Hasilnya? Roldos dan Torrijos tewas dalam kecelakaan udara. Roldos meninggal pada 24 Mei 1981 dalam kecelakaan pesawat dan Torrijos mangkat dua bulan setelahnya, 31 Juli 1981 setelah helikopter yang dinaikinya jatuh.
"Kematian mereka bukanlah kebetulan. Mereka dibunuh karena mereka menolak uluran tangan persaudaraan korporat, pemerintah dan pimpinan perbankan yang memiliki tujuan untuk berkuasa secara global," demikian kata Perkins.
Pembunuhan adalah jalan kedua yang dilakukan AS jika kepentingan mereka melalui jalan "diplomasi" tersendat. Presiden pertama Indonesia, Sukarno juga berkali-kali mengalami percobaan pembunuhan seperti itu, tetapi selalu gagal. Pejuang revolusioner dan mantan Presiden Kuba, Fidel Castro bahkan sempat merasakan 638 kali percobaan pembunuhan. Tindakan yang diduga kuat dilakukan oleh Badan Intelijen AS (CIA) ini juga pernah dialami oleh banyak pemimpin dunia seperti mantan Presiden Venezuela Hugo Chavez, mantan Presiden Brazil Dilma Rousseff, mantan Presiden Paraguay Fernando Lugo, mantan Presiden Irak Saddam Husein, mantan Presiden Libya Muammar Gaddafi dan lain-lain.
Jika rencana pembunuhan masih saja gagal, AS akan melakukan rencana lain yaitu memperkuat dukungan kepada oposisi. Oposisi dalam hal ini bisa bersenjata, bisa sipil. Pihak barat mengaliri wilayah sasarannya dengan uang, propaganda dan pelatihan.
Media-media barat yang dimiliki perusahaan-perusahaan multinasional barat kemudian menghembuskan isu-isu pertentangan rakyat untuk menggoyahkan pemerintahan setempat.
"Kebanyakan dari surat kabar, majalah, dan penerbit kita dimiliki dan dimanipulasi oleh korporasi internasional raksasa. NBC dimiliki oleh General Electric, ABC oleh Disney, CBS oleh Viacom dan CNN adalah bagian dari konglomerat AOL Time Warner," tulis John Perkins.
Beberapa pergerakan tanpa letusan senjata Amerika Serikat di negara sasaran di antaranya sokongan terhadap Persaudaraan Muslim (Ikhwanul Muslimin) untuk menentang kepemimpinan Presiden Mesir yang sosialis Gamal Abdul Nasser dan menggunakan pengaruh ulama untuk melengserkan PM Iran Mohammad Mossadegh (“Islam Politik-Sebuah Analisis Marxis” Deepa Kumar, 2012).
Oposisi Bersenjata
Selain memanaskan negara tujuan dengan demonstrasi-demonstrasi dan unjuk rasa skala besar, Amerika Serikat juga memberikan dukungan logistik, alat perang dan teknis kepada oposisi bersenjata.
Di Indonesia, hal ini terlihat pada usaha-usaha menyingkirkan kaum komunis seperti melalui pemberontakan PRRI/Permesta dan gerakan pembantaian massal pasca Gerakan 30 September 1965 yang akhirnya memaksa Presiden Sukarno lengser dari jabatannya. (Baca buku "Di Bawah Bayang-Bayang Amerika Serikat - Keterlibatan Amerika Serikat dalam Pemberontakan PRRI/Permesta (1955-1961) oleh Boogie Wibowo dan Dalih Pembunuhan Massal - John Roosa).
Hal serupa terjadi juga di negara-negara lain seperti Cile, di mana tentara oposisi pimpinan Augusto Pinochet yang disokong AS mengkudeta Presiden Salvador Guillermo Allende Gossens. Lalu ada pula penggulingan Perdana Menteri Iran Mohammad Mossadegh, yang dengan gagah berani menasionalisasi sumber-sumber minyak negaranya, oleh AS dan menggantikannya dengan Shah Mohammad Reza Pahlevi.