"Hei! Kau sengaja melempar ke arahku?" protesku.
Marcus dan teman-temannya tertawa keras. Bola itu kembali dipungut Marcus. Sepertinya, ia memang benar-benar mengarahkan bola itu ke tubuhku. Kali ini lebih keras. Lantas, teman-temannya ikut melempar bola ke arahku, sama kerasnya. Bahkan, yang tidak kusangka-sangka, anak perempuan yang masih berdiri di pinggiran, memungut bola yang menggelinding tepat di dekat kakinya, lalu ia memandangku dengan senyuman dari wajahnya yang cantik, ternyata tabiatnya tidaklah cantik. Ia malah ikut melemparkan bola ke tubuhku sambil terkikik-kikik. Kemudian, semuanya makin brutal sehingga aku terpaksa menepis hantaman bola itu dengan meringkukkan tubuhku. Ini sudah sakit sekali. Bisa-bisanya mereka tertawa-tawa senang.
Pulang sekolah, cuaca panas. Hatiku pun panas. Namun, aku tidak bisa membela diri di tempat yang baru. Tidak ada teman. Sekarang aku sendiri, pulang, sepi. Kakiku menyeret-nyeret tanah, enggan berjalan. Beberapa langkah, kulihat seekor burung menggelepar, mungkin terjatuh dari kawanannya yang berkicau di langit. Badan burung itu menjadi kaku karena terlepas nyawanya. Kulewatkan saja burung itu sebab aku mendadak hendak cepat menuju rumah.
Setiba di rumah, aku mengetuk pintu, mengucap salam, dan masuk. Ternyata Ayah dan Ibu sedang duduk di sofa. Mereka berdua seperti menyembunyikan sesuatu di bawah selimut yang menutupi tubuh Ayah. Wajah mereka terlihat datar, bahkan Ayah terlihat pucat.
"Nah, jagoan Ayah sudah pulang. Bagaimana hari pertamamu di sekolah? Sudah punya teman baru?"
Aku mengangguk dan tersenyum sedikit. "Ya," jawabku. "hari pertama yang menyenangkan. Teman-teman semua baik."
Aku masuk ke kamar, melemparkan tas dan membuka pakaian sekolahku. Setelahnya, aku mengempaskan badan ke kasur. Aku tidak ingin Ayah dan Ibu tahu tentang pengalaman buruk pertamaku di sekolah.
Malam sebelum tidur, aku membaca buku di bawah selimut dengan bantuan senter. Entah mengapa, aku lebih suka cara membaca seperti ini---nyaman. Andai Ibu tahu, aku pasti akan diomeli. Namun, pintu kamar telah kukunci, jadi Ibu tidak bisa masuk tiba-tiba. Aman. Untuk sementara, aku bisa melupakan semuanya.
Paginya, sebelum berangkat ke sekolah, aku dan Ayah duduk di meja makan, sedangkan Ibu tengah menyiapkan sarapan. Kulihat Ayah menggerus dua butir obat di dalam piring kecil, lalu memasukkan obat yang telah halus itu ke dalam cangkir minumannya.
"Ayah, apa nanti semua rambut Ayah akan rontok?"
Ayah terkekeh pelan. Ia mengaduk cangkirnya. "Dari mana informasi itu?"