Ia hanya tersenyum. Senyum itu---selalu senyum itu---menghancurkan segalanya, tetapi aku tidak pernah bisa menolaknya. "Benci adalah bentuk cinta yang lain," ujarnya. "Kau tidak bisa membenci tanpa peduli."
Sial, aku ingin membantah, tetapi tidak ada gunanya. Kata-katanya bagai pisau yang menancap terlalu dalam, dan aku terlalu lelah untuk mencabutnya.
Malam ini, di malam terakhir tahun ini, aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi aku tahu bahwa aku tidak bisa terus hidup dalam siklus ini. Jadi, aku mengundang Theri ke apartemenku.
Ia datang seperti biasa, dengan keheningan yang menakutkan, seolah-olah tahu apa yang ada di pikiranku sebelum aku mengatakannya. Aku menyiapkan anggur merah, memutar musik klasik, dan menunggu waktu yang tepat untuk memulai pembicaraan.
"Aku ingin mengatakan sesuatu," kataku akhirnya. Suaraku terdengar asing di telingaku sendiri.
Ia menatapku. Ekspresinya tenang mirip permukaan danau yang menyembunyikan kedalaman yang tak bisa diduga. "Aku juga," katanya, nyaris berbisik.
Aku mengangguk, memberi isyarat kepadanya untuk bicara lebih dulu.
"Tahukah, Agung? Kau adalah eksperimenku yang menarik. Aku tidak pernah mencintaimu. Aku hanya ingin tahu sejauh mana seseorang bisa menikmati rasa sakit. Dan kau ... kau telah melampaui ekspektasiku."
Aku tidak bergerak. Dunia di sekitarku melambat. Kata-kata itu seperti jarum yang menusuk-nusuk setiap inci kulitku. Ia baru saja membalikkan seluruh kenyataan yang kukenal. Aku ingin marah, tetapi aku tidak bisa. Sebaliknya, aku tersenyum.
"Aku tahu." jawabku pelan.
Ia terkejut. "Apa maksudmu?"