Siauw termasuk anggota parlemen yang paling gigih menentang berbagai RUU dan PP yang berlandaskan rasisme. Didukung oleh Fraksi Nasional Progresif dan beberapa fraksi lainnya, ia berhasil membatalkan atau mengurangi dampak RUU dan PP, di antaranya Peraturan Bis umum, Penggilingan Padi sehingga pedagang Tionghoa bisa tetap melanjutkan usahanya.
Argumentasi Siauw yang memperoleh dukungan cukup luas di parlemen: para pedagang Tionghoa adalah WNI yang memiliki hak dan kewajiban sama dengan para WNI lainnya.
Tidak semua RUU dan PP rasis berhasil dibatalkan. Perkembangan ini lalu menimbukan praktik absurd yang dikenal sebagai Ali Baba. Si Ali (pribumi yang memiliki koneksi dengan tokoh politik)) memegang lisensi usaha, tetapi yang menjalankan adalah si Baba (pedagang Tionghoa).
Ironisnya, karena parlemen berkali-kali berhasil diyakinkan untuk tidak mengesahkan UU yang bersandar atas rasisme, lahirlah arus kuat di parlemen dan di luar parlemen untuk membatalkan UU Kewarganegaraan Indonesia 1946. Logika para tokoh politik itu adalah bilamana para pedagang Tionghoa menjadi asing, tidak ada lagi perlindungan hukum yang mereka bisa peroleh.
RUU Kewarganegaraan dan Penyelesaian Dwi KewarganegaraanÂ
Pada 1953, keluarlah RUU Kewarganegaraan yang ingin membatalkan UU 1946. Yang ingin diubah adalah semua keturunan asing harus mengajukan permohonan resmi ke pengadilan menjadi WNI dan hanya bisa dipertimbangkan bilamana si pemohon lahir di Indonesia dan ayah si pemohon lahir di Indonesia. Permohonan ini harus didukung oleh bukti-bukti dokumen sah, yaitu surat lahir dan surat perkawinan orang tua.
Siauw memimpin penolakan terhadap RUU di parlemen. Semua perwakilan Tionghoa di parlemen dan banyak anggota lain mendukungnya. Argumentasinya adalah pamor RI di dunia internasional akan jatuh karena pembatalan kewarganegaraan sebuah komunitas yang besar itu merupakan pelanggaran hukum internasional.Â
Lagi pula sebagian besar Tionghoa yang lahir di Indonesia, walaupun sudah bergenerasi menetap di Indonesia, tidak memiliki dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk mengajukan permohonan.
RUU berhasil dibatalkan di parlemen. Tetapi arus tidak berhenti. Para tokoh tetap mencari jalan untuk mengantar kembali RUU ini ke dalam kancah perdebatan baik di parlemen maupun di luar parlemen.Â
Loyalitas Ganda menjadi dasar keinginan mereka membatalkan UU 1946. RUU kembali diperdebatkan pada 1954 dan berhasil dibatalkan lagi.Â
Inilah yang menyebabkan lahirnya Baperki -- Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) pada 1954 yang berkembang sebagai organisasi massa yang cukup ampuh melawan arus rasisme baik di luar dan di dalam parlemen, karena didukung oleh banyak tokoh nasionalis dan oleh massa Tionghoa sendiri. Baperki kemudian berkembang pula sebagai sebuah institusi pendidikan yang cukup besar -- dari taman kanak-kanak hingga universitas.
Arus pembatalan UU 1946 dipelopori oleh Sunario. Ia merupakan menteri luar negeri pada waktu Konperensi Asia Afrika pertama diselenggarakan di Bandung pada 1955. Perdana menteri Zhou Enlai datang mewakili RRT pada konperensi tersebut.