Mohon tunggu...
Michael Siahaan
Michael Siahaan Mohon Tunggu... Jurnalis - Berpikir, bekerja, bersahaja.

Apa guna membaca tanpa menulis?

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Serangan ke Suriah Bukti Tidak Kreatifnya Amerika Serikat

15 April 2017   02:06 Diperbarui: 15 April 2017   11:00 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: thesleuthjournal.com

Serangan lebih dari 50 peluru kendali Tomahawk Amerika Serikat (AS) ke Suriah pada Jumat, 7 April 2017 lalu melalui kapal perang Angkatan Laut USS Porter dan USS Ross mengejutkan banyak pihak.

Banyak yang tidak menyangka Presiden AS Donald Trump melakukan tembakan beruntun mendadak tersebut. Sebab, pengganti Barack Obama itu kerap mengumbar dukungan untuk Rusia demi membasmi ISIS di negerinya Presiden Bashar Al-Assad.

Sesaat setelah gelontoran Tomahawk tersebut menghantam Pangkalan Udara Shayrat, Homs, dunia terbagi dua, pendukung dan penentang tindakan AS. Yang mendukung serangan itu tentu saja para sekutu AS, seperti Israel, Arab Saudi termasuk negara-negara anggota Pakta Pertahananan Atlantik Utara (NATO).

Sementara Rusia, China, Indonesia masuk kelompok tak sepaham dengan kebijakan AS. Alasannya, karena mereka menganggap kebijakan Trump tersebut melanggar kedaulatan sebuah negara yang merdeka.

Oke, sejenak mari kita tinggalkan pro-kontra yang pasti selalu ada itu. Sebab, ada hal menarik yang bisa dilihat dari jejak-jejak hantaman rudal AS di Suriah. Jikalau kita merunut sejarah, tindakan AS itu justru sebenarnya sudah bisa ditebak sejak mula.

Awalnya mari lihat alasan Trump menyerang Suriah yaitu serangan senjata kimia di Idlib yang, menurut pemberitaan beredar, menewaskan lebih dari 70 orang. Suami dari Ivanka Marie ini sangat yakin pelaku penyerangan senjata kimia tersebut adalah tentara Suriah sendiri atas perintah Presiden Bashar Al-Assad.

Dugaan penggunaan zat kimia berbahaya, "sarin", dianggap Trump merupakan bukti dari celotehan Presiden AS sebelumnya, Barack Obama, yang mengumandangkan tudingan penggunaan senjata kimia oleh pemerintah Suriah di negerinya sendiri sejak tahun 2013.

Tidak perlu jauh-jauh mengingat bahwa kejadian serupa pernah terjadi di Irak pada tahun 2003. Saat itu, pemerintahan George W. Bush menuduh Presiden Saddam Husein memerintahkan bawahannya menyimpan senjata pemusnah massal ("weapon of mass destruction") berupa nuklir dan zat kimia.

Tudingan itupun menjadi alasan AS melakukan serangan sepihak ke Irak dan memporak-porandakan Negeri 1001 Malam yang membuat keadaannya sampai kini tidak pernah stabil akibat perang saudara.

Namun, semua itu dipatahkan laporan Komisi Pengawasan, Verifikasi dan Inspeksi PBB (UNMOVIC) yang dikeluarkan pada 5 Juni 2003. Tulisan hasil riset UNMOVIC di bawah kepemipinan Hans Blix menegaskan bahwa di Irak "PBB tidak menemukan bukti program senjata terlarang apapun".

Tujuan serangan AS ke Irak tidak lain tidak bukan adalah demi minyak. Dalam artikelnya di The Guardian, Kamis (20/3/2014), Direktur Eksekutif Institute for Policy Research & Development Nafeez Ahmed menyebut, awal dari keinginan untuk menyerang Irak adalah adanya peringatan krisis energi global dan AS diprediksi merasakan gangguan kerentanan dan ketidakseimbangan harga energi.

"Itu dipublikasikan oleh Council on Foreign Relations dan James Baker Institute for Public Policy pada tahun 2001," tulis Ahmed.

Lagi dan Lagi

Dengan segala ke-adidaya-annya, AS sepertinya kekurangan kreativitas dalam merancang "kudeta terselubung" atas sebuah negara. Paman Sam seolah memiliki standar baku bagaimana caranya menumbangkan rezim yang menurutnya bisa mengganggu kepentingan internasional mereka.

Awalnya, Paman Sam akan melakukan "diplomasi" pribadi dengan pejabat di negara bersangkutan. Tugas ini dilakukan oleh sosok yang disebut "ekonom perusak" atau "economic hit man".

Cerita tentang ini bisa kita temukan dalam buku "Confession of an Economic Hit Man" (2004), yang ditulis mantan ekonom perusak John Perkins.

"Sarana mereka meliputi laporan keuangan yang menyesatkan, pemilihan yang curang, penyuapan, pemerasan, seks dan pembunuhan," tulis Perkins.

Dia melanjutkan, dirinya bekerja kepada sebuah kekuatan besar yang terdiri dari perusahaan maupun keluarga yang sangat kaya, penuh kekuasaan dan bekerja sama dengan pemerintah, disebut korporatokrasi.

"Untuk memajukan kekuasaan global, mereka menggunakan kekuatan finansial dan politis mereka untuk memastikan bahwa sekolah, bisnis dan media kita mendukung konsep dan konsekuensinya yang salah itu," tambah Perkins.

Sebagai ekonom perusak itu, dia berhasil menyelesaikan tugasnya dengan baik, salah satunya di Indonesia, sejak Soeharto berkuasa. Dia, bersama teman-teman "sejenis"nya, berhasil membuat Indonesia menerima mentah-mentah beragam proyek infrastruktur dan eksplorasi berbiaya sangat besar, lalu membelitnya dengan utang yang hampir tidak mungkin dilunasi.

Tantangannya dialaminya di ketika tiba di Ekuador, yang dipimpin Presiden Jaime Roldos, dan Panama yang berada di bawah komando Presiden Omar Torrijos.

Disebut Perkins, dua orang ini dengan terang benderang menolak kepentingan koporatokrasi AS di negerinya. Roldos menentang pendirian industri minyak di negaranya yang dipelopori keluarga Rockefeller. Sementara Torrijos secara terbuka meminta penguasaan penuh Panama atas Terusan Panama demi kepentingan rakyatnya.

Hasilnya? Roldos dan Torrijos tewas dalam kecelakaan udara. Roldos meninggal pada 24 Mei 1981 dalam kecelakaan pesawat dan Torrijos mangkat dua bulan setelahnya, 31 Juli 1981 setelah helikopter yang dinaikinya jatuh.

"Kematian mereka bukanlah kebetulan. Mereka dibunuh karena mereka menolak uluran tangan persaudaraan korporat, pemerintah dan pimpinan perbankan yang memiliki tujuan untuk berkuasa secara global," demikian kata Perkins.

Pembunuhan adalah jalan kedua yang dilakukan AS jika kepentingan mereka melalui jalan "diplomasi" tersendat. Presiden pertama Indonesia, Sukarno juga berkali-kali mengalami percobaan pembunuhan seperti itu, tetapi selalu gagal. Pejuang revolusioner dan mantan Presiden Kuba, Fidel Castro bahkan sempat merasakan 638 kali percobaan pembunuhan. Tindakan yang diduga kuat dilakukan oleh Badan Intelijen AS (CIA) ini juga pernah dialami oleh banyak pemimpin dunia seperti mantan Presiden Venezuela Hugo Chavez, mantan Presiden Brazil Dilma Rousseff, mantan Presiden Paraguay Fernando Lugo, mantan Presiden Irak Saddam Husein, mantan Presiden Libya Muammar Gaddafi dan lain-lain.

Jika rencana pembunuhan masih saja gagal, AS akan melakukan rencana lain yaitu memperkuat dukungan kepada oposisi. Oposisi dalam hal ini bisa bersenjata, bisa sipil. Pihak barat mengaliri wilayah sasarannya dengan uang, propaganda dan pelatihan.

Media-media barat yang dimiliki perusahaan-perusahaan multinasional barat kemudian menghembuskan isu-isu pertentangan rakyat untuk menggoyahkan pemerintahan setempat.

"Kebanyakan dari surat kabar, majalah, dan penerbit kita dimiliki dan dimanipulasi oleh korporasi internasional raksasa. NBC dimiliki oleh General Electric, ABC oleh Disney, CBS oleh Viacom dan CNN adalah bagian dari konglomerat AOL Time Warner," tulis John Perkins.

Beberapa pergerakan tanpa letusan senjata Amerika Serikat di negara sasaran di antaranya sokongan terhadap Persaudaraan Muslim (Ikhwanul Muslimin) untuk menentang kepemimpinan Presiden Mesir yang sosialis Gamal Abdul Nasser dan menggunakan pengaruh ulama untuk melengserkan PM Iran Mohammad Mossadegh (“Islam Politik-Sebuah Analisis Marxis” Deepa Kumar, 2012).

Oposisi Bersenjata

Selain memanaskan negara tujuan dengan demonstrasi-demonstrasi dan unjuk rasa skala besar, Amerika Serikat juga memberikan dukungan logistik, alat perang dan teknis kepada oposisi bersenjata.

Di Indonesia, hal ini terlihat pada usaha-usaha menyingkirkan kaum komunis seperti melalui pemberontakan PRRI/Permesta dan gerakan pembantaian massal pasca Gerakan 30 September 1965 yang akhirnya memaksa Presiden Sukarno lengser dari jabatannya. (Baca buku "Di Bawah Bayang-Bayang Amerika Serikat - Keterlibatan Amerika Serikat dalam Pemberontakan PRRI/Permesta (1955-1961) oleh Boogie Wibowo dan Dalih Pembunuhan Massal - John Roosa).

Hal serupa terjadi juga di negara-negara lain seperti Cile, di mana tentara oposisi pimpinan Augusto Pinochet yang disokong AS mengkudeta Presiden Salvador Guillermo Allende Gossens. Lalu ada pula penggulingan Perdana Menteri Iran Mohammad Mossadegh, yang dengan gagah berani menasionalisasi sumber-sumber minyak negaranya, oleh AS dan menggantikannya dengan Shah Mohammad Reza Pahlevi.

Logikanya, dengan memanfaatkan oposisi bersenjata, Amerika Serikat bisa menghemat penurunan pasukan reguler. Selain, perusahaan-perusahaan produsen senjata bisa untung besar karena pasokan untuk kelompok pemberontak mengalir lancar.

Di kawasan Timur Tengah, Amerika Serikat diyakini menjadi pendukung utama pemberontak yang di dalam negerinya sendiri disebut teroris. Pengamat Timur Tengah Dina Sulaeman bahkan menunjuk langsung hidung Paman Sam sebagai pelopor pencipta pasukan Negara Islam Irak-Suriah (ISIS).

Dina mengatakan, ISIS merupakan pecahan dari Al-Qaeda, kelompok bersenjata yang didanai, dipersenjatai dan dilatih AS semula untuk mengusir Uni Soviet dari Asia Tengah. AS merasa para mujahidin fundamentalis itu perlu dirayu untuk melancarkan "proyek minyak" dan perbankan mereka di sana.

ISIS, bersama pemberontak lain juga pecahan Al-Qaeda seperti Jabhah Al Nusra, berkomplot dengan pasukan binaan AS, Free Syrian Army lalu "menggerecoki" pemerintah Suriah yang sah. Suriah sendiri diketahui tidak memiliki cadangan minyak sebesar negara-negara lain di Timur Tengah.

Dalam artikel yang dikeluarkan CNN pada 5 September 2013 berjudul "Why Syria matters to oil markets", dijelaskan bahwa produksi minyak Suriah hanya 180.000 barel per-hari, sangat jauh dibandingkan Irak, misalnya, yang bisa memproduksi minyak 4,7 juta barel per-hari (data 2016).

Namun, Suriah berada dekat dengan titik transit impor minyak produktif, seperti Selat Hormuz (yang dilewati 17 juta barel minyak perhari), Terusan Suez dan Jalur Pipa Sume (yang total dilewati 3,8 juta barel minyak per-hari). Selain itu juga ada Jalur Pipa Ceyhan di utara Suriah yang membawa minyak keluar dari Asia Tengah.

Petualangan jalur minyak di Suriah inilah yang menjadi salah satu alasan perselisihan banyak negara di Suriah. Amerika Serikat, dipastikan berada di belakang kepentingan para pendukungnya, Uni Eropa, Arab Saudi, Israel.

Uni Eropa (UE) sendiri ingin meloloskan rencana pipa jalur Qatar, Saudi, Yordania, Suriah dan Turki. Ini tentu tidak dibiarkan Rusia karena berpotensi mengurangi pemasukan mereka dari sektor minyak dan gas yang selama ini dipasoknya kepada negara-negara UE.

Selain itu, bagi AS, Suriah yang saat ini dipimpin presiden dari Partai Sosialis Ba'ath, terlalu dekat dengan Rusia. Kelompok Ba'ath sendiri memang sudah akrab dengan Soviet sejak dulu.

Demi melicinkan semua kepentingan Barat dan sekutunya, maka dipastikan terlebih dahulu Presiden Assad, yang juga dekat dengan Hezbollah dan Hamas, harus dilengserkan. Suriah harus bisa dikendalikan dengan "demokrasi", agar "keamanan" Timur Tengah terjaga dan, pastinya, sekutu utama AS di wiayah tersebut, Israel bisa tidur dengan tenang karena dipastikan gangguan mereka bisa diredam.

Kenyataannya, menguasai Suriah tidak mudah karena mereka didukung penuh Rusia dan Iran. Berbagai cara sudah dilakukan dan masih saja tak berhasil. Gagal menyingkirkan Assad dengan memanfaatkan oposisi, seperti ketika membunuh Muammar Gaddafi melalui tangan tentara transisi Libya atau mendepak Sukarno di Indonesia melalui TNI AD, Amerika Serikat pun tiba dengan cara terakhir yaitu intervensi langsung.

Meski diketahui sempat menempatkan pasukan khususnya di Suriah, dengan alasan membantai teroris ISIS, AS belum pernah menyerang langsung pihak Suriah. Rentetan lebih dari 50 Tomahawk ke pangkalan udara resmi Suriah pun menjadi yang pertama dan penanda bahwa AS sudah putus asa.

Serangan kimia di Idlib sampai detik ini belum bisa dibuktikan berasal dari mana. Meskipun demikian, AS menjadikannya alasan untuk membombardir sebuah negara berdaulat, sebuah negara yang merdeka. Mereka rela mengeluarkan dana juta sampai miliaran dolar AS untuk "mendemokrasikan" Suriah dengan cara terlarang, mengulangi jejak mereka di Irak empat belas tahun lalu. Bukan tidak mungkin mereka selanjutnya menurunkan pasukan reguler ke Suriah, walau harus berhadap-hapan langsung dengan Rusia.

Paman Sam terus memperburuk citra mereka di bumi dan bersamaan dengan itu, memperdalam kantong-kantong perlawanan pihak-pihak yang tertindas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun