Mohon tunggu...
Sigit Eka Pribadi
Sigit Eka Pribadi Mohon Tunggu... Administrasi - #Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#

#Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#Menulis sesuai suara hati#Kebebasan berpendapat dijamin Konstitusi#

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Moeldoko, Politikus, Parpol, dan Terdegradasinya Politik yang Beretika-Beradab

6 Maret 2021   19:25 Diperbarui: 6 Maret 2021   19:30 819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumbet gambar/foto via Tempo.co

Perpecahan partai politik bukanlah fenomena ataupun persoalan baru di negeri ini. Parpol pecah dilanda sengketa oleh karena berbagai sebab, baik itu karena konflik internal maupun faktor eksternal, pernah dialami oleh berbagai Parpol yang ada di negeri ini.

Perpecahan pernah menimpa PPP, Golkar, Beringin, bahkan PAN maupun PKS bisa dikatakan termasuk di dalamnya, tidak ketinggalan juga Partai Demokrat, sehingga pada akhirnya menyebabkan terjadinya dualisme kepemimpinan maupun kepengurusan.

Ya, kenyataanya imbas perpecahan yang menimpa partai politik memang cukup berdampak signifikan, karena pada akhirnya seiring itu juga perpecahan turut melanda hingga ke tingkat daerah, baik itu provinsi maupun kabupaten/kota.

Fenomena lain terkait imbas dari perpecahan partai politik adalah kebingungan pengurus atau kader di bawah dalam menyikapi dan memastikan yang manakah dari kepengurusan ganda itu yang paling sahih atau sah dalam aspek tinjauan hukum.

Namun demikian, jika sudah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht), maka inilah seharusnya yang jadi landasan pengurus di bawahnya diberbagai wilayah untuk menerima dengan legowo dan mendukung pengurus pusat yang telah disahkan pengadilan.

Seperti itulah juga yang seharusnya berlaku di Partai Demokrat ke depan, meski saat ini sudah terjadi dualisme kepengurusan, maka ketika nanti sudah jelas siapa yang mempunyai legalitas hukum yang incraht, maka salah satunya harus legowo, entah itu di Kubu AHY ataupun di Kubu Moeldoko.

Terkait itu juga dengan pecahnya Partai Demokrat ini, maka beberapa simpul utama yang bisa penulis temukan di sini diantaranya adalah;

Adanya ketidakberterimaan atas kepemimpinan AHY sebagai Ketum Demokrat yang dianggap lemah dan tidak mampu mengangkat kekuatan Partai Demokrat dan tengara adanya praktik dinasti politik di tubuh Partai Demokrat yang pada akhirnya memicu kader Partai Demokrat yang anti AHY mencari figur yang dianggap mampu mengangkat Partai Demokrat sehingga muncullah figur Moeldoko.

Setelah Moeldoko didapuk untuk mengangkat Partai Demokrat dari para kader Partai Demokrat yang Anti AHY ini, maka otomatis seiring itu juga muncul "kehendak untuk berkuasa" dari Moeldoko yang pada akhirnya jadi Ketum Demokrat versi KLB Deli Serdang.

Lalu yang jadi pertanyaannya adalah, beradabkah atau tidak, beretikakah atau tidak dan apakah ada peran lingkar kekuasaan dan pemerintahan terkait kisruh ataupun dualisme yang terjadi di Partai Demokrat ini?

Menuding keterlibatan peran lingkar kekuasaan dan pemerintahan yang merestui manuver Moeldoko di Partai Demokrat adalah tidak logis bila tanpa bukti sahih, apalagi mengaitkannya dengan Presiden Jokowi, pun juga menuding manuver Moeldoko tersebut adalah tidak beradab dan beretika dalam manuvernya tersebut jugalah tidak relevan, meskipun benar kalau mau secara jujur dikatakan bahwa Moeldoko tidak beradab dan beretika terkait manuver politiknya tersebut.

Sehingga masihlah bisa dibilang wajar dalam rangka mencapai kehendak kekuasaan tersebut Moeldoko akan menghalalkan segala cara baik positif maupun negatif, tidak beradab dan tidak beretika adalah sah-sah saja.

Karena apa, ya ini karena budaya menghalalkan segala cara sudah umum dan mendarah daging terjadi di negeri ini. Bahwasanya praktik perpolitikan di negeri ini selalu akan menghalalkan segala cara, baik itu dengan cara money politik, perbuatan curang, saling sikut-menyikut sesama anggota di internal partai maupun yang datangnya dari eksternal partai guna menghamba pada kepentingan dan demi tercapainya suatu tujuan untuk berkuasa tersebut.

Kalau mau disalahkan atau ada yang mau dituntut terkait pecahnya Partai Demokrat, ya salahkanlah budaya partai politik yang selalu menghalalkan segala cara untuk berkuasa dan kalau pun mau menuduh lingkar kekuasaan dan pemerintahan turut andil serta merestui Moeldoko bermanuver di Partai Demokrat, ya buktinya apa.

Memang sih, ada bukti sejarah terkait adanya intervensi politik penguasa untuk memecah belah Parpol, seperti yang pernah terjadi pada PDI pada saat Rezim Soeharto berkuasa, maka apa yang terjadi di Partai Demokrat ini bisa saja terjadi sama seperti itu, tapi selama itu tidak terbukti, maka dalam hal ini lingkar penguasa dan pemerintahan tidak bisa diganggu gugat.

Yang jelas Ke depan Partai Demokrat harus apa, siapa Demokrat yang sejati, Kubu AHY kah atau Kubu Moeldoko kah, ya tinggal bertarung saja baik itu di PTUN dan di Kemenkumham RI, seperti halnya partai-partai lain yang pernah ditimpa perpecahan partai.

Lantas, haruskan Moeldoko mundur dari jabatan publiknya di pemerintahan?

Moeldoko boleh tidak mundur dari jabatan publiknya, meskipun dipaksa, dikritik, ditentang, ditekan dan sejenisnya, apapun alasannya kalau pun Moeldoko bersikeras bertahan dengan tetap menjabat pada jabatan publiknya itu adalah sah-ah saja, kecuali kalau dipecat Presiden Jokowi.

Ini karena, konstitusi masih memungkinkan seorang pemimpin partai politik menduduki jabatan publik seperti presiden atau menteri, dan sebagainya, sebab jabatan publik memuat unsur politis yang masih dipahami harus berasal dari partai politik.

Ya, memang sih imbasnya terkait rangkap jabatan ini, akan mengakumulasi kekuasaan Moeldoko, tapi ya begitulah, karena kenyataannya tidak ada aturan yang melarangnya.

-----

Pecahnya Parpol dengan membuat Parpol tandingan merupakan keniscayaan dalam politik, ini karena para elite politik akan selalu berupaya merebut jabatan tertinggi dalam Parpol dan berupaya dengan segala cara dalam menyingkirkan lawan-lawannya.

Terkait dengan beretika dan tidak beretikanya serta beradab dan tidak beradabnya kancah perpolitikan di negeri ini, maka inilah sejatinya yang harus diperbaiki.

Sebab, bila bercermin dari sikap para politikus makin kekinian, maka merupakan gambaran nyata, bahwa etika dan adab politiknya memang mulai atau mungkin justru sudah luntur dan jatuh terdegradasi ke dalam jurang yang paling dalam.

Sejatinya politik yang beretika adalah politik beradab dengan tujuan mulia untuk mencapai tujuan bersama dalam berbangsa dan bernegara.

Namun terkadang hanya karena perbedaan pandangan politik, kepentingan, dan ambisi kekuasaan, entah secara sadar ataupun tidak disadari, para politikus justru sudah tak lagi gaduh dengan politik yang beretika dan beradab ini.

Semakin kekinian, ternyata para politikus justru semakin tidak mampu memberi tatanan dan edukasi kehidupan politik yang bermartabat. Ambisi meraih kekuasaan menyebabkan para politisi semakin lupa diri terhadap makna jiwa politik yang sejati.

Gerakan politiknya kerapkali hanyalah merupakan strategi negosiasi dan transaksi demi kekuasaan, dan bagi-bagi jabatan, pragmatis dengan menjadikan kekuasaan sebagai tujuan yang harus direbut dengan segala cara, bukannya sebagai alat untuk mencapai tujuan bersama dalam berbangsa dan bernegara sebagaimana tertuang dalam UUD 1945.

Berlaku kelihatan menghindar tapi ternyata justru mendekat dan menjilat, ini karena moralnya hanya berorientasi untuk merengkuh kekuasaan, sehingga jadi tidaklah mengherankan bila kemunafikan yang tak beretika dan tak beradab jadi dagelan dan tontonan politik yang sangat mengenaskan dan sama sekali tidak mengedukasi publik.

Padahal sejatinya, politik itu haruslah berjiwa, pengabdiannya haruslah berkiblat kepada rakyat, bukan politik yang selalu identik dengan menghamba pada kekuasaan.

Politik dinasti, dualisme partai, pecah kongsi yang dimainkan para elite pemerintahan dan para elite politik semakin mewarnai panggung politik Indonesia.

Sehingga tersebutlah ungkapan, bahwa dalam politik itu tidak ada musuh yang abadi dan tidak ada kawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi demi kekuasaan.

Padahal sejatinya, politik yang berjiwa adalah politik yang beretika dan beradab, memiliki konsensus mengedukasi dan mengabdi kepada publik.

Tapi pada faktanya politik di negeri ini hanyalah soal kekuasaan belaka, sehingga kompetisi untuk mendapatkan kekuasaan membuat para elite politik akhirnya menghalalkan berbagai cara untuk memperoleh kekuasaan.

Kompetisi politik merupakan sesuatu yang wajar dan logis, namun sebenarnya bukanlah berarti pula para politikus mesti menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan tersebut.

Akhirnya dampaknya apa, ya jelas saja menciderai demokrasi dan menambah penilaian minor, skeptisme, dan pesimisme publik tentang politik.

Lalu yang jadi pertanyaannya adalah, bisakah dengan sudah sebegitu mendarah dagingnya politik dengan budaya politik yang tak beretika dan beradab serta menghalalkan segala cara ini diperbaiki?

Bila melihat dan menilai realita dunia panggung perpolitikan Indonesia sampai saat ini, sepertinya masihlah sulit untuk menemukan politik yang berjiwa, beretika dan beradab.

Sehingga entahlah, hanya dari para politikusnya sendirilah yang bisa menyadarinya sendiri, tapi kalau melihat bagaimana kotornya perhelatan politik di negeri ini, sepertinya masih jauh panggang dari api, dan entah sampai kapan panggung politik yang berlangsung sampai saat ini berubah ke arah yang lebih baik lagi.

Tapi setidaknya optimisme agar ke depan keberadaban dan keberetikaan politik di negeri ini jadi lebih baik lagi, tetaplah menjadi harapan bersama. Semoga saja bisa.

Sigit Eka Pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun