Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pelajaran dari Para Filsuf Klasik tentang Ketidakpedulian terhadap Opini Orang Lain

4 Januari 2025   12:53 Diperbarui: 4 Januari 2025   12:53 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi jangan terlalu peduli dengan pendapat orang lain | Sumber Gambar Pixabay.com. 

Di siang yang cerah, Diogenes berjalan-jalan di pasar dengan membawa lentera. Ketika orang bertanya apa yang ia lakukan, ia menjawab bahwa ia sedang mencari "pria"--- yang ia maksud adalah orang jujur, berbeda dengan orang-orang sekitarnya yang dia anggap tidak jujur dan tidak rasional.

Diogenes dikenal sangat mengabaikan konvensi sosial. Ia tidak peduli dengan pencarian status dan uang yang dilakukan oarng-orang. Ia pun tidak peduli tentang penampilan yang baik di mata orang lain. Orang-orang memanggilnya "anjing" karena ia berperilaku seperti seekor anjing, tetapi ia justru memuji "kebajikan" seekor anjing.

Anjing makan dan bercinta di depan umum, berjalan tanpa alas kaki, dan tidur di mana pun mereka mau. Anjing tidak tahu malu. Diogenes menyukai anjing yang tidak tahu malu; hal ini membuat mereka autentik dan tidak "munafik", kebalikan dari apa yang ia lihat pada kebanyakan orang.

Anjing pada umumnya tidak peduli dengan apa yang orang pikirkan tentang kehewanan mereka. Pernahkah Anda melihat seekor anjing merasa malu setelah meletakkan kotoran di tengah jalan? Pernahkah Anda melihat seekor anjing tersinggung karena seseorang menertawakannya? Apakah seekor anjing akan terganggu oleh pandangan politik masyarakat? Tentu tidak. Seekor anjing hanyalah "anjing" , tidak terlalu memperumit masalah, tidak memperhatikan semua gagasan dan aturan buatan manusia.

Kaum Sinis adalah sekte ketidakpedulian. Ketidakpedulian mereka terhadap harta benda, status, dan pendapat orang lain merupakan inti filosofi mereka (kalau disebut demikian) karena mereka percaya bahwa tidak terbelenggu pada hal-hal tersebut adalah kebahagiaan sejati yang bisa ditemukan.

Anda tidak perlu khawatir dengan pendapat orang lain karena jika Anda khawatir, orang-orang tersebut mempunyai kekuasaan atas Anda.

Oleh karena itu, ketidakpedulian Diogenes yang sanat dalam membuatnya tak terkalahkan. Dia bahkan tidak peduli apa yang dipikirkan Alexander Agung tentang dirinya, yang mengejutkan, mengingat banyak penjilat yang umumnya mengelilingi pria sekuat itu untuk mencium pantatnya demi keuntungan duniawi. Diogenes tetap menjadi dirinya sendiri tanpa takut atau terpengaruh oleh kekuasaan.

Arthur Schopenhauer: Filsuf Pesimisme yang Autentik

Mari kita beralih ke filsuf berikutnya yang percaya bahwa kita seharusnya tidak terlalu peduli dengan apa yang dipikirkan orang lain: Arthur Schopenhauer.

Jika mendengarkan orang-orang di sekitarnya, terutama ibunya, Arthur Schopenhauer tidak akan pernah menjadi filsuf pesimis besar yang dikagumi orang-orang saat ini. Ibunya mengkritik pandangan dunianya yang pesimistis, dan suatu kali menulis bahwa ia "menjengkelkan dan tak tertahankan" serta "sangat menjengkelkan." Ironisnya, pemikirannya yang kelam dan pesimistis, yang dibenci ibunya, kemudian membuatnya begitu dikagumi.

Schopenhauer menciptakan filosofi yang masih menyentuh hati banyak orang hingga kini dengan tetap autentik. Pandangannya yang menyedihkan namun jelas tentang keberadaan menggambarkan dunia apa adanya. Sebagai filsuf Jerman, ia tidak menutup-nutupi apa pun. Ia secara rasional menjelaskan mengapa dunia ini tercela dan mengapa kita lebih baik tidak ada.

Mirip dengan pandangan Buddhis, Schopenhauer menganggap hidup adalah penderitaan. Ia percaya bahwa kekuatan pendorong yang tidak rasional, yang disebutnya sebagai "keinginan untuk hidup", menakdirkan manusia untuk menjalani perjuangan tak pernah terpuaskan. Perjuangan ini sering kali merupakan perwujudan dari keinginan yang tidak rasional.

Salah satu upaya manusia yang ia kritik adalah keinginan untuk dihargai tinggi di mata orang lain, yang ia sebut sebagai "kelemahan khusus sifat manusia." Menurut Schopenhauer, kecenderungan untuk terlalu memedulikan pendapat orang lain membawa lebih banyak ketidakbahagiaan daripada kebahagiaan. Persetujuan dari orang-orang mungkin membuat seseorang tersenyum untuk sementara waktu, tetapi hal itu dibayar dengan ketenangan pikiran dan kemandirian. Lagi pula, membuat orang lain terkesan membutuhkan kerja keras, dan semakin kita memedulikannya, semakin kita bergantung pada opini mereka.

Validasi yang kita cari sering kali tidak berdasar, karena masyarakat pada umumnya adalah hakim yang buruk. Satu-satunya cara untuk mengakhiri kebodohan universal ini adalah dengan melihat dengan jelas bahwa ini adalah kebodohan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengakui fakta bahwa sebagian besar opini yang ada di kepala manusia cenderung salah, menyimpang, keliru, dan tidak masuk akal, sehingga tidak layak untuk diperhatikan. Lebih jauh lagi, pendapat orang lain hanya mempunyai sedikit pengaruh nyata dan positif terhadap kita dalam sebagian besar situasi dan urusan kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun