Aku tidak bisa bertanya apa pun. Lidahku terasa kelu karena terlalu bahagia. Akhirnya, ini dia, duniaku yang sesungguhnya. Dunia kerja yang selalu kubayangkan. Walaupun, sebelum itu, sebelum pukul dua siang tadi, aku---dengan setelan jas dan dasi rapi, layaknya seorang profesional di bidang hukum---berdiri menghadapi seorang pria paruh baya yang duduk gelisah di ruang tunggu.
Pria itu mengangkat wajahnya. Rambutnya mulai menipis di bagian depan, dan ada garis-garis lelah di wajahnya. Ketika aku menghampirinya dengan langkah tegap dan penuh wibawa, dia menatapku dengan harapan yang tersisa. Pak Haris, begitu nama yang tertulis di catatan wawancaranya, menunggu kesempatan yang sudah dinantikannya lama.
"Maaf, Pak, sayangnya posisi yang Bapak inginkan sudah terisi, dan tidak ada lagi sesi wawancara selanjutnya. Jadi, saya sebagai manager perekrutan yang mengambil keputusan di sini, meminta Bapak untuk memahami kondisi sesuai apa yang saya informasikan.
Pria itu menggeliat, terkejut. Matanya berkedip-kedip, seolah-olah tidak percaya pada apa yang barusan dia dengar dari mulutku. Dia mulai memohon, suaranya sedikit bergetar. Dia mengatakan sudah menunggu berminggu-minggu untuk kesempatan ini. Meski harus menjemput anaknya pukul setengah tiga, tetapi masih ingin berusaha mencari sedikit celah agar bisa mendapatkan kesempatan yang dia idam-idamkan.
Aku tidak peduli. Ini bukan perihal kemampuan atau kelayakan lagi, tetapi soal kesempatan. Kapan lagi kesempatan ini datang. Dengan dingin aku memintanya untuk meninggalkan ruang tunggu dan tidak ada lagi negosiasi.
Akhirnya, aku mendorong tubuhnya, memaksanya keluar dari ruangan. Tubuhnya sedikit terseret oleh tanganku yang kuat. Matanya menatapku dengan kebingungan, lalu menyerah pada kenyataan. Pria itu akhirnya pergi. Barangkali hatinya benar-benar hancur karena mimpinya terkubur di balik kemejanya yang basah oleh keringat dan kecewa. Dan, di sanalah aku berdiri, dengan senyum kecil yang tersungging.
---
Shyants Eleftheria, Osce te Ipsum