Banyak orang Indonesia keturunan Tionghoa, terutama generasi mudanya, tidak mengetahui bahwa kewarganegaraan Indonesia yang dimilikinya merupakan hasil perjuangan politik sejak berdirinya Republik Indonesia pada 1945.
Tulisan ini menggambar secara singkat sejarah perjuangan yang membuahkan kewarganegaraan Indonesia.
Nasion Indonesia dan Kewarganegaraan Indonesia
Sebelum kemerdekaan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, empat tokoh Tionghoa pendiri dan pemimpin PTI (Partai Tionghoa Indonesia) yang didirikan pada 1932, mengadakan pertemuan berkali-kali di Surabaya dan Malang. Mereka adalah Liem Koen Hian, Tan Ling Djie, Tjoa Sik Ien dan Siauw Giok Tjhan.
Sejak pendudukan Jepang (1942-1945) ke empat orang ini berpisah. Liem berada di Jakarta. Tan di Cimahi, Tjoa di Surabaya dan Siauw di Malang.
Mereka berembuk untuk merumuskan aspirasi komunitas Tionghoa yang harus diikut sertakan dalam UU dan bentuk negara Indonesia merdeka yang sedang diperbincangkan dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno. Liem Koen Hian merupakan anggota di Panitia tersebut.Â
Sejak pendirian PTI, mereka bersandar atas prinsip kebangsaan yang dicanangkan oleh Indische Partij - berdiri pada 1912 di bawah pimpinan Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo dan Ki hajar Dewantara -- yaitu Indonesia adalah sebuah nasion yang bersatu tanpa memperdulikan latar belakang asal keturunan semua yang berada di dalamnya dan semua yang berada dalam kesatuan tersebut memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Berdasarkan pengertian ini ke-empat tokoh Tionghoa tersebut merumuskan bahwa setiap orang yang lahir di Indonesia adalah bagian dari nasion Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia.
Selanjutnya mereka menegaskan bahwa harus ada Undang-Undang yang melarang praktek-praktek diskriminasi rasial dan adanya ketentuan hukum yang menjamin adanya persamaan hak dan kewajiban setiap warga negara Indonesia.
Mereka-pun bersepakat untuk disampaikan harapan bahwa nasionalisme Indonesia tidak berkembang sebagai chauvinisme.
Liem Koen Hian menurut sertakan rumusan di atas di dalam diskusi dan pidatonya di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada Agustus 1945.
Harapan ke-empat orang ini ternyata terpenuhi. Tidak lama setelah kemerdekaan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, tepatnya pada tanggal 1 November 1945, dikeluarkanlah Maklumat Politik (Manifesto Politik) yang dengan tegas mengikutsertakan janji para pendiri Republik Indonesia, yaitu "menjadikan semua orang Indo-Asia dan Indo-Eropa, warga negara,
patriot dan demokrat Indonesia, dalam waktu sesingkat mungkin".
Dari keempat tokoh Tionghoa tersebut, hanya Tan Ling Djie dan Siauw Giok Tjhan yang menjadi anggota KNIP dan BP KNIP. Mereka berdua turut merumuskan UU Kewarganegaraan Indonesia yang disahkan pada 10 April 1946.
UU tersebut menyatakan bahwa semua orang yang lahir di Indonesia adalah warga negara Indonesia kecuali mereka menolak kewarganegaraan Indonesia. Waktu yang diberikan untuk memutuskan ini asalnya dua tahun tetapi kemudian diperpanjang hingga 31 Desember 1951.
Pada tanggal ini, ada sekitar 200 ribu Tionghoa secara resmi menolak kewarganegaraan Indonesia. Ini berarti, sebagian terbesar komunitas Tionghoa secara hukum menjadi WNI.
Perkembangan politik ternyata mengubah jalur keberhasilan yang dicapai ini.
Demokrasi Parlementer (1950-1959)
Setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia terkonsolidasi pada 1949, Indonesia masuk dalam zaman Demokrasi Parlementer, di mana pemerintah bertanggung jawab kepada parlemen. Ini berlangsung hingga 1959, ketika Soekarno mengeluarkan Dekrit-nya yang mengukuhkan kembali UUD 45.
Perdana Menteri dan para menteri berasal dari parlemen. Para anggota parlemen memiliki pengaruh besar dalam mendukung atau menolak berbagai kebijakan pemerintah. Setiap RUU (Rancangan UU) Peraturan Pemerintah diperdebatkan di parlemen dan harus diratifikasi atau disetujui olehnya. Pemerintah bisa dijatuhkan oleh parlemen.
Dari ke empat tokoh Tionghoa tersebut di atas, hanya Siauw yang duduk di parlemen sebagai anggota tidak berpartai dan mewakili komunitas Tionghoa. Pada 1950, Ia berhasil membentuk dan mengetuai sebuah fraksi yang cukup berpengaruh di parlemen yaitu Fraksi Nasional Progresif.
Fraksi ini beranggotakan partai-partai nasionalis, di antaranya Murba, PIR, PRN, Akoma, SKI dan para tokoh tidak berpartai lainnya, di antaranya Moh Yamin, Iwa Kusuma Sumantri. Banyak dari anggota fraksi ini menjadi menteri-menteri di berbagai kabinet pemerintah.
Pada zaman ini, banyak kabinet hanya bisa bertahan sekitar 12 bulan. Jatuh bangunnya pemerintah menyebabkan jumlah partai politik dan tokoh politik yang memiliki kepentingan untuk berkuasa meningkat pesat. Ini membangkitkan hasrat untuk mengumpulkan dana baik untuk partai politik maupun untuk kepentingan pribadi para tokoh tersebut.
Jalan yang ditempuh adalah mendobrak dominasi dunia perdagangan yang sudah bergenerasi berada di tangan pedagang-pedagang Tionghoa, terutama dalam bidang ekspor/impor, transportasi, penggilingan padi, distribusi dan retail.
Keluarlah berbagai RUU dan PP yang didesain untuk melarang Tionghoa berkecimpung di dalam bidang-bidang tersebut dan menggantikannya dengan pedagang-pedagang pribumi yang pada zaman itu dinamakan "asli".
Siauw termasuk anggota parlemen yang paling gigih menentang berbagai RUU dan PP yang berlandaskan rasisme. Didukung oleh Fraksi Nasional Progresif dan beberapa fraksi lainnya, ia berhasil membatalkan atau mengurangi dampak RUU dan PP, di antaranya Peraturan Bis umum, Penggilingan Padi sehingga pedagang Tionghoa bisa tetap melanjutkan usahanya.
Argumentasi Siauw yang memperoleh dukungan cukup luas di parlemen: para pedagang Tionghoa adalah WNI yang memiliki hak dan kewajiban sama dengan para WNI lainnya.
Tidak semua RUU dan PP rasis berhasil dibatalkan. Perkembangan ini lalu menimbukan praktik absurd yang dikenal sebagai Ali Baba. Si Ali (pribumi yang memiliki koneksi dengan tokoh politik)) memegang lisensi usaha, tetapi yang menjalankan adalah si Baba (pedagang Tionghoa).
Ironisnya, karena parlemen berkali-kali berhasil diyakinkan untuk tidak mengesahkan UU yang bersandar atas rasisme, lahirlah arus kuat di parlemen dan di luar parlemen untuk membatalkan UU Kewarganegaraan Indonesia 1946. Logika para tokoh politik itu adalah bilamana para pedagang Tionghoa menjadi asing, tidak ada lagi perlindungan hukum yang mereka bisa peroleh.
RUU Kewarganegaraan dan Penyelesaian Dwi KewarganegaraanÂ
Pada 1953, keluarlah RUU Kewarganegaraan yang ingin membatalkan UU 1946. Yang ingin diubah adalah semua keturunan asing harus mengajukan permohonan resmi ke pengadilan menjadi WNI dan hanya bisa dipertimbangkan bilamana si pemohon lahir di Indonesia dan ayah si pemohon lahir di Indonesia. Permohonan ini harus didukung oleh bukti-bukti dokumen sah, yaitu surat lahir dan surat perkawinan orang tua.
Siauw memimpin penolakan terhadap RUU di parlemen. Semua perwakilan Tionghoa di parlemen dan banyak anggota lain mendukungnya. Argumentasinya adalah pamor RI di dunia internasional akan jatuh karena pembatalan kewarganegaraan sebuah komunitas yang besar itu merupakan pelanggaran hukum internasional.Â
Lagi pula sebagian besar Tionghoa yang lahir di Indonesia, walaupun sudah bergenerasi menetap di Indonesia, tidak memiliki dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk mengajukan permohonan.
RUU berhasil dibatalkan di parlemen. Tetapi arus tidak berhenti. Para tokoh tetap mencari jalan untuk mengantar kembali RUU ini ke dalam kancah perdebatan baik di parlemen maupun di luar parlemen.Â
Loyalitas Ganda menjadi dasar keinginan mereka membatalkan UU 1946. RUU kembali diperdebatkan pada 1954 dan berhasil dibatalkan lagi.Â
Inilah yang menyebabkan lahirnya Baperki -- Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) pada 1954 yang berkembang sebagai organisasi massa yang cukup ampuh melawan arus rasisme baik di luar dan di dalam parlemen, karena didukung oleh banyak tokoh nasionalis dan oleh massa Tionghoa sendiri. Baperki kemudian berkembang pula sebagai sebuah institusi pendidikan yang cukup besar -- dari taman kanak-kanak hingga universitas.
Arus pembatalan UU 1946 dipelopori oleh Sunario. Ia merupakan menteri luar negeri pada waktu Konperensi Asia Afrika pertama diselenggarakan di Bandung pada 1955. Perdana menteri Zhou Enlai datang mewakili RRT pada konperensi tersebut.
Pemerintah Tiongkok menganut paham Jus Sanguinis. Artinya semua Tionghoa yang berada di luar Tiongkok adalah Warga Negara Tiongkok. Kebijakan ini menyebabkan semua Tionghoa di Indonesia masuk dalam kategori komunitas yang memiliki dwi kewarganegaraan.
Secara diam-diam, Sunario menyiapkan Perjanjian Penyelesaian Masalah Dwi-kewarganegaraan Tiongkok-Indonesia. Dokumen ini menyatakan bahwa semua Tionghoa yang tidak mengajukan permohonan menjadi WNI berdasarkan hukum Indonesia, dianggap Warga Negara Tiongkok. Ia sodorkan dokumen ini ke Zhou Enlai yang tanpa berpikir panjang menanda tanganinya pada 22 April 1955.
Dokumen yang ditanda tangai kedua pihak tersebut masuk dalam berbagai surat kabar. Atas nama Baperki, Siauw mengeluarkan statements di berbagai surat kabar menentang dokumen tersebut. Zhou ternyata terkejut menerima laporan adanya arus kuat menentang perjanjian tersebut dari komunitas Tionghoa. Ia meminta waktu untuk mengadakan pertemuan dengan Siauw pada 25 April 1955.
Pada pertemuan itu Siauw berhasil meyakinkan Zhou bahwa Perjanjian yang ditanda tangani ini merugikan posisi hukum, sosial dan politik komunitas Tionghoa di Indonesia. Atas dukungan Perdana menteri Ali Sastroamidjojo dan perdebatan di parlemen, Siauw merumuskan Exchange of Notes yang mendampingi Perjanjian yang sudah ditanda tangani tersebut.Â
Exchange of Notes tersebut menyatakan:
The Government of the People's Republic of China and the Government of Republic of Indonesia agree that among those who are at the same time citizens of Indonesia and of the People's Republic of China there is a certain group who may be considered to have only one citizenship and not to have dual citizenship, because, in the opinion of the Government of the Republic of Indonesia, their social and political position demonstrates that they have spontaneously (in an implicit manner) renounced the citizenship of the People's Republic of China. Persons included in the above-mentioned group, because they have only one citizenship, are not required to choose their citizenship under the provisions of the dual nationality treaty. If they so desire, a certificate stating their position may be given to such persons
Exchange of Notes yang ditanda tangani oleh PM Ali dan PM Zhou pada 3 Juni 1955, mengurangi dampak Perjanjian. Semua anggota parlemen, semua Tionghoa yang ikut pemilu 1955, semua Tionghoa yang berstatus rakyat jelata -- petani, buruh tidak masuk dalam daftar orang yang harus memilih kewarganegaraan Indonesia. Mereka tetap masuk kategori WNI.
Karena kerap bergantinya pemerintahan di Indonesia, Perjanjian yang didampingi Exchange of Notes tersebut baru diratifikasi kedua belah pihak pada 1960.
Upaya untuk mengubah UU 1946 tetap berlangsung. Pada 1958 keluarlah UU Kewarganegaraan baru yang pada hakekatnya merupakan kompromi antara pendukung pembatalan dan pengukuhan UU Kewarganegaraan 1946 di parlemen.
Dampak perubahan ini besar sekali. Hingga 1980-an masih banyak Tionghoa di Indonesia mengalami masalah karena posisi UU Kewarganegaraan ini, yang melanggar prinsip dan janji para pejuang kemerdekaan Indonesia. Kewarganegaraan oleh sementara penguasa politik dijadikan barang dagangan dan alat pemeras.
***
Oleh: Siauw Tiong Djin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H