Dalam perjalanan hidup, barangkali tiada yang lebih mengusik daripada menghadapi opini yang tak terhindarkan dan bergemuruh di sekitar kita. Kritik pedas, hinaan yang mengiris, atau bahkan pujian yang sekadar topeng basa-basi sering kali menyerupai rantai halus penggerogot jiwa dan menjauhkan kita dari kebebasan sejati. Para pemikir agung lintas zaman, dari Marcus Aurelius hingga Friedrich Nietzsche, telah menelusuri liku-liku batin manusia dan berupaya memahami, menantang, melampaui kekuasaan opini eksternal atas diri kita.
Â
Marcus Aurelius: Tantangan Menghadapi Opini
Marcus Aurelius menghadapi berbagai tantangan besar sebagai kaisar Romawi. Beliau memerintah kerajaan yang luas, menghadapi perang, dan berjuang dengan pergumulan pribadinya. Salah satu kesulitan yang ia tuliskan dalam Meditations adalah berurusan dengan orang-orang yang sulit. Sehari-hari, ia bertemu dengan orang-orang yang tidak baik, tidak tahu berterima kasih, sombong, tidak jujur, iri hati, dan berbagai sifat buruk lainnya. Namun, Marcus Aurelius adalah seorang praktisi stoikisme yang setia. Filsafat Yunani ini membantunya menghadapi situasi-situasi tidak menyenangkan dengan memusatkan perhatian pada hal-hal yang ada dalam kekuasaannya alih-alih meratapi pendapat atau ketidaksukaan orang lain.
Dalam tulisannya, ia pernah menulis:
Seseorang membenciku. Itu masalah mereka. Dan aku, tidak melakukan atau mengatakan sesuatu yang tercela. Seseorang membenciku. Masalah mereka. Aku bersabar dan ceria terhadap semua orang, termasuk mereka. Siap menunjukkan kesalahan mereka. Bukan dengan maksud dengki, atau untuk menunjukkan pengendalian diri, tapi dengan cara yang jujur dan lurus.
Bagi Marcus Aurelius, memperhatikan orang lain adalah hal penting untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan berfungsi dengan baik. Kita harus mempertimbangkan kebutuhan dan kesejahteraan orang lain, karena pada akhirnya kita saling bergantung dan saling membutuhkan.
Namun, ia juga menyadari bahaya menjadi terlalu sibuk dengan pikiran dan tindakan orang lain. Hal ini bisa menjadi sumber penderitaan yang tiada henti. Misalnya, kita mungkin merasa tersakiti oleh pandangan politik seseorang atau tersinggung ketika orang lain menghina kita atau bertindak bertentangan dengan nilai-nilai kita.
Sebagai seorang Stoic, Marcus Aurelius memilih untuk tidak membiarkan dirinya dirugikan oleh pikiran dan tindakan orang lain. Baginya, hal itu hanya akan menghalangi kemampuannya untuk hidup berbudi luhur. Ia juga sadar akan keterbatasan kekuatannya. Bahkan sebagai kaisar, ia tidak mampu mengendalikan pendapat atau tindakan orang-orang di sekitarnya. Oleh karena itu, merasa sakit hati atas apa yang tidak bisa ia kendalikan adalah hal yang ia anggap tidak masuk akal.
Saat ini, perjuangan melawan perasaan tersakiti oleh pendapat dan tindakan orang lain masih relevan, terutama di dunia yang sangat terpolarisasi. Namun, wawasan para filsuf zaman dahulu, seperti Marcus Aurelius, memberikan pelajaran berharga. Dengan mengandalkan kebijaksanaan ini, kita dapat melindungi diri dari bahaya racun, kebodohan, dan kepicikan manusia.
Â
Diogenes dari Sinope: Filosofi Anjing dan Ketidakpedulian
Diogenes dari Sinope adalah seorang filsuf Sinis Yunani kuno yang dikenal karena gaya hidupnya yang ekstrem. Ia tinggal dalam sebuah tong dan menjauhkan diri dari harta benda untuk mempraktikkan hidup sederhana hingga ke titik radikal.
Di siang yang cerah, Diogenes berjalan-jalan di pasar dengan membawa lentera. Ketika orang bertanya apa yang ia lakukan, ia menjawab bahwa ia sedang mencari "pria"--- yang ia maksud adalah orang jujur, berbeda dengan orang-orang sekitarnya yang dia anggap tidak jujur dan tidak rasional.
