Pemerintah Tiongkok menganut paham Jus Sanguinis. Artinya semua Tionghoa yang berada di luar Tiongkok adalah Warga Negara Tiongkok. Kebijakan ini menyebabkan semua Tionghoa di Indonesia masuk dalam kategori komunitas yang memiliki dwi kewarganegaraan.
Secara diam-diam, Sunario menyiapkan Perjanjian Penyelesaian Masalah Dwi-kewarganegaraan Tiongkok-Indonesia. Dokumen ini menyatakan bahwa semua Tionghoa yang tidak mengajukan permohonan menjadi WNI berdasarkan hukum Indonesia, dianggap Warga Negara Tiongkok. Ia sodorkan dokumen ini ke Zhou Enlai yang tanpa berpikir panjang menanda tanganinya pada 22 April 1955.
Dokumen yang ditanda tangai kedua pihak tersebut masuk dalam berbagai surat kabar. Atas nama Baperki, Siauw mengeluarkan statements di berbagai surat kabar menentang dokumen tersebut. Zhou ternyata terkejut menerima laporan adanya arus kuat menentang perjanjian tersebut dari komunitas Tionghoa. Ia meminta waktu untuk mengadakan pertemuan dengan Siauw pada 25 April 1955.
Pada pertemuan itu Siauw berhasil meyakinkan Zhou bahwa Perjanjian yang ditanda tangani ini merugikan posisi hukum, sosial dan politik komunitas Tionghoa di Indonesia. Atas dukungan Perdana menteri Ali Sastroamidjojo dan perdebatan di parlemen, Siauw merumuskan Exchange of Notes yang mendampingi Perjanjian yang sudah ditanda tangani tersebut.Â
Exchange of Notes tersebut menyatakan:
The Government of the People's Republic of China and the Government of Republic of Indonesia agree that among those who are at the same time citizens of Indonesia and of the People's Republic of China there is a certain group who may be considered to have only one citizenship and not to have dual citizenship, because, in the opinion of the Government of the Republic of Indonesia, their social and political position demonstrates that they have spontaneously (in an implicit manner) renounced the citizenship of the People's Republic of China. Persons included in the above-mentioned group, because they have only one citizenship, are not required to choose their citizenship under the provisions of the dual nationality treaty. If they so desire, a certificate stating their position may be given to such persons
Exchange of Notes yang ditanda tangani oleh PM Ali dan PM Zhou pada 3 Juni 1955, mengurangi dampak Perjanjian. Semua anggota parlemen, semua Tionghoa yang ikut pemilu 1955, semua Tionghoa yang berstatus rakyat jelata -- petani, buruh tidak masuk dalam daftar orang yang harus memilih kewarganegaraan Indonesia. Mereka tetap masuk kategori WNI.
Karena kerap bergantinya pemerintahan di Indonesia, Perjanjian yang didampingi Exchange of Notes tersebut baru diratifikasi kedua belah pihak pada 1960.
Upaya untuk mengubah UU 1946 tetap berlangsung. Pada 1958 keluarlah UU Kewarganegaraan baru yang pada hakekatnya merupakan kompromi antara pendukung pembatalan dan pengukuhan UU Kewarganegaraan 1946 di parlemen.
Dampak perubahan ini besar sekali. Hingga 1980-an masih banyak Tionghoa di Indonesia mengalami masalah karena posisi UU Kewarganegaraan ini, yang melanggar prinsip dan janji para pejuang kemerdekaan Indonesia. Kewarganegaraan oleh sementara penguasa politik dijadikan barang dagangan dan alat pemeras.
***