Serangan lebih dari 50 peluru kendali Tomahawk Amerika Serikat (AS) ke Suriah pada Jumat, 7 April 2017 lalu melalui kapal perang Angkatan Laut USS Porter dan USS Ross mengejutkan banyak pihak.
Banyak yang tidak menyangka Presiden AS Donald Trump melakukan tembakan beruntun mendadak tersebut. Sebab, pengganti Barack Obama itu kerap mengumbar dukungan untuk Rusia demi membasmi ISIS di negerinya Presiden Bashar Al-Assad.
Sesaat setelah gelontoran Tomahawk tersebut menghantam Pangkalan Udara Shayrat, Homs, dunia terbagi dua, pendukung dan penentang tindakan AS. Yang mendukung serangan itu tentu saja para sekutu AS, seperti Israel, Arab Saudi termasuk negara-negara anggota Pakta Pertahananan Atlantik Utara (NATO).
Sementara Rusia, China, Indonesia masuk kelompok tak sepaham dengan kebijakan AS. Alasannya, karena mereka menganggap kebijakan Trump tersebut melanggar kedaulatan sebuah negara yang merdeka.
Oke, sejenak mari kita tinggalkan pro-kontra yang pasti selalu ada itu. Sebab, ada hal menarik yang bisa dilihat dari jejak-jejak hantaman rudal AS di Suriah. Jikalau kita merunut sejarah, tindakan AS itu justru sebenarnya sudah bisa ditebak sejak mula.
Awalnya mari lihat alasan Trump menyerang Suriah yaitu serangan senjata kimia di Idlib yang, menurut pemberitaan beredar, menewaskan lebih dari 70 orang. Suami dari Ivanka Marie ini sangat yakin pelaku penyerangan senjata kimia tersebut adalah tentara Suriah sendiri atas perintah Presiden Bashar Al-Assad.
Dugaan penggunaan zat kimia berbahaya, "sarin", dianggap Trump merupakan bukti dari celotehan Presiden AS sebelumnya, Barack Obama, yang mengumandangkan tudingan penggunaan senjata kimia oleh pemerintah Suriah di negerinya sendiri sejak tahun 2013.
Tidak perlu jauh-jauh mengingat bahwa kejadian serupa pernah terjadi di Irak pada tahun 2003. Saat itu, pemerintahan George W. Bush menuduh Presiden Saddam Husein memerintahkan bawahannya menyimpan senjata pemusnah massal ("weapon of mass destruction") berupa nuklir dan zat kimia.
Tudingan itupun menjadi alasan AS melakukan serangan sepihak ke Irak dan memporak-porandakan Negeri 1001 Malam yang membuat keadaannya sampai kini tidak pernah stabil akibat perang saudara.
Namun, semua itu dipatahkan laporan Komisi Pengawasan, Verifikasi dan Inspeksi PBB (UNMOVIC) yang dikeluarkan pada 5 Juni 2003. Tulisan hasil riset UNMOVIC di bawah kepemipinan Hans Blix menegaskan bahwa di Irak "PBB tidak menemukan bukti program senjata terlarang apapun".
Tujuan serangan AS ke Irak tidak lain tidak bukan adalah demi minyak. Dalam artikelnya di The Guardian, Kamis (20/3/2014), Direktur Eksekutif Institute for Policy Research & Development Nafeez Ahmed menyebut, awal dari keinginan untuk menyerang Irak adalah adanya peringatan krisis energi global dan AS diprediksi merasakan gangguan kerentanan dan ketidakseimbangan harga energi.