"Aku tahu kau hanya memainkan peran, tapi aku membiarkanmu. Ini bukan karena aku lemah. Aku hanya ingin melihat caramu melukaiku. Bukankah itu yang kauinginkan sejak awal? Aku membiarkanmu menang, Theri, karena aku menikmati permainan ini lebih dari yang kaukira."
Ia terdiam, dan untuk pertama kalinya, aku melihat kebingungan di matanya.
"Ada sesuatu yang tidak kau katakan, Theri," lanjutku, "ada rasa sakit yang kau sembunyikan, dan aku ingin tahu apa itu."
Ia mengembuskan napas panjang. Matanya kehilangan cahaya yang biasanya ada di sana. "Aku tidak bisa mencintai, Agung. Bukan karena aku tidak mau, tapi karena aku tidak punya ruang untuk itu. Seluruh ruang dalam diriku sudah dipenuhi oleh luka yang takkan pernah sembuh."
Aku mulai memahami segalanya. Meski Theri adalah cermin yang memantulkan rasa sakitku, tetapi ia sendiri adalah sosok yang retak. Hubungan kami tidak lagi tentang saling mencintai, tetapi tentang saling menyakiti. Menyakiti itulah yang membuat kami terus ada.
Ketika tengah malam tiba dan suara kembang api berdentum-dentum di langit luar, Theri berdiri untuk pergi dan aku tidak mencoba menghentikannya. Ia menatapku untuk terakhir kalinya, dan dalam tatapan itu, aku melihat semua yang tidak pernah ia ucapkan.
"Tahun depan, Agung," katanya pelan, "mungkin kau akan menemukan seseorang yang mencintaimu tanpa rasa sakit."
Aku tidak menjawab. Ketika ia pergi, aku tetap berdiri di depan jendela, memandangi kota yang gemuruh dengan suara kembang api.Â
Aku tahu bahwa aku tidak akan pernah melupakan Theri, tetapi aku juga tahu bahwa hubungan ini sudah selesai--dan aku tidak menyesal.
Aku tidak tahu apa yang akan datang di tahun depan---apakah lebih baik atau lebih buruk. Namun, aku tahu satu hal: aku akan terus menari di atas bara api, merayakan penderitaan sebagai bagian dari perjalanan ini meski tanpanya. Karena bagiku, rasa sakit adalah seni, dan aku adalah senimannya.
--- Â