Diogenes dikenal sangat mengabaikan konvensi sosial. Ia tidak peduli dengan pencarian status dan uang yang dilakukan oarng-orang. Ia pun tidak peduli tentang penampilan yang baik di mata orang lain. Orang-orang memanggilnya "anjing" karena ia berperilaku seperti seekor anjing, tetapi ia justru memuji "kebajikan" seekor anjing.
Anjing makan dan bercinta di depan umum, berjalan tanpa alas kaki, dan tidur di mana pun mereka mau. Anjing tidak tahu malu. Diogenes menyukai anjing yang tidak tahu malu; hal ini membuat mereka autentik dan tidak "munafik", kebalikan dari apa yang ia lihat pada kebanyakan orang.
Anjing pada umumnya tidak peduli dengan apa yang orang pikirkan tentang kehewanan mereka. Pernahkah Anda melihat seekor anjing merasa malu setelah meletakkan kotoran di tengah jalan? Pernahkah Anda melihat seekor anjing tersinggung karena seseorang menertawakannya? Apakah seekor anjing akan terganggu oleh pandangan politik masyarakat? Tentu tidak. Seekor anjing hanyalah "anjing" , tidak terlalu memperumit masalah, tidak memperhatikan semua gagasan dan aturan buatan manusia.
Kaum Sinis adalah sekte ketidakpedulian. Ketidakpedulian mereka terhadap harta benda, status, dan pendapat orang lain merupakan inti filosofi mereka (kalau disebut demikian) karena mereka percaya bahwa tidak terbelenggu pada hal-hal tersebut adalah kebahagiaan sejati yang bisa ditemukan.
Anda tidak perlu khawatir dengan pendapat orang lain karena jika Anda khawatir, orang-orang tersebut mempunyai kekuasaan atas Anda.
Oleh karena itu, ketidakpedulian Diogenes yang sanat dalam membuatnya tak terkalahkan. Dia bahkan tidak peduli apa yang dipikirkan Alexander Agung tentang dirinya, yang mengejutkan, mengingat banyak penjilat yang umumnya mengelilingi pria sekuat itu untuk mencium pantatnya demi keuntungan duniawi. Diogenes tetap menjadi dirinya sendiri tanpa takut atau terpengaruh oleh kekuasaan.
Arthur Schopenhauer: Filsuf Pesimisme yang Autentik
Mari kita beralih ke filsuf berikutnya yang percaya bahwa kita seharusnya tidak terlalu peduli dengan apa yang dipikirkan orang lain: Arthur Schopenhauer.
Jika mendengarkan orang-orang di sekitarnya, terutama ibunya, Arthur Schopenhauer tidak akan pernah menjadi filsuf pesimis besar yang dikagumi orang-orang saat ini. Ibunya mengkritik pandangan dunianya yang pesimistis, dan suatu kali menulis bahwa ia "menjengkelkan dan tak tertahankan" serta "sangat menjengkelkan." Ironisnya, pemikirannya yang kelam dan pesimistis, yang dibenci ibunya, kemudian membuatnya begitu dikagumi.
Schopenhauer menciptakan filosofi yang masih menyentuh hati banyak orang hingga kini dengan tetap autentik. Pandangannya yang menyedihkan namun jelas tentang keberadaan menggambarkan dunia apa adanya. Sebagai filsuf Jerman, ia tidak menutup-nutupi apa pun. Ia secara rasional menjelaskan mengapa dunia ini tercela dan mengapa kita lebih baik tidak ada.
Mirip dengan pandangan Buddhis, Schopenhauer menganggap hidup adalah penderitaan. Ia percaya bahwa kekuatan pendorong yang tidak rasional, yang disebutnya sebagai "keinginan untuk hidup", menakdirkan manusia untuk menjalani perjuangan tak pernah terpuaskan. Perjuangan ini sering kali merupakan perwujudan dari keinginan yang tidak rasional.
Salah satu upaya manusia yang ia kritik adalah keinginan untuk dihargai tinggi di mata orang lain, yang ia sebut sebagai "kelemahan khusus sifat manusia." Menurut Schopenhauer, kecenderungan untuk terlalu memedulikan pendapat orang lain membawa lebih banyak ketidakbahagiaan daripada kebahagiaan. Persetujuan dari orang-orang mungkin membuat seseorang tersenyum untuk sementara waktu, tetapi hal itu dibayar dengan ketenangan pikiran dan kemandirian. Lagi pula, membuat orang lain terkesan membutuhkan kerja keras, dan semakin kita memedulikannya, semakin kita bergantung pada opini mereka.
Validasi yang kita cari sering kali tidak berdasar, karena masyarakat pada umumnya adalah hakim yang buruk. Satu-satunya cara untuk mengakhiri kebodohan universal ini adalah dengan melihat dengan jelas bahwa ini adalah kebodohan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengakui fakta bahwa sebagian besar opini yang ada di kepala manusia cenderung salah, menyimpang, keliru, dan tidak masuk akal, sehingga tidak layak untuk diperhatikan. Lebih jauh lagi, pendapat orang lain hanya mempunyai sedikit pengaruh nyata dan positif terhadap kita dalam sebagian besar situasi dan urusan kehidupan.
 (Arthur Schopenhauer, The Wisdom of Life, Chapter IV).
Epictetus: Filsuf Stoa dan Ketidakpedulian terhadap Pendapat Orang Lain
Sekarang, mari kita beralih ke filsuf berikutnya yang percaya bahwa kita tidak seharusnya terlalu menekankan pendapat orang lain, yaitu Epictetus.
Suatu ketika, Epictetus bertemu seorang pria malang yang mencoba meyakinkan orang-orang di sekitarnya bahwa ia tidak pantas mendapatkan belas kasihan mereka. Pria itu mencoba mengajari mereka bahwa mereka mengasihani hal-hal yang seharusnya tidak mereka kasihani, seperti kemiskinan dan kurangnya status, dengan menyatakan bahwa hal-hal tersebut tidaklah buruk. Namun, Epictetus dengan cepat menunjukkan bahwa upaya meyakinkan orang tentang kebaikan dan kejahatan adalah upaya yang sia-sia; bahkan Zeus pun tidak bisa melakukannya, jadi mengapa ia mencobanya?
Namun, pria itu ingin orang-orang ini mempunyai pendapat yang lebih baik tentang dirinya. Jadi, jika ia tidak bisa meyakinkan mereka untuk tidak mengasihani ia karena miskin dan berstatus rendah, mungkin ia bisa berpura-pura menjadi orang berstatus tinggi untuk mendapatkan persetujuan mereka. Tetapi Epictetus mengingatkannya tentang cara yang diperlukan untuk mencapai fasad ini: Ia harus meminjam sekelompok budak, memiliki beberapa barang mewah, dan sering memamerkannya. Ia harus bertingkah laku kaya dan terhormat, makan malam dan bergaul dengan orang-orang kelas atas, berusaha meniru cara mereka---semua upaya itu hanya untuk menghindari rasa kasihan dan penghinaan.
Epictetus menjelaskan kepadanya betapa absurdnya mencoba meyakinkan orang lain tanpa meyakinkan satu-satunya orang yang benar-benar dapat diyakinkan: dirinya sendiri. Hanya pendapat, pengejaran, dan sikapnya sendiri yang berada dalam kendalinya. Satu-satunya cara untuk berhenti menderita kesakitan dan kekacauan (dalam hal ini, karena orang-orang memandang rendah dirinya) adalah dengan melepaskan hal-hal yang berada di luar jangkauan tujuan moral, dengan kata lain, di luar kendalinya, dan mengesampingkannya.
Epictetus memberi tahu pria itu. "Kalau begitu, pendapat orang lain tentang Anda termasuk dalam golongan apa? Apa yang berada di luar lingkup tujuan moral---jadi, itu tidak berarti apa-apa bagi Anda? Tidak ada."
Apa yang orang lakukan dan pikirkan pada akhirnya berada di luar kendali kita. Dan menurut Epictetus, hal-hal seperti itu seharusnya tidak menjadi perhatian utama. Pandangan filsuf Stoa ini berharga dalam masyarakat saat ini, yang ditandai dengan kemarahan, orang-orang yang mudah marah, dan kurangnya toleransi terhadap "orang lain".
Orang-orang sering bertengkar, sering kali secara anonim, karena pandangan yang berbeda. Ada yang berusaha memaksakan pandangan mereka kepada orang lain, ada yang melontarkan hinaan dan celaan, dan ada pula yang merasa sangat tersakiti oleh gagasan lawan politiknya. Tapi jujur saja: bukankah kita membuang-buang waktu?
Ralph Waldo Emerson: Filsuf Kemandirian dan Jalan Autentik
Filsuf berikutnya sangat bersemangat tentang ketidaksesuaian dan pentingnya mengikuti jalan hidup yang autentik: Ralph Waldo Emerson.
Ralph Waldo Emerson adalah seorang filsuf transendentalis Amerika, yang juga dikenal sebagai pembela individualisme dan pemikiran kritis. Dalam esainya yang terkenal, Self-Reliance (Kemandirian), Emerson menyerukan kepada individu untuk memercayai diri mereka sendiri ketika memilih jalan hidup mereka. Menurut Emerson, kita harus menghindari tunduk pada penilaian dan harapan orang lain karena menilai pendapat orang lain secara berlebihan hanya akan menghalangi kita untuk hidup secara autentik.
"Meniru adalah bunuh diri," kata Emerson. Itu berarti bahwa dengan meniru orang lain dan menyesuaikan diri dengan norma-norma masyarakat, kita sebenarnya membunuh individualitas dan potensi unik kita.
Ia percaya setiap individu memiliki cahaya penuntun batin yang unik, suara hati yang memberitahu kita ke mana harus pergi. Emerson memandang suara hati sebagai percikan Ilahi atau "jiwa yang berlebihan", yang mewakili Tuhan di dalam diri kita. Baginya, kemandirian berarti mengutamakan bimbingan batin dibandingkan pendapat orang lain. Setiap individu memiliki pengalaman unik yang hanya dapat dipahami sepenuhnya oleh mereka sendiri karena rencana Ilahi dirancang secara unik untuk kehidupan setiap orang.
Percayalah pada dirimu sendiri; setiap hati bergetar pada tali besi itu. Terimalah tempat yang telah ditemukan oleh pemeliharaan Ilahi bagi Anda, masyarakat sezaman Anda, hubungkan berbagai peristiwa.
Â
Seperti Scopenhauer, Emerson percaya bahwa opini masyarakat sering kali berubah-ubah dan dibentuk oleh faktor-faktor yang dangkal, sehingga membuat opini tersebut tidak dapat dipercaya. "Mereka 'dipasang dan dilepas sesuai arah angin bertiup dan arah surat kabar'," tulisnya. "Daripada diombang-ambingkan oleh pendapat orang lain yang sering kali tidak berdasar, dangkal, dan hanya semntara, lebih baik dikembangkan kekuatan batin dan kepercayaan pada suara  diri sendiri. Kita harus mengatasi opini publik. Biarkan orang lain menjadi domba."
Friedrich Nietzsche: Jalan Memahami dan Menempa Diri
Filsuf lain, seorang pengagum Emerson, yang juga menghargai keaslian dan tidak menyukai mentalitas kawanan, adalah Friedrich Nietzsche. Gagasan Nietzsche tentang "overman" atau bermensch mendorong kita untuk melampaui keadaan biasa-biasa saja dan menciptakan nilai-nilai kita sendiri. Manusia yang berlebihan melepaskan diri dari standar masyarakat, moralitas konvensional, dan mentalitas kelompok.
Dalam Thus Spoke Zarathustra, Nietzsche membandingkan umat manusia dengan seutas tali yang direntangkan melintasi jurang maut---perlintasan berbahaya dari binatang menuju manusia. Perjalanan ini membutuhkan keberanian, pengatasan diri, dan pelepasan dari kenyamanan yang membuat kita terikat pada konformitas. Seperti domba peliharaan, masyarakat cenderung berpegang teguh pada keselamatan, konsumerisme, dan cita-cita kelompok yang menghalangi individu untuk unggul dan menjadi diri mereka sendiri.
Seperti yang telah diprediksi Nietzsche, banyak orang saat ini telah berubah menjadi apa yang disebutnya "orang-orang terakhir". Mereka hanya sibuk mencari kesenangan jangka pendek dan hidup mereka tidak berarti apa-apa. Di zaman kita, orang-orang sepertinya hidup di bawah kendali korporasi, yang memberi tahu mereka apa yang harus disukai dan dikonsumsi, sehingga membuat banyak individu merasa hampa.
Obat untuk kekosongan ini adalah dengan mengonsumsi lebih banyak. Menurut Nietzsche, untuk mencegah nihilisme, seseorang harus melepaskan diri dari kawanan dan menempa jalan yang terus-menerus menuntut pengatasan diri, jalan autentik dari manusia yang berlebihan. Perjalanan ini adalah proses yang tak pernah berakhir untuk menjadi lebih dari sekadar manusia biasa.
Tentu saja, seperti halnya siapa pun yang berani tampil berbeda, seseorang akan menerima cemoohan, kemarahan, rasa kasihan, penghinaan, dan disalahpahami. Namun, sebagaimana juga ditunjukkan oleh para filsuf seperti Epictetus dan Schopenhauer, semua itu adalah harga yang harus dibayar untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
--- Â
Shyants Eleftheria, libertas cogitationis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H