Ketika Bapak bertanya tentang pekerjaanku di kota, aku melemparkan kebohongan dengan tenang, “Kerja di firma hukum besar, Pak.”
Entah bagaimana, kebohonganku selalu berjalan mulus. Orang tuaku seperti percaya sepenuhnya kepadaku. Apalagi, setiap bulannya, aku selalu berusaha mengirimi mereka uang, meski sering kali berasal dari hasil meminjam. Bapak kerap berkata, “Perjuangan Bapak menjual sawah dan traktor untuk kuliahmu tak sia-sia, Nak. Kau anak laki-laki yang bisa Bapak andalkan. Kami bangga, kau contoh yang baik buat adik-adikmu.”
Kata-kata itu tentu membuat kepalaku pun terasa mau pecah, seperti dihantam palu. Aku hanya bisa tertawa pahit, karena kenyataannya, Bapak dan Ibu tidak pernah tahu kalau selama ini, setiap malam, aku hanya berdiri di depan pintu klub kebugaran, bukan sebagai pelanggan, apalagi pengelola, hanya sebagai penjaga malam. Mungkin karena tubuhku yang tinggi besar, pihak klub menganggapku cocok untuk pekerjaan yang lebih mengandalkan otot daripada otak—jauh dari pekerjaan impian saat aku mengambil kuliah jurusan hukum. Pekerjaan sebagai penjaga keamanan ini jelas-jelas tidak akan pernah bisa kubanggakan di hadapan Bapak. Aku malu.
Bukan aku malas berusaha. Puluhan lamaran kerja sudah aku kirim, bahkan beberapa perusahaan kudatangi secara langsung. Tapi entah mengapa, keberuntungan seolah enggan mampir. Mau bagaimana lagi? Mencari pekerjaan sekarang rasanya jauh lebih sulit daripada mencari jarum di tumpukan jerami.
Akhirnya, aku terpaksa berpuas diri menjadi penjaga keamanan saat malam hari. Siangnya, di bawah terik matahari, kadang-kadang juga menghindari hujan, aku harus memakai kostum maskot kebugaran yang konyol, berharap orang-orang yang lewat tertarik. Masih bersyukur ada yang mau mengambil selebaranku; sebagian memasukkannya ke dalam tas, entah dibaca atau tidak, sementara sebagian lainnya meremas dan membuangnya ke tong sampah di pinggir jalan.
Siang itu, saat aku membagikan pamflet diskon untuk pelanggan baru di klub kebugaran, ponselku bergetar. Sebuah panggilan masuk. Perasaanku berkecamuk, aku segera mengangkatnya.
“Selamat siang, Saudara Jamal Safrudin. Saya dari tim seleksi kepegawaian untuk perusahaan yang Anda lamar. Mohon maaf, sesi wawancara yang dijadwalkan ditunda terlebih dahulu sebab saya baru mendapat kabar bahwa posisi yang kami tawarkan sudah diisi oleh orang lain. Kami mohon pengertian Anda dan harap bersabar untuk lowongan berikutnya.”
“Maksudnya, tidak ada wawancara lagi sore ini?”
“Sekali lagi mohon maaf, Saudara Jamal Safrudin, saya akan memberitahu Anda segera setelah ada lowongan lain, tetap semangat dan semoga harimu menyenangkan.” Suara dari seberang sana terdengar santun, tetapi tajam seperti belati.
Kututup telepon itu dengan berat hati dan menahan frustrasi yang mendidih. Arg! Ingin rasanya berteriak sekencang-kencangnya, memaki-maki pemimpin negeri yang dulu pernah berjanji menciptakan ribuan lowongan pekerjaan saat berkampanye, nyatanya, janji itu omong kosong belaka. Aku hanya berdiri mematung, tak berdaya, seolah-olah nasib telah membuangku.
Malam, aku kembali ke klub kebugaran, menjalani rutinitas yang sudah begitu akrab. Setelah para pengunjung selesai dengan aktivitas mereka, aku mulai merapikan alat-alat kebugaran, membersihkan lantai yang basah oleh keringat, melap setiap fasilitas yang digunakan hingga bersih, lalu bersiap untuk pulang.
