Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rencana yang Tak Begitu Sempurna

26 September 2024   21:01 Diperbarui: 28 September 2024   09:59 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cangkir teh porselen| sumber gambar pixabay

Sudah pukul sepuluh malam. Mata Ambarwati terlalu lelah menahan kantuk sehingga ia tertidur di sofa ruang tamu dan terbangun ketika mendengar ketukan di pintu yang cukup keras. Seseorang yang ditunggunya akhirnya datang juga.

Ambarwati meresponsnya, sekaligus berupaya menyadarkan diri dari bangun yang tiba-tiba. Sambil melemaskan batang lehernya, ia berjalan mencapai gagang pintu, lalu memutar kunci. Pintu terbuka.

Martinah telah berdiri di ambang pintu. Ia mengenakan baju terusan cokelat tua, kerudung abu-abu tua, dan sarung tangan kain dengan jaring halus berwarna krem. Tidak ada senyum di wajahnya saat ia melihat Ambarwati, sementara Ambarwati berusaha tersenyum kecil menyambut Martinah.

"Saya kira Ibu tidak jadi datang. Ini sudah larut malam, Bapak sudah tidur," ujar Ambarwati.

"Saya sudah mengirim pesan ke ponselmu kalau saya akan terlambat. Kau tidak membacanya?"

"Oh, saya ketiduran."

Belum-belum dipersilakan masuk, Martinah melangkah dengan kepala tegak, melewati Ambarwati yang seolah-olah tak lebih dari sekadar bayangan di rumahnya sendiri. Ambarwati pun mengikuti perempuan yang lebih tua delapan belas tahun darinya itu menuju dapur, kemudian ke ruang duduk. Bingkisan makanan ia terima dari Martinah. Setelah berterima kasih, bingkisan itu kemudian diletakkannya di atas meja makan.

"Tadi saya membelinya di pusat oleh-oleh. Sepertinya enak."

Martinah kemudian berkeliling memandangi keadaan ruangan besar yang menjadi bekas huniannya dulu bersama suami dan dua anaknya---kini, anak-anaknya sudah berkeluarga dan mempunyai tempat tinggal sendiri. Tidak banyak yang berubah dari kondisi rumah itu sejak ia memutuskan pergi setahun lalu dan sejak ia menggugat cerai Johan---kecuali rumah itu sekarang terasa sepi, dingin---berbagai porselen antik koleksinya masih tertata rapi di dalam perabot-perabot dari kayu jati mahal khas Jepara dengan aroma kayu masih tercium khas. Ia memang masih meninggalkan barang-barangnya di rumah tua itu sebab belum memiliki banyak waktu untuk memindahkannya.

"Jadi, sekarang kau sudah betah tinggal di sini, ya?" tanyanya kepada Ambarwati ketika kembali ke ruangan dapur.

Ambarwati memilih tidak menjawab. Ia tahu pertanyaan itu adalah sindiran Martinah untuknya.

"Seingatku, ada wanita lain yang bekerja di sini. Ah, siapa namanya?"

"Maysaroh. Ya, dia masih kerja di sini. Datangnya pagi-pagi, tapi setiap petang, saya izinkan ia pulang. Untuk malam hari, biar saya sendiri yang menjaga Pak Johan."

Martinah mendengus pelan. "Duduklah," katanya kepada Ambarwati yang lebih terdengar seperti memerintah. "Saya ingin mengajukan pertanyaan terkait Bapak."

Mereka berdua sama-sama menarik kursi makan dan duduk berhadapan.

"Obatnya bagaimana? Apa Bapak masih rutin menerima suntikan?"

"Saya sangat detail dalam hal pengobatan Bapak. Saya bahkan menyetel jam alarm sebagai pengingat waktu, kapan harus memberinya obat dan suntikan." Ambarwati melirik jam di dinding dapur. "Pukul satu nanti, saya harus memberi Bapak obat dan suntikan lagi."

"Baguslah. Kau sangat telaten mengurusnya."

"Tapi, mengapa Ibu datang-malam-malam seperti ini? Apa yang ingin Ibu bicarakan?" Ambarwati seperti tengah merasakan sesuatu yang tidak baik untuknya.

Martinah memajukan tubuhnya. "Begini. Saya jauh-jauh terbang dari Sumatera ke sini karena hendak mengatakan hal penting tentang proses perceraian saya dengan Bapak."

"Baik, Bu. Katakan saja."

"Tentu, kau pun harus tahu. Jadi, saya memang pihak yang mengajukan perceraian ini. Tapi, proses kami ternyata tidak berjalan mulus seperti yang saya harapkan. Terlalu banyak hal yang belum kami selesaikan dengan baik, termasuk perusahaan dan aset-aset yang masih tersangkut namanya, semuanya harus dibagi dengan adil sebab ada jerih payah saya juga di situ. Urusan pembagian ini sebenarnya bukan untuk kepentingan saya, tapi untuk anak-anak saya. Saya juga memikirkan hak mereka. Cuma sayangnya, Bapak jatuh sakit lebih dulu dan sidang perceraian lanjutan terpaksa ditunda sampai Bapak sembuh. Saya tidak tahu kapan Bapak akan sembuh. Apa mungkin ia terlalu tertekan berpisah dengan saya, entahlah, mungkin juga Bapak masih mencintai saya."

"Lalu, apa yang akan Ibu lakukan?" Ambarwati meremas-remas lehernya. Tubuhnya terlihat tegang.

"Saya berubah pikiran. Saya telah mengurus ke kantor pengadilan untuk mencabut gugatan cerai saya. Ini juga atas permintaan anak-anak saya."

"Apa?" Ambarwati tersentak dan sedikit membelalak seakan-akan yang ia dengar adalah berita buruk. "Eh, maksud saya, itu justru lebih baik. Saya juga termasuk yang tidak menginginkan perceraian Ibu sejak awal."

Martinah membuang napas dan menarik salah satu sudut bibirnya. Senyumnya tipis dan dingin.

"Satu-satunya hal yang terpikir oleh saya adalah betapa saya merasa kasihan terhadap anak-anak saya. Saya menghargai keinginan mereka, walaupun mereka telah hidup masing-masing. Tapi, maksud saya, ada saat-saat ketika saya mempertanyakan, apakah saya masih mencintai suami saya atau tidak, tapi tetap saja, saya tidak pernah bisa menjawab pertanyaan apakah saya benar-benar mencintainya, atau karena---" Martina memberi jeda untuk bernapas sejenak. "Saya khawatir dengan apa yang orang lain pikirkan tentang keinginan saya. Nah, menurutmu, apakah langkah saya ini tepat?"

"Langkah mencabut gugatan?" Ambarwati mencoba menyakinkan pertanyaannya yang kemudian dijawabnya sendiri. "Ya, tentu saja, Bu."

Sebenarnya, setelah mengatakan itu, Ambarwati sangat tidak enak hati. Ia tahu kalau dirinya telah bersalah sejak awal, tetapi ia pun tidak ingin semata-mata menjadi pihak yang dipersalahkan dalam rumah tangga Martinah dan Johan. Semua terjadi seperti mengalir; saat Ambarwati bertemu tanpa sengaja dalam acara gathering perusahaan Johan, dan ia menjadi salah satu tim penyelenggaranya. Selanjutnya, pertemuan itu menjadi intens dan menjelaskan bahwa Pak Johan lebih berperan sebagai pelindung Ambarwati, seorang janda yang telah lama ditinggal mati suaminya, tetapi harus kembali bekerja keras. Begitulah. Namun, yang mengejutkannya, Martinah tidak pernah sama sekali melabrak mereka.

Ya, Martinah memang tidak uring-uringan atau mengeluh atau mengamuk atau menangis hebat, seperti reaksi kebanyakan wanita ketika mengetahui pasangannya berkhianat. Ia justru meminta suaminya memperkenalkan perempuan yang membuat perasaan suaminya itu terbelah dua, bahkan di saat usia pernikahan mereka telah menginjak lebih dari tiga puluh tahun---melebihi pernikahan mutiara.

"Seperti apa dia, Mas? Cantikkah?"

Martinah jelas tahu itu pertanyaan bodoh. Laki-laki mana yang mau berselingkuh dengan wanita buruk rupa? Untuk kasus perselingkuhan mungkin saja ada, bisa jadi ada yang jauh lebih menarik perhatian daripada sekadar cantik---harta misalnya---tetapi itu jarang terjadi. Ia mengerti betul, suaminya pasti memilih wanita yang cantik.

Meski begitu, Martinah tetap membiarkan tindakan Johan yang sudah kepalang tanggung. Pada akhirnya pun, ia lebih memilih jalan berpisah dengan suaminya itu. Padahal, suaminya itu tidak pernah berniat meninggalkannya. Padahal pula, mereka memiliki ikatan kuat karena telah memulai kehidupan rumah tangga dari titik nol bersama-sama. Namun, bagi Martinah, bagaimanapun, membagi dua cinta dalam satu ikatan pernikahan itu teramat berat. Ia jelas-jelas tidak mau berada dalam lingkaran seperti itu.

Seperti ingin mengalihkan pikirannya dari segala keresahan yang menghantui, Martinah meminta Ambarwati membuatkan teh panas untuk mereka berdua. Ambarwati terkejut sejenak, lalu meminta maaf karena sedari tadi lupa menawarkan minuman. Ia lantas menggeser mundur kursinya, bangkit, dan berjalan ke meja pantry untuk menjerang air hangat, menyeduh teh.

"O, ya, untuk saya, jangan pakai gula dapur. Saya selalu membawa gula sendiri. Gula jagung ini bagus untuk menjaga kadar gula saya. Kamu juga sebaiknya mulai membiasakannya," ujar Martinah.

Tidak lama, Ambarwati kembali ke meja makan membawa dua cangkir teh panas. Di depan Ambarwati, Martinah memasukkan bubuk gula kemasan sachet putih ke dalam minumannya. "Kau mau?" tanyanya kepada Ambarwati.

"Tidak, terima kasih. Teh punyaku sudah saya tambahkan gula di dapur."

"Bisa tolong ambilkan piring untuk kue gandum ini? Rasanya lebih enak kalau dinikmati sambil minum teh panas. Ini rendah kalori dan lebih sehat," ujar Martinah sambil membuka kotak kuenya yang berisi potongan kue gandum dengan topping kacang.

Ambarwati kembali ke meja pantry dan menunduk mencari dua piring porselen kecil di dalam laci bagian bawah, tidak lupa juga pisau kue dan  garpu kecil. Pada saat itulah, Martinah melakukan suatu gerakan cepat.

Jam di dinding menunjuk ke angka dua belas lewat tiga puluh menit tengah malam. Ambarwati dan Martinah menikmati kebersamaan mereka di ruang dapur. Ketika melihat Ambarwati mendekatkan cangkir porselen ke bibirnya dan menyesap dua kali minumannya dengan mengernyit, seperti ada rasa aneh menyelinap di lidah, Martinah pun tersenyum. Martinah ikut menyesap tehnya perlahan sambil menatap tajam ke wajah Ambarwati.

"Saya kira sudah waktunya kita berbicara tentang dirimu, Ambarwati," ujar Martinah ketika ia melihat gelagat Ambarwati mulai kehilangan fokus. "Bagaimana hidupmu bersama Bapak?"

Ambarwati merasakan tidak enak badan, mual, kepalanya berangsur pusing, pandangannya mulai kabur, tubuhnya terasa ringan, hampir melayang, tetapi ia masih bisa mendengar pertanyaan Martinah. Ia lantas meracau.

"Anda mungkin tidak tahu, Bu. Bapak sungguh mencintai saya. Bapak bahkan pernah bilang kalau saya adalah perempuan yang lebih menyenangkan di ranjang dibandingkan Anda. Tubuh Anda sudah mengendur, tidak elastis lagi seperti saya.

"Oh, begitu." Martina merasakan hawa panas di wajahnya. Seperti itukah suaminya menilai dirinya?  Habis manis sepah dibuang. Pahit.

"Dan Bapak telah menjanjikan semuanya untuk saya."

"Apa yang dijanjikan Bapak?"

"Bapak menjanjikan setelah sembuh, pernikahan siri kami akan segera diresmikan ke kantor pengadilan agama. Semua harta miliknya juga akan diserahkan untuk saya."

"Saya tidak terkejut mendengar itu, Ambarwati. Itu kalau kau beruntung," ujar Martinah tertawa kecil.

"Apa maksud Anda? Jelas saya akan beruntung."

Namun, seketika ekspresi di wajah Ambarwati berubah. Tiba-tiba ia memegang lehernya, seperti tercekat, panas. Mulutnya terbuka lebar seolah-olah ingin mengambil udara lebih banyak. Napasnya menjadi tersengal-sengal dan wajahnya memerah. Matanya mulai gelap dan tubuhnya melemah.

Ambarwati berusaha berdiri, tangannya terulur ke arah Martinah, meminta pertolongan, tetapi Martina tidak bergerak, hanya menatap Ambarwati dengan sabar.

Ambarwati melangkah tertatih, hilang keseimbangan. Beberapa detik kemudian, kakinya terlipat dan tubuhnya terjerembab dengan keras ke lantai.

Martinah, yang tidak menyangka, racun dari cangkir Ambarwati yang telah ia tukar kala perempuan saingannya itu mengambil piring porselen, bekerja begitu cepat. Setelah memastikan tubuh Ambarwati tidak bergerak lagi, ia pun dengan sigap mengambil cangkir itu, bersama cangkirnya untuk dibasuh di wastafel. Racun yang tersisa di dalam cangkir teh perlahan-lahan terserap ke dalam lubang wastafel, bersamaan dengan gelembung sabun.

Alarm berbunyi tepat pukul satu dini hari. Jadwal Johan minum obat dan mendapatkan suntikan.

Dari kamar, terdengar suara Johan merintih dan mengerang. Johan tahu bahwa Ambarwati seharusnya datang malam itu, tetapi kini jelas, wanita itu tidak akan bisa datang, dan Martinah tidak peduli. Martinah lebih suka membiarkan Johan menderita seperti itu.

Sementara Ambarwati tergelepar tak bernyawa  dengan mulut menganga karena berusaha mati-matian untuk bernapas, Martinah justru menyeringai. Semuanya berjalan sesuai rencananya.

Martinah mengambil bungkusan kue gandum yang belum sempat diiris dan membawanya keluar melalui pintu belakang. Sebelum pergi, ia berhati-hati membersihkan setiap sisi kenop pintu untuk memastikan tak ada jejak yang tertinggal kendati sarung tangannya tidak pernah terlepas.

Namun, Martinah ternyata telah melupakan satu detail kecil yang bahkan bisa menjadi barang bukti keberadaannya di rumah itu: Pesan terakhir yang ia kirimkan ke ponsel Ambarwati.

---

Shyants Eleftheria, Osce te Ipsum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun