Pria itu mendadak berubah. Wajahnya memerah. Urat-urat di lehernya menegang. "Kau sialan, ya! Kau tahu siapa aku? Aku pengacara! Aku bisa menuntutmu atas dasar menahan hak seseorang! Awas saja kau!"
Dia mulai menunjuk-nunjuk wajahku, matanya liar, seperti hewan buas yang merasa dilukai egonya. Tak cukup dengan itu, dia mendorong tubuhku. Aku yang tinggi besar, hanya diam, tidak tergoyahkan.
"Pergi dari sini, Tuan!" suaraku tetap tenang, walau sabarku sudah hampir habis.
Pria itu mendekat lagi, sekarang matanya menyala-nyala. “Penjaga murahan!"Â
Tiga orang itu tertawa makin keras, suara mereka memenuhi malam. Bau bir masih pekat. Akhirnya, pria yang berdebat denganku itu melemparkan uang ke wajahku. Uang-uang kertas jatuh berserakan di lantai.Â
"Klub sialan! Penjaga sialan sepertimu memang pantas ada di sini! Bodoh! Kau tidak akan pernah bisa kerja lebih dari ini!"
Mereka pergi sambil melangkah berat meninggalkan sebuah penghinaan. Mataku menatap uang di lantai. Perlahan, kupungut satu demi satu lembaran uang itu. Rasanya dingin di tangan, seperti uang mati. Beginikah rasanya menerima uang dari rasa hina? Aku melempar uang itu ke meja pos jaga, tidak peduli. Ini bukan bayaran yang layak untuk harga diriku.
Aku pulang dengan tubuh yang rasanya sudah hancur lebur. Lelah, letih, dan lunglai. Di pintu masuk kost, dua pucuk surat tergeletak di atas keset. Aku mengambilnya. Kubuka pintu dengan sisa-sisa tenaga, melempar tas ke lantai, dan melepaskan pakaian, menyisakan singlet dan celana pendek.Â
Perutku mulai merintih. Di atas rak dapur cuma ada sebungkus mi instan dan sebutir telur. Tidak ada pilihan lain. Makan mi instan satu-satunya kemewahan yang bisa kucicipi. Aku menganggap keadaan ini sudah cukup beruntung.
Sambil mengaduk-aduk mi di mangkuk, kubuka dua surat yang tadi tergeletak. Surat pertama—sial, sudah bisa kuduga—lagi-lagi, penolakan bahwa aku belum diterima bekerja. Kusobek saja kertas itu dan kulempar ke sudut meja dengan pasrah. Kemudian, aku membuka surat kedua. Sepertinya, sedikit berbeda, ada harapan kecil di sana—besok siang aku dijadwalkan untuk wawancara kerja.Â
Satu kesempatan, mungkin yang terakhir, tetapi cukup membuatku tersenyum sambil menyeruput kuah mie yang terasa seperti cairan penghiburan dari dunia yang seringkali kejam. Aku terlalu letih, tetapi besok, siapa tahu nasibku berubah.