai-partai lain yang pernah ditimpa perpecahan partai.
Lantas, haruskan Moeldoko mundur dari jabatan publiknya di pemerintahan?
Moeldoko boleh tidak mundur dari jabatan publiknya, meskipun dipaksa, dikritik, ditentang, ditekan dan sejenisnya, apapun alasannya kalau pun Moeldoko bersikeras bertahan dengan tetap menjabat pada jabatan publiknya itu adalah sah-ah saja, kecuali kalau dipecat Presiden Jokowi.
Ini karena, konstitusi masih memungkinkan seorang pemimpin partai politik menduduki jabatan publik seperti presiden atau menteri, dan sebagainya, sebab jabatan publik memuat unsur politis yang masih dipahami harus berasal dari partai politik.
Ya, memang sih imbasnya terkait rangkap jabatan ini, akan mengakumulasi kekuasaan Moeldoko, tapi ya begitulah, karena kenyataannya tidak ada aturan yang melarangnya.
-----