Langkahku berat menuju rental internet yang masih terbuka. Ada perasaan harap-harap cemas saat aku duduk di depan layar monitor. Aku membuka email, mencari secercah kabar baik tentang pekerjaan baru.
Alih-alih baik, sebuah email terasa menghujam cepat jantungkut: "Kami menghargai potensi Anda, namun kami memilih kandidat dengan pengalaman lebih banyak. Namun, tidak apa-apa, lain kali kami akan mempertimbangkan Anda kembali."
Apa? Serius? Bagaimana bisa mereka bicara tentang pengalaman, sementara aku berjuang justru untuk mencari pengalaman itu? Paradoks! Gila, ini benar-benar gila!
Malam demi malam, aku terseret kembali menjadi penjaga di depan klub kebugaran. Orang-orang silih berganti menyerahkan kartu identitas, sementara aku harus menentukan apakah mereka layak masuk atau tidak. Dari jauh, tiga pria berjalan goyah. Jas dan dasi yang mereka kenakan terlihat acak-acakan. Begitu mereka mendekat, aroma bir tercium tajam. Salah satu dari mereka menyodorkan kartu identitas dengan gaya angkuh.
"Maaf, Tuan-Tuan melanggar aturan berpakaian. Ini klub kebugaran, bukan klub malam," kataku dengan nada tenang namun tegas.
Salah satu dari mereka terkekeh-kekeh sambil memicingkan mata, "Hei, kau pikir kau siapa, hah? Jadi, kami harus pakai gaun biar bisa masuk?"
Aku menarik napas panjang dan sudah teramat sering menghadapi hal yang seperti ini. "Saya memang tidak membuat aturan, saya cuma menegakkannya. Jadi, Tuan-Tuan tidak boleh masuk."
Pria itu melirik dua temannya, yang langsung tergelak. "Oh, jadi kau bilang kami tidak boleh masuk? Gaji kau di sini berapa? Bagaimana kalau saya tambahkan sedikit?"
Pria itu merogoh dompet, mengeluarkan beberapa lembar uang kertas, dan mengibas-ngibaskannya di depan mukaku. Teman-temannya tertawa semakin keras. Dasar tidak memiliki akhlak!
Aku masih menatap wajahnya dengan menekan emosi. "Maaf, saya tidak butuh uang Anda. Saya di sini hanya menjalankan tugas, menjaga aturan."
Pria itu mendadak berubah. Wajahnya memerah. Urat-urat di lehernya menegang. "Kau sialan, ya! Kau tahu siapa aku? Aku pengacara! Aku bisa menuntutmu atas dasar menahan hak seseorang! Awas saja kau!"
Dia mulai menunjuk-nunjuk wajahku, matanya liar, seperti hewan buas yang merasa dilukai egonya. Tak cukup dengan itu, dia mendorong tubuhku. Aku yang tinggi besar, hanya diam, tidak tergoyahkan.
"Pergi dari sini, Tuan!" suaraku tetap tenang, walau sabarku sudah hampir habis.
Pria itu mendekat lagi, sekarang matanya menyala-nyala. “Penjaga murahan!"
Tiga orang itu tertawa makin keras, suara mereka memenuhi malam. Bau bir masih pekat. Akhirnya, pria yang berdebat denganku itu melemparkan uang ke wajahku. Uang-uang kertas jatuh berserakan di lantai.
"Klub sialan! Penjaga sialan sepertimu memang pantas ada di sini! Bodoh! Kau tidak akan pernah bisa kerja lebih dari ini!"
Mereka pergi sambil melangkah berat meninggalkan sebuah penghinaan. Mataku menatap uang di lantai. Perlahan, kupungut satu demi satu lembaran uang itu. Rasanya dingin di tangan, seperti uang mati. Beginikah rasanya menerima uang dari rasa hina? Aku melempar uang itu ke meja pos jaga, tidak peduli. Ini bukan bayaran yang layak untuk harga diriku.
Aku pulang dengan tubuh yang rasanya sudah hancur lebur. Lelah, letih, dan lunglai. Di pintu masuk kost, dua pucuk surat tergeletak di atas keset. Aku mengambilnya. Kubuka pintu dengan sisa-sisa tenaga, melempar tas ke lantai, dan melepaskan pakaian, menyisakan singlet dan celana pendek.
Perutku mulai merintih. Di atas rak dapur cuma ada sebungkus mi instan dan sebutir telur. Tidak ada pilihan lain. Makan mi instan satu-satunya kemewahan yang bisa kucicipi. Aku menganggap keadaan ini sudah cukup beruntung.
Sambil mengaduk-aduk mi di mangkuk, kubuka dua surat yang tadi tergeletak. Surat pertama—sial, sudah bisa kuduga—lagi-lagi, penolakan bahwa aku belum diterima bekerja. Kusobek saja kertas itu dan kulempar ke sudut meja dengan pasrah. Kemudian, aku membuka surat kedua. Sepertinya, sedikit berbeda, ada harapan kecil di sana—besok siang aku dijadwalkan untuk wawancara kerja.
Satu kesempatan, mungkin yang terakhir, tetapi cukup membuatku tersenyum sambil menyeruput kuah mie yang terasa seperti cairan penghiburan dari dunia yang seringkali kejam. Aku terlalu letih, tetapi besok, siapa tahu nasibku berubah.
"Perkenalkan, saya Bu Irena." Seorang perempuan empat puluh tahunan, berpakaian rapi, berkacamata, bertugas mewawancaraiku di ruang kerjanya.
"Saya sudah baca resumemu. Kamu lulusan hukum dari perguruan tinggi. Pernah bekerja di pusat kebugaran? Resumemu jauh berbeda dari kandidat yang biasa kami cari, tapi ini menarik. Saya yakin kamu tahu apa yang harus kamu lakukan."
Aku mengangguk. "Ya, Bu. Saya sangat paham dengan bidang saya."
"Menjadi paralegal di sini adalah pijakan awal untuk karier di bidang hukum ke depan. Pendapatan di atas rata-rata, tentu. Tunjangan juga lebih dari cukup. Dan kalau kamu mampu bekerja dengan baik, kami bisa membantu menyesuaikan dengan gelar sarjanamu. Bahkan, kalau beruntung, mungkin kami bisa memfasilitasimu ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi."
Tiba-tiba, pintu ruang wawancara diketuk. Pintu terbuka. Seorang pria masuk. Ah! Wajah itu. Aku masih ingat jelas. Sial! Dia?
Bu Irena kemudian meminta pria itu untuk mengambil alih evaluasi penilaian lanjutan terhadapku sebab dia memiliki jadwal wawancara lain yang menunggu.
"Hai, saya Baskara," ucap pria itu dengan nada canggung. Tangannya terulur untuk bersalaman. "Ayo, ikuti saya."
Tanpa banyak bicara, aku mengikutinya keluar ruangan. Masih ada jejak amarah yang berdenyut di kepalaku yang harus kutahan.
"Saya akan membawamu ke ruang tunggu. Tapi, sebelumnya, kita ke ruangan saya dulu sebentar?"
Aku menatapnya tajam, tapi akhirnya setuju. Kami berjalan menuju ruangannya.
"Baik, namamu Jamal Safrudin, bukan? Saya tidak tahu kamu yang akan diwawancara hari ini," suaranya datar, bahkan menurun.
"Saya cuma mau minta maaf, tentang malam kemarin. Saya yakin kamu masih ingat wajah saya. Saya mabuk di pesta bujangan teman. Dan saya, saya sangat minta maaf kalau ada hal yang saya katakan atau lakukan yang tidak pantas."
Dia menggoyang-goyangkan kepalanya, seakan-akan mencoba meyakinkanku betapa tulusnya dia sekarang.
"Bu Irena tidak tahu apa-apa soal ini, jadi tolong, jangan buat ini menjadi besar. Beliau punya kesan bagus tentangmu, sayangnya, ada satu kandidat lain dengan pengalaman hukum yang lebih banyak. Saya harap, kamu bisa tetap tenang dan semoga segalanya berjalan lancar. Nah, silakan ke ruang tunggu, Saudara Jamal Safrudin."
Sial, jadi begini akhirnya? Ada kandidat lain lagi? Aku cuma bisa diam, menahan kekesalan. Lantas, apa gunanya aku menunggu sekarang?
Aku pergi ke ruang tunggu seperti yang Baskara itu minta. Ada seorang pria lain yang duduk di sana—tampaknya kandidat lain. Wajahnya tegang, matanya tidak berhenti melirik jam dinding. Mungkin, baginya pula, ini kesempatan yang tidak boleh terlewatkan.
Jam di dinding menunjukkan pukul dua lebih tiga puluh menit. Baskara akhirnya muncul lagi di ruang tunggu, kali ini tampak lebih tenang. Dia menatap jam tangannya dan mendekatiku. "Bu Irena sudah menunggu di ruangannya. Ayo, waktumu sekarang."
Aku menarik napas panjang, menyiapkan diriku untuk putaran terakhir yang mungkin menentukan nasib.
"Apa? Kandidat satunya sudah pergi? Menjemput anak, ya? Oke, terima kasih." Bu Irena berbicara di telepon, suaranya agak terkejut. Aku tidak tahu siapa di ujung sana, dan jujur saja, aku tak peduli.
Wanita itu menutup teleponnya, lalu menatapku. Senyumnya kali ini terasa lebih lega.
"Baik, Saudara Jamal Safrudin," katanya sambil melipat tangan di meja. "Kamu sebenarnya bukan tipe kandidat yang biasanya kami pekerjakan untuk posisi ini. Namun, saya bisa merasakan sesuatu bahwa kamu seorang yang jujur dan pekerja keras. Jadi, anggaplah ini sebagai tawaran lisan, selamat bergabung."
Tuhan! Aku hanya bisa mengangguk, mencoba menyembunyikan keterkejutan yang seperti hendak meledak di dalam tubuhku.
"Terkait gaji dan tunjangan, nanti bagian HRD yang akan menghubungimu. Ada pertanyaan?"
Aku tidak bisa bertanya apa pun. Lidahku terasa kelu karena terlalu bahagia. Akhirnya, ini dia, duniaku yang sesungguhnya. Dunia kerja yang selalu kubayangkan. Walaupun, sebelum itu, sebelum pukul dua siang tadi, aku—dengan setelan jas dan dasi rapi, layaknya seorang profesional di bidang hukum—berdiri menghadapi seorang pria paruh baya yang duduk gelisah di ruang tunggu.
Pria itu mengangkat wajahnya. Rambutnya mulai menipis di bagian depan, dan ada garis-garis lelah di wajahnya. Ketika aku menghampirinya dengan langkah tegap dan penuh wibawa, dia menatapku dengan harapan yang tersisa. Pak Haris, begitu nama yang tertulis di catatan wawancaranya, menunggu kesempatan yang sudah dinantikannya berbulan-bulan.
“Maaf, Pak, sayangnya posisi yang Bapak inginkan sudah terisi, dan tidak ada lagi sesi wawancara selanjutnya. Jadi, saya sebagai manager perekrutan yang mengambil keputusan di sini, meminta Bapak untuk memahami sesuai apa yang saya informasikan.
Pria itu menggeliat, terkejut. Matanya berkedip-kedip, seolah-olah tidak percaya pada apa yang barusan dia dengar dari mulutku. Dia mulai memohon, suaranya sedikit bergetar. Dia mengatakan sudah menunggu berminggu-minggu untuk kesempatan ini. Meski harus menjemput anaknya pukul setengah tiga nanti, tetapi masih ingin berusaha mencari sedikit celah agar bisa mendapatkan kesempatan yang dia idam-idamkan.
Aku tidak peduli. Ini bukan perihal kemampuan atau kelayakan lagi, tetapi soal kesempatan. Kapan lagi kesempatan ini datang. Dengan dingin aku memintanya untuk meninggalkan ruang tunggu dan tidak ada lagi negosiasi.
Akhirnya, aku mendorong tubuhnya, memaksanya keluar dari ruangan. Tubuhnya sedikit terseret oleh tanganku yang kuat. Matanya menatapku dengan kebingungan, lalu menyerah pada kenyataan. Pria itu akhirnya pergi. Barangkali hatinya benar-benar hancur karena mimpinya terkubur di balik kemejanya yang basah oleh keringat dan kecewa.
Dan, sekarang aku berdiri, dengan senyum kecil yang tersungging.
---
Shyants Eleftheria, Osce te Ipsum
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H