Dan begitulah. Aku masuk ke dalam belantara bernama Theri.
Theri bukanlah perempuan biasa. Ia adalah teka-teki, tetapi bukan teka-teki yang menuntut untuk dipecahkan. Ia adalah belantara yang memikat justru karena kebelantaraan itu sendiri, bukan karena ada sesuatu di pusatnya. Hubungan kami semacam tarian penuh paradoks, yang tidak pernah bisa kumasukkan ke dalam kategori mana pun. Ia menciptakan jarak setiap kali aku mencoba mendekat, tetapi ia juga menarikku kembali setiap kali aku mencoba pergi. Kami bagai dua entitas yang bergerak dalam orbit yang sama, saling menghancurkan sekaligus saling menguatkan.
"Kau suka rasa sakit?" tanyanya suatu malam, saat kami duduk di balkon kecil apartemenku, memandang kota yang menyala seperti monster yang kehabisan napas.
"Aku tidak tahu," jawabku jujur.
Ia tersenyum samar. Tatapannya menusuk. "Kau tahu, Agung ... kau tahu. Tapi kau terlalu takut untuk mengakuinya."
Ia benar, tentu saja aku tahu. Rasa sakit bukan sekadar sensasi; itu adalah bukti bahwa aku hidup. Dalam penderitaan, aku menemukan eksistensiku yang paling murni, bebas dari bayang-bayang kebahagiaan yang dipaksakan. Dan bersama Theri, penderitaan itu menjadi lebih dari sekadar rasa. Derita telah menjadi bahasa.
Di bulan-bulan selanjutnya, Theri mulai berubah. Ia sering menghilang tanpa penjelasan dan meninggalkan pesan-pesan singkat yang tidak menjawab apa-apa, kecuali menyisakan misteri menggantung. Setiap kali datang, ia membawa aura kehancuran yang sulit dijelaskan, yang tidak bisa kusebut apa-apa selain indah. Namun, ketika ia pergi, aku seperti pecandu yang kehabisan dosis, hampa, gelisah, dan mencarinya tanpa arah. Lama-kelamaan, ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang tak kusadari sebelumnya. Kekosongan yang ia tinggalkan justru memampukanku mendengar suara-suara di dalam diriku sendiri, suara-suara yang selama ini terkubur di bawah kebisingan dunia.
"Aku lelah," katanya suatu malam, setelah ia kembali tanpa aba-aba, dan ketika aku memintanya untuk menjelaskan perubahan sikapnya.
"Kita semua lelah."Â
Ia tidak merespons. Sebaliknya, ia mengambil rokok dari sakunya, menyalakannya dengan gerakan yang begitu santai, lalu mengisapnya perlahan-lahan. Aku memperhatikannya dan mencoba mencari petunjuk dalam setiap gerakan itu. Namun, sia-sia; yang kutemukan hanyalah dinding batinnya yang tak tertembus.Â
Ketika ia menatapku dengan ekspresi bosannya itu, aku mengatakan kepadanya, "Aku benci dirimu." Â