Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Seperti Tarian Paradoks

6 Desember 2024   11:17 Diperbarui: 6 Desember 2024   13:04 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tarian Paradoks | Sumber Gambar  pixabay.com 

Ada yang lebih tajam dari pisau dan lebih panas dari bara: kerelaan untuk terluka. 

Kerelaan itu seperti hendak meresap dan mengiris-iris malam di penghujung Desember, lalu mengobrak-abrik mimpi buruk yang tak pernah usai. Di kota ini, denyut nadinya adalah gemuruh kendaraan, ledakan kembang api, dan bisikan-bisikan harapan manusia-manusia tersesat yang berusaha mati-matian agar bisa terdengar nyata meski dalam kebisuan yang mengimpit. 

Hujan jatuh dari langit dan menyulam kaca jendela kamarku dengan pola acak--sebuah pesan yang belum mampu kuterjemahkan. Tirai hening melindungiku dari kekacauan luar, tetapi aku tahu, aku tidak sendirian. Ada Theri, perempuan yang menjadi pusat orbit segala kekacauan emosionalku. 

Ia duduk di kursi yang menghadap ke meja kecil, mengenakan kaus hitam tanpa lengan yang bertuliskan moto hidup paling absurd: "Hidup adalah penantian untuk mati, sisanya ilusi". Siluet bahunya tampak jelas. Rambut panjangnya tergelung berantakan. Beberapa helai terlepas dan membingkai wajahnya. Sebatang rokok terselip dengan anggun di jemarinya. Ia tidak peduli abu yang jatuh, tidak pula terburu-buru untuk mengisapnya.

Theri memiringkan kepala sedikit. Wajahnya setengah tertutup bayangan cahaya lampu meja. Ia terlihat cantik dan seksi dalam ketidakacuhannya, menyerupai perpaduan antara tragedi dan keanggunan. Diamnya, lebih menusuk daripada ribuan kata yang pernah kudengar. Perempuan ini, entah bagaimana, membuat waktu berhenti. Caranya mengisap rokok---perlahan, menikmati setiap detik yang terbakar, dan bagaimana ia memperlakukan dunia dengan kebosanan, semua itu menarik perhatianku dengan cara sangat menyakitkan. 

Aku berdiri, diam, tidak ingin memulai percakapan. Ia pun tidak bicara---ya, ia memang tidak pernah bicara lebih dari yang diperlukan. Aku tidak tahu apakah ia sedang membaca pikiranku atau sekadar menikmati irama hujan yang bahkan tidak pernah bisa kupahami. Kami sudah terlalu sering diam. Hanya, meski demikian, kata-kata yang tak terucapkan terasa lebih nyata dari apa pun yang pernah kukatakan sepanjang hidup.

Kami telah lama saling mengenal untuk menyebut ini kebetulan, tetapi terlalu asing untuk menyebutnya takdir. Aku bertemu Theri dalam seminar filsafat di penghujung Oktober sekitar dua tahun lalu. Seminar itu membahas eksistensialisme Sartre dan absurditas Camus, tema yang sudah kukunyah bertahun-tahun. Waktu itu, aku datang bukan karena tertarik pada filsafat, melainkan karena aku ingin menemukan orang-orang yang tidak puas dengan realitas sederhana. Namun, di ruangan itu, semua ide itu terasa basi, hingga aku melihat Theri, berdiri dengan percaya diri yang dingin, lalu ia berbicara.

"Penderitaan bukanlah nasib," katanya, "penderitaan adalah pilihan. Kita menderita karena kita memilih untuk menginternalisasi luka itu sebagai bagian dari identitas kita."

Kalimat itu menghantamku seperti badai---melenyapkan setiap prinsip yang selama ini kusebut milikku. Maka, aku mendekatinya setelah acara berakhir. Dengan berani, atau mungkin bodoh, aku bertanya, "Kalau begitu, apa penderitaan yang kau pilih?"

Ia tersenyum. "Mungkin kau akan mengetahuinya kalau kau cukup sabar."

Dan begitulah. Aku masuk ke dalam belantara bernama Theri.

Theri bukanlah perempuan biasa. Ia adalah teka-teki, tetapi bukan teka-teki yang menuntut untuk dipecahkan. Ia adalah belantara yang memikat justru karena kebelantaraan itu sendiri, bukan karena ada sesuatu di pusatnya. Hubungan kami semacam tarian penuh paradoks, yang tidak pernah bisa kumasukkan ke dalam kategori mana pun. Ia menciptakan jarak setiap kali aku mencoba mendekat, tetapi ia juga menarikku kembali setiap kali aku mencoba pergi. Kami bagai dua entitas yang bergerak dalam orbit yang sama, saling menghancurkan sekaligus saling menguatkan.

"Kau suka rasa sakit?" tanyanya suatu malam, saat kami duduk di balkon kecil apartemenku, memandang kota yang menyala seperti monster yang kehabisan napas.

"Aku tidak tahu," jawabku jujur.

Ia tersenyum samar. Tatapannya menusuk. "Kau tahu, Agung ... kau tahu. Tapi kau terlalu takut untuk mengakuinya."

Ia benar, tentu saja aku tahu. Rasa sakit bukan sekadar sensasi; itu adalah bukti bahwa aku hidup. Dalam penderitaan, aku menemukan eksistensiku yang paling murni, bebas dari bayang-bayang kebahagiaan yang dipaksakan. Dan bersama Theri, penderitaan itu menjadi lebih dari sekadar rasa. Derita telah menjadi bahasa.

Di bulan-bulan selanjutnya, Theri mulai berubah. Ia sering menghilang tanpa penjelasan dan meninggalkan pesan-pesan singkat yang tidak menjawab apa-apa, kecuali menyisakan misteri menggantung. Setiap kali datang, ia membawa aura kehancuran yang sulit dijelaskan, yang tidak bisa kusebut apa-apa selain indah. Namun, ketika ia pergi, aku seperti pecandu yang kehabisan dosis, hampa, gelisah, dan mencarinya tanpa arah. Lama-kelamaan, ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang tak kusadari sebelumnya. Kekosongan yang ia tinggalkan justru memampukanku mendengar suara-suara di dalam diriku sendiri, suara-suara yang selama ini terkubur di bawah kebisingan dunia.

"Aku lelah," katanya suatu malam, setelah ia kembali tanpa aba-aba, dan ketika aku memintanya untuk menjelaskan perubahan sikapnya.

"Kita semua lelah." 

Ia tidak merespons. Sebaliknya, ia mengambil rokok dari sakunya, menyalakannya dengan gerakan yang begitu santai, lalu mengisapnya perlahan-lahan. Aku memperhatikannya dan mencoba mencari petunjuk dalam setiap gerakan itu. Namun, sia-sia; yang kutemukan hanyalah dinding batinnya yang tak tertembus. 

Ketika ia menatapku dengan ekspresi bosannya itu, aku mengatakan kepadanya, "Aku benci dirimu."  

Ia hanya tersenyum. Senyum itu---selalu senyum itu---menghancurkan segalanya, tetapi aku tidak pernah bisa menolaknya. "Benci adalah bentuk cinta yang lain," ujarnya. "Kau tidak bisa membenci tanpa peduli."

Sial, aku ingin membantah, tetapi tidak ada gunanya. Kata-katanya bagai pisau yang menancap terlalu dalam, dan aku terlalu lelah untuk mencabutnya.

Malam ini, di malam terakhir tahun ini, aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi aku tahu bahwa aku tidak bisa terus hidup dalam siklus ini. Jadi, aku mengundang Theri ke apartemenku.

Ia datang seperti biasa, dengan keheningan yang menakutkan, seolah-olah tahu apa yang ada di pikiranku sebelum aku mengatakannya. Aku menyiapkan anggur merah, memutar musik klasik, dan menunggu waktu yang tepat untuk memulai pembicaraan.

"Aku ingin mengatakan sesuatu," kataku akhirnya. Suaraku terdengar asing di telingaku sendiri.

Ia menatapku. Ekspresinya tenang mirip permukaan danau yang menyembunyikan kedalaman yang tak bisa diduga. "Aku juga," katanya, nyaris berbisik.

Aku mengangguk, memberi isyarat kepadanya untuk bicara lebih dulu.

"Tahukah, Agung? Kau adalah eksperimenku yang menarik. Aku tidak pernah mencintaimu. Aku hanya ingin tahu sejauh mana seseorang bisa menikmati rasa sakit. Dan kau ... kau telah melampaui ekspektasiku."

Aku tidak bergerak. Dunia di sekitarku melambat. Kata-kata itu seperti jarum yang menusuk-nusuk setiap inci kulitku. Ia baru saja membalikkan seluruh kenyataan yang kukenal. Aku ingin marah, tetapi aku tidak bisa. Sebaliknya, aku tersenyum.

"Aku tahu." jawabku pelan.

Ia terkejut. "Apa maksudmu?"

"Aku tahu kau hanya memainkan peran, tapi aku membiarkanmu. Ini bukan karena aku lemah. Aku hanya ingin melihat caramu melukaiku. Bukankah itu yang kauinginkan sejak awal? Aku membiarkanmu menang, Theri, karena aku menikmati permainan ini lebih dari yang kaukira."

Ia terdiam, dan untuk pertama kalinya, aku melihat kebingungan di matanya.

"Ada sesuatu yang tidak kau katakan, Theri," lanjutku, "ada rasa sakit yang kau sembunyikan, dan aku ingin tahu apa itu."

Ia mengembuskan napas panjang. Matanya kehilangan cahaya yang biasanya ada di sana. "Aku tidak bisa mencintai, Agung. Bukan karena aku tidak mau, tapi karena aku tidak punya ruang untuk itu. Seluruh ruang dalam diriku sudah dipenuhi oleh luka yang takkan pernah sembuh."

Aku mulai memahami segalanya. Meski Theri adalah cermin yang memantulkan rasa sakitku, tetapi ia sendiri adalah sosok yang retak. Hubungan kami tidak lagi tentang saling mencintai, tetapi tentang saling menyakiti. Menyakiti itulah yang membuat kami terus ada.

Ketika tengah malam tiba dan suara kembang api berdentum-dentum di langit luar, Theri berdiri untuk pergi dan aku tidak mencoba menghentikannya. Ia menatapku untuk terakhir kalinya, dan dalam tatapan itu, aku melihat semua yang tidak pernah ia ucapkan.

"Tahun depan, Agung," katanya pelan, "mungkin kau akan menemukan seseorang yang mencintaimu tanpa rasa sakit."

Aku tidak menjawab. Ketika ia pergi, aku tetap berdiri di depan jendela, memandangi kota yang gemuruh dengan suara kembang api. 

Aku tahu bahwa aku tidak akan pernah melupakan Theri, tetapi aku juga tahu bahwa hubungan ini sudah selesai--dan aku tidak menyesal.

Aku tidak tahu apa yang akan datang di tahun depan---apakah lebih baik atau lebih buruk. Namun, aku tahu satu hal: aku akan terus menari di atas bara api, merayakan penderitaan sebagai bagian dari perjalanan ini meski tanpanya. Karena bagiku, rasa sakit adalah seni, dan aku adalah senimannya.

---  

Shyants Eleftheria,

To grapshimo eine mathima zois

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun