Aku terkejut, tetapi sangat senang. Marcus ternyata baik. Aku bangkit, meletakkan buku di tanah.
"Ya, mau," jawabku bersemangat.
"Kau tahu cara bermainnya?" Ia menjelaskan aturan permainan bola. "Kau harus memukul bola sebelum memantul dua kali, tapi kau tidak boleh memukulnya sebelum memantul pertama kali. Kalau kau membiarkan bola memantul dua kali, kau tersingkir, artinya kalah."
Aku mengangguk meski belum terlalu paham, tetapi, aku ingin ikut. Kami mulai bermain, dan aku berusaha mengikuti aturan.
"Kau dari mana?" Marcus bertanya di sela-sela bermain.
"Eh, aku? Dari kota besar," jawabku pelan.
"O, anak kota. Makanan favoritmu apa?"
"Apa saja, kurasa, aku suka semua."
"Pantas saja badanmu gembul." Marcus dan teman-temannya terkekeh-kekeh. Aku hanya tersenyum canggung.
Tiba-tiba, Marcus mengubah aturan permainan bola. Ia menyuruhku berdiri di dekat tembok dan tidak boleh bergerak. Aku menurutinya, berdiri menempelkan punggungku di tembok. Anak perempuan, yang terus berdiri di pinggir, melihatku sambil tersenyum. Senyumnya manis.
Marcus kemudian mengambil ancang-ancang melempar bola ke dinding. "Jangan bergerak!" teriaknya. Bola itu terlempar mengenai tubuhku. Aku berpikir ia hanya bercanda, nyatanya bola itu benar-benar mengarah ke tubuhku. Aku mencoba mengelak, tetap saja terkena.