Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Antara Aku, Ayah, dan Marcus, serta Hari-Hari yang Membuatku Panas

8 Oktober 2024   22:56 Diperbarui: 10 Oktober 2024   17:07 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: Pexels/Mikhail Nilov 

Bermula, dokter menyarankan kami untuk pindah ke wilayah yang lebih hangat supaya Ayah cepat sembuh. Aku tidak tahu harus bagaimana, tetapi kupastikan, aku tidak mau membuat orang tuaku repot dengan mengatakan bahwa aku sebenarnya lebih suka tinggal di kota besar daripada bermukim di kota kecil yang sepi ini.

Hari pertama di sekolah baruku, Ibu yang mengantar.

"Bu, Ayah bisa menjemputku pulang sekolah hari ini?"

"Tidak, Galang, kau bisa berjalan pulang sendiri, kan?"

"Tapi, Bu---"

"Kau bukan anak-anak lagi," potong Ibu, lalu ia meninggalkanku di gerbang sekolah.

Saat itulah, di hari pertamaku di sekolah, aku bertemu dengan seorang anak laki-laki. Ekspresi wajahnya seperti mengancam. Ia berjalan melewatiku dengan langkah cepat, masuk ke dalam kelas. Ternyata, kami berada di kelas yang sama. Saat pak guru mengabsensi nama siswa satu persatu---di kelasku ini hanya terisi delapan belas siswa---aku jadi tahu kalau namanya Marcus.

Bel istirahat berbunyi, anak-anak mulai ramai bermain. Mereka berbicara satu sama lain, bising. Aku memilih duduk di bawah pohon akasia sambil membaca buku, karena tidak ada satu pun yang mengajakku bermain. Mereka terlihat asyik berkelompok dan kulihat Marcus bermain bola plastik besar bersama tiga teman laki-lakinya. Ada juga satu anak perempuan di sana, tetapi ia hanya berdiri melihat permainan itu.

Marcus mendekatiku. Sedari tadi memang sempat kulirik-lirik, ia seperti memperhatikanku sesekali.

"Kau ingin bermain?" Marcus bertanya.

Aku terkejut, tetapi sangat senang. Marcus ternyata baik. Aku bangkit, meletakkan buku di tanah.

"Ya, mau," jawabku bersemangat.

"Kau tahu cara bermainnya?" Ia menjelaskan aturan permainan bola. "Kau harus memukul bola sebelum memantul dua kali, tapi kau tidak boleh memukulnya sebelum memantul pertama kali. Kalau kau membiarkan bola memantul dua kali, kau tersingkir, artinya kalah."

Aku mengangguk meski belum terlalu paham, tetapi, aku ingin ikut. Kami mulai bermain, dan aku berusaha mengikuti aturan.

"Kau dari mana?" Marcus bertanya di sela-sela bermain.

"Eh, aku? Dari kota besar," jawabku pelan.

"O, anak kota. Makanan favoritmu apa?"

"Apa saja, kurasa, aku suka semua."

"Pantas saja badanmu gembul." Marcus dan teman-temannya terkekeh-kekeh. Aku hanya tersenyum canggung.

Tiba-tiba, Marcus mengubah aturan permainan bola. Ia menyuruhku berdiri di dekat tembok dan tidak boleh bergerak. Aku menurutinya, berdiri menempelkan punggungku di tembok. Anak perempuan, yang terus berdiri di pinggir, melihatku sambil tersenyum. Senyumnya manis.

Marcus kemudian mengambil ancang-ancang melempar bola ke dinding. "Jangan bergerak!" teriaknya. Bola itu terlempar mengenai tubuhku. Aku berpikir ia hanya bercanda, nyatanya bola itu benar-benar mengarah ke tubuhku. Aku mencoba mengelak, tetap saja terkena.

"Hei! Kau sengaja melempar ke arahku?" protesku.

Marcus dan teman-temannya tertawa keras. Bola itu kembali dipungut Marcus. Sepertinya, ia memang benar-benar mengarahkan bola itu ke tubuhku. Kali ini lebih keras. Lantas, teman-temannya ikut melempar bola ke arahku, sama kerasnya. Bahkan, yang tidak kusangka-sangka, anak perempuan yang masih berdiri di pinggiran, memungut bola yang menggelinding tepat di dekat kakinya, lalu ia memandangku dengan senyuman dari wajahnya yang cantik, ternyata tabiatnya tidaklah cantik. Ia malah ikut melemparkan bola ke tubuhku sambil terkikik-kikik. Kemudian, semuanya makin brutal sehingga aku terpaksa menepis hantaman bola itu dengan meringkukkan tubuhku. Ini sudah sakit sekali. Bisa-bisanya mereka tertawa-tawa senang.

Pulang sekolah, cuaca panas. Hatiku pun panas. Namun, aku tidak bisa membela diri di tempat yang baru. Tidak ada teman. Sekarang aku sendiri, pulang, sepi. Kakiku menyeret-nyeret tanah, enggan berjalan. Beberapa langkah, kulihat seekor burung menggelepar, mungkin terjatuh dari kawanannya yang berkicau di langit. Badan burung itu menjadi kaku karena terlepas nyawanya. Kulewatkan saja burung itu sebab aku mendadak hendak cepat menuju rumah.

Setiba di rumah, aku mengetuk pintu, mengucap salam, dan masuk. Ternyata Ayah dan Ibu sedang duduk di sofa. Mereka berdua seperti menyembunyikan sesuatu di bawah selimut yang menutupi tubuh Ayah. Wajah mereka terlihat datar, bahkan Ayah terlihat pucat.

"Nah, jagoan Ayah sudah pulang. Bagaimana hari pertamamu di sekolah? Sudah punya teman baru?"

Aku mengangguk dan tersenyum sedikit. "Ya," jawabku. "hari pertama yang menyenangkan. Teman-teman semua baik."

Aku masuk ke kamar, melemparkan tas dan membuka pakaian sekolahku. Setelahnya, aku mengempaskan badan ke kasur. Aku tidak ingin Ayah dan Ibu tahu tentang pengalaman buruk pertamaku di sekolah.

Malam sebelum tidur, aku membaca buku di bawah selimut dengan bantuan senter. Entah mengapa, aku lebih suka cara membaca seperti ini---nyaman. Andai Ibu tahu, aku pasti akan diomeli. Namun, pintu kamar telah kukunci, jadi Ibu tidak bisa masuk tiba-tiba. Aman. Untuk sementara, aku bisa melupakan semuanya.

Paginya, sebelum berangkat ke sekolah, aku dan Ayah duduk di meja makan, sedangkan Ibu tengah menyiapkan sarapan. Kulihat Ayah menggerus dua butir obat di dalam piring kecil, lalu memasukkan obat yang telah halus itu ke dalam cangkir minumannya.

"Ayah, apa nanti semua rambut Ayah akan rontok?"

Ayah terkekeh pelan. Ia mengaduk cangkirnya. "Dari mana informasi itu?"

"Dari buku yang kubaca. Katanya, kalau kita mengidap penyakit ini, kita bisa kehilangan seluruh rambut."

"Coba Ayah lihat."

Aku menyerahkan buku yang kubaca ke tangan Ayah. Ia memasang kacamata bacanya, lalu membaca bagian kalimat yang kutunjukkan tentang apa yang aku baca.

Wah, rupa-rupanya anak Ayah berminat jadi dokter, ya. Tapi, jangan membaca buku seperti ini," kata Ayah. Mengapa begitu?

Ayah mendekatkan cangkir ke mulut dan menghabiskan isinya dalam beberapa tegukan dengan satu kali tarikan napas. Aku pun serasa ikut menahan napas, lalu lega ketika Ayah mengembuskan napasnya lagi. Aku tahu Ayah sedang tidak baik-baik saja. Terkadang, ingin menanyakannya lebih banyak, cuma rasanya tertahan. Aku jadi ingin melakukan sesuatu, apa pun, yang bisa membuat Ayah merasa lebih baik dan bisa membuatnya menang melawan penyakit ini.

Di sekolah, aku masih sibuk dengan bukuku, sendirian, tanpa teman. Aku membaca di mana pun aku mau, di bawah pohon, di pojok sekolah, atau di atas ayunan. Aku masih belum punya teman, tetapi tidak apa-apa.

Saat aku membaca di ayunan, Marcus dan beberapa temannya mendekatiku. Mungkin mereka mau mengajakku bermain atau mungkin mau menyiksaku lagi. Marcus tiba-tiba merebut buku di tanganku. Ia membaca sekilas apa yang aku baca, padahal aku yakin ia tidak akan mengerti isi bukuku.

Sontak aku terpaku dan hanya bisa melihat tatkala ia tanpa empati sedikit pun merobek beberapa halaman buku dan menjatuhkannya ke tanah. Jahatnya, tidak ada rasa bersalah, mereka pergi begitu saja. Sungguh jahat mereka. Bukuku jadi kotor. Lembaran yang terlepas bertebaran, sebagian tertiup angin.

Kejadian ini lagi-lagi tidak akan pernah kuceritakan kepada Ayah atau Ibu, terlebih-lebih Ayah. Aku tidak ingin apa yang aku alami di sekolah membuat Ayah kian sakit. Maka, ketika aku dan Ayah menikmati acara televisi di malam hari sambil santai, aku menampakkan semangat tergelak-gelak karena acaranya kebetulan sangat lucu---acara lawak. Ayah menonton sambil berbaring di sofa dan aku duduk di bawahnya, bersandar di tepi sofa, membelakangi Ayah. Ayah tidak tahu kalau aku menyembunyikan kesedihanku dengan tertawa, barangkali Ayah juga begitu.

Namun, Ayah mendadak terbatuk-batuk dan aku langsung merasa sedih mendengar suara batuknya. Apakah sakit Ayah semakin parah? Aku segera menoleh, tetapi Ayah malah berkata tidak apa-apa. Setelah beberapa menit mereda, Ayah menyuruhku untuk bergegas tidur karena besok aku harus sekolah.

Entahlah. Aku sepertinya tidak suka sekolah, bukan pelajarannya, melainkan karena teman-teman yang seperti tidak peduli terhadapku, terutama Marcus. Usai pelajaran olahraga di lapangan, Marcus mencari gara-gara lagi. Ia menyenggolkan badannya ke badanku, lalu berkata yang sangat menyakitkan, "Apa Ayahmu sudah mati, Galang?" Seperti penyakit, berita tentang Ayah ternyata sudah menyebar ke seluruh sekolah.

Darahku seketika itu juga mendidih mendengar Marcus mengolok-olok Ayah. Tidak berpikir panjang, aku mendorongnya sampai terjatuh ke tanah. Anak-anak di sekitar kami riuh. Pak guru mendatangi kami, menyalahkanku, dan aku tidak percaya pak guru menyalahkanku. Ini tidak adil! Sementara, Marcus hanya meringis jahat. Pak guru memberi peringatan supaya aku tidak mengulanginya lagi.

Di rumah, aku melihat mulut Ayah mulai dipasangi semacam mangkuk plastik transparan dengan selang panjang yang tersambung ke tabung oksigen. Saat melihatku, Ayah memanggilku dengan suara lemah.

"Nak, kemarilah."

Ayah melepaskan alat pernapasannya itu dan memintaku duduk di dekatnya. Napasnya berat. Tubuhnya pun makin lemah. Badannya makin kurus dan rambutnya mulai menipis karena sudah mulai rontok.

Ayah memelukku, mencium keningku. Aku terharu, tetapi tidak menangis. Ayah melepaskan kacamatanya, lalu mengelus pipiku dengan tangan yang sudah tidak bertenaga. Sorot matanya pun meredup. Aku sungguh tidak kuasa menatap balik ayah dalam kondisinya yang seperti itu.

"Galang, anakku. Hidup itu tidak boleh ada kata menyerah. Kita harus bertarung. Kau mengerti?

Aku mengangguk sambil melepaskan tangan Ayah perlahan-lahan, lalu beranjak pergi ke kamarku. Ibu tidak berkata apa-apa, hanya diam melihat kami. Di kamar, aku menumpahkan kekesalanku dengan mendekapkan wajahku ke bantal karena aku tidak ingin teriakanku terdengar dari luar. Aku benci keadaan ini!

Jam malam berdetak. Aku melihat kamar Ayah dan Ibu tidak terkunci, bahkan ada celah yang memungkinkan untuk aku bisa mengintip. Aku mengendap-endap mendekat. Ayah terbaring di tempat tidur, wajahnya kian pucat, tetapi ia tersenyum seperti tidak merasakan sakit. Ibu duduk di sampingnya, menggenggam tangan Ayah sambil memijat pelan. Kemudian, Ibu mencium kening Ayah dan sepertinya membisikkan sesuatu ke telinga Ayah, tetapi aku tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Ibu.

Aku mengetuk pintu perlahan. Ibu menoleh ke arahku dan menyuruhku masuk. Kukatakan dengan mengiba kalau aku ingin tidur bersama mereka hanya untuk satu malam saja. Ibu mengizinkanku. Jadilah kami bertiga tidur satu kasur dengan ayah di tengah. Aku memeluk ayah dalam perasaan hangat. Aku sayang Ayah. Kuharap Ayah cepat sembuh. Air mataku menetes sebelum terlelap.

Aku kembali ke sekolah yang seperti neraka. Di pintu gerbang, Marcus sudah berdiri. Mungkin, ia memang sengaja menungguku. Entah apalagi yang akan diperbuatnya. Aku berjalan saja, tetapi ia seperti sengaja menabrakkan badannya. Ia mendorongku berkali-kali, berkali-kali pula aku bergeming tidak melawan. Hingga yang terakhir, aku melepaskan tas sekolahku dan bersiap menahan serangannya kembali. Begitu ia menyerang, karena sudah tidak tahan, aku mendorongnya balik, menjatuhkannya, lalu dengan kemarahan yang sudah lama terpendam, aku menduduki tubuhnya dan memukul wajahnya bertubi-tubi. Persetan dengan semua yang bersorak-sorai di sekitar kami.

Aku ingat kata-kata Ayah, pertarungannya juga milikku. Aku harus berani bertarung untuk melawan siapa pun musuhnya. Aku tidak boleh lemah. Tidak boleh. Akhirnya, aku puas meninggalkan Marcus yang barangkali hidungnya telah patah. Semua yang menyaksikan mungkin tidak percaya kalau aku bisa melakukan balas dendam.

Beberapa minggu telah berlalu. Kamar Ayah dan Ibu sekarang selalu rapi. Ayah tidak lagi tidur di sana sebab ia sudah memiliki kamar sendiri di surga. Ibu kini sendirian di kamar itu, tetapi aku tidak akan membiarkannya merasakan sepi. Aku adalah anak laki-laki kuat. Kupastikan, untuk hari-hari ke depan, Ibu tidak akan menghadapi semuanya sendiri.

---

Shyants Eleftheria, Osce te Ipsum

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun