Darahku seketika itu juga mendidih mendengar Marcus mengolok-olok Ayah. Tidak berpikir panjang, aku mendorongnya sampai terjatuh ke tanah. Anak-anak di sekitar kami riuh. Pak guru mendatangi kami, menyalahkanku, dan aku tidak percaya pak guru menyalahkanku. Ini tidak adil! Sementara, Marcus hanya meringis jahat. Pak guru memberi peringatan supaya aku tidak mengulanginya lagi.
Di rumah, aku melihat mulut Ayah mulai dipasangi semacam mangkuk plastik transparan dengan selang panjang yang tersambung ke tabung oksigen. Saat melihatku, Ayah memanggilku dengan suara lemah.
"Nak, kemarilah."
Ayah melepaskan alat pernapasannya itu dan memintaku duduk di dekatnya. Napasnya berat. Tubuhnya pun makin lemah. Badannya makin kurus dan rambutnya mulai menipis karena sudah mulai rontok.
Ayah memelukku, mencium keningku. Aku terharu, tetapi tidak menangis. Ayah melepaskan kacamatanya, lalu mengelus pipiku dengan tangan yang sudah tidak bertenaga. Sorot matanya pun meredup. Aku sungguh tidak kuasa menatap balik ayah dalam kondisinya yang seperti itu.
"Galang, anakku. Hidup itu tidak boleh ada kata menyerah. Kita harus bertarung. Kau mengerti?
Aku mengangguk sambil melepaskan tangan Ayah perlahan-lahan, lalu beranjak pergi ke kamarku. Ibu tidak berkata apa-apa, hanya diam melihat kami. Di kamar, aku menumpahkan kekesalanku dengan mendekapkan wajahku ke bantal karena aku tidak ingin teriakanku terdengar dari luar. Aku benci keadaan ini!
Jam malam berdetak. Aku melihat kamar Ayah dan Ibu tidak terkunci, bahkan ada celah yang memungkinkan untuk aku bisa mengintip. Aku mengendap-endap mendekat. Ayah terbaring di tempat tidur, wajahnya kian pucat, tetapi ia tersenyum seperti tidak merasakan sakit. Ibu duduk di sampingnya, menggenggam tangan Ayah sambil memijat pelan. Kemudian, Ibu mencium kening Ayah dan sepertinya membisikkan sesuatu ke telinga Ayah, tetapi aku tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Ibu.
Aku mengetuk pintu perlahan. Ibu menoleh ke arahku dan menyuruhku masuk. Kukatakan dengan mengiba kalau aku ingin tidur bersama mereka hanya untuk satu malam saja. Ibu mengizinkanku. Jadilah kami bertiga tidur satu kasur dengan ayah di tengah. Aku memeluk ayah dalam perasaan hangat. Aku sayang Ayah. Kuharap Ayah cepat sembuh. Air mataku menetes sebelum terlelap.
Aku kembali ke sekolah yang seperti neraka. Di pintu gerbang, Marcus sudah berdiri. Mungkin, ia memang sengaja menungguku. Entah apalagi yang akan diperbuatnya. Aku berjalan saja, tetapi ia seperti sengaja menabrakkan badannya. Ia mendorongku berkali-kali, berkali-kali pula aku bergeming tidak melawan. Hingga yang terakhir, aku melepaskan tas sekolahku dan bersiap menahan serangannya kembali. Begitu ia menyerang, karena sudah tidak tahan, aku mendorongnya balik, menjatuhkannya, lalu dengan kemarahan yang sudah lama terpendam, aku menduduki tubuhnya dan memukul wajahnya bertubi-tubi. Persetan dengan semua yang bersorak-sorai di sekitar kami.
Aku ingat kata-kata Ayah, pertarungannya juga milikku. Aku harus berani bertarung untuk melawan siapa pun musuhnya. Aku tidak boleh lemah. Tidak boleh. Akhirnya, aku puas meninggalkan Marcus yang barangkali hidungnya telah patah. Semua yang menyaksikan mungkin tidak percaya kalau aku bisa melakukan balas dendam.