Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kapan Lagi Kesempatan Ini Datang

6 Oktober 2024   17:24 Diperbarui: 6 Oktober 2024   19:55 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pria itu mendadak berubah. Wajahnya memerah. Urat-urat di lehernya menegang. "Kau sialan, ya! Kau tahu siapa aku? Aku pengacara, tahu! Aku bisa menuntutmu atas dasar menahan hak seseorang! Awas saja kau!"

Dia mulai menunjuk-nunjuk wajahku, matanya liar, seperti hewan buas yang merasa dilukai egonya. Tidak cukup dengan itu, dia mendorong tubuhku. Aku yang tinggi besar, hanya diam, tidak tergoyahkan.

"Keluarlah dari antrian ini, Tuan!" suaraku tetap tenang, walau sabarku sudah hampir habis.

Pria itu mendekat lagi, sekarang matanya menyala-nyala. "Kau bahkan tidak tahu pakaian kami ini harganya lebih mahal dari gajimu setahun! Dasar penjaga murahan. Kau cuma security di sini!"

Tiga orang itu masih tertawa keras-keras. Suara mereka memenuhi malam. Bau bir semakin pekat. Akhirnya, pria yang berdebat denganku itu melemparkan uang ke wajahku. Uang-uang kertas jatuh berserakan di lantai.

"Klub sialan! Security bodoh! Kau tidak akan pernah bisa kerja lebih dari ini!"

Mereka pergi sambil melangkah berat dan tertawa-tawa meninggalkan sebongkah penghinaan. Mataku menatap uang di lantai. Perlahan, kupungut satu demi satu lembaran uang itu. Rasanya dingin di tangan, seperti uang mati. Beginikah rasanya menerima uang dari rasa hina? Aku melempar uang itu ke meja pos jaga, tidak peduli. Ini bukan bayaran yang layak untuk harga diriku.

Aku pulang dengan tubuh yang rasanya sudah hancur lebur. Lelah, letih, dan lunglai. Di pintu masuk kost, dua pucuk surat tergeletak di atas keset. Aku mengambilnya. Kubuka pintu dengan sisa-sisa tenaga, melempar tas ke lantai, dan melepaskan pakaian, menyisakan singlet dan celana pendek.

Perutku mulai merintih. Di atas rak dapur cuma ada sebungkus mi instan dan sebutir telur. Tidak ada pilihan lain. Makan mi instan satu-satunya kemewahan yang bisa kucicipi. Aku menganggap keadaan ini sudah cukup beruntung.

Sambil mengaduk-aduk mi di mangkuk, kubuka dua surat yang tadi tergeletak. Surat pertama---sial, sudah bisa kuduga---lagi-lagi, penolakan bahwa aku belum diterima bekerja. Kusobek saja kertas itu dan kulempar ke sudut meja dengan pasrah. Kemudian, aku membuka surat kedua. Sepertinya, sedikit berbeda. Ada harapan kecil di sana, besok siang aku dijadwalkan untuk wawancara kerja.

Satu kesempatan, mungkin yang terakhir, tetapi cukup membuatku tersenyum sambil menyeruput kuah mie yang terasa seperti cairan penghiburan dari dunia yang sering kali kejam. Aku terlalu letih, tetapi besok, siapa tahu nasibku berubah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun