"Oh, begitu." Martina merasakan hawa panas di wajahnya. Seperti itukah suaminya menilai dirinya? Â Habis manis sepah dibuang. Pahit.
"Dan Bapak telah menjanjikan semuanya untuk saya."
"Apa yang dijanjikan Bapak?"
"Bapak menjanjikan setelah sembuh, pernikahan siri kami akan segera diresmikan ke kantor pengadilan agama. Semua harta miliknya juga akan diserahkan untuk saya."
"Saya tidak terkejut mendengar itu, Ambarwati. Itu kalau kau beruntung," ujar Martinah tertawa kecil.
"Apa maksud Anda? Jelas saya akan beruntung."
Namun, seketika ekspresi di wajah Ambarwati berubah. Tiba-tiba ia memegang lehernya, seperti tercekat, panas. Mulutnya terbuka lebar seolah-olah ingin mengambil udara lebih banyak. Napasnya menjadi tersengal-sengal dan wajahnya memerah. Matanya mulai gelap dan tubuhnya melemah.
Ambarwati berusaha berdiri, tangannya terulur ke arah Martinah, meminta pertolongan, tetapi Martina tidak bergerak, hanya menatap Ambarwati dengan sabar.
Ambarwati melangkah tertatih, hilang keseimbangan. Beberapa detik kemudian, kakinya terlipat dan tubuhnya terjerembab dengan keras ke lantai.
Martinah, yang tidak menyangka, racun dari cangkir Ambarwati yang telah ia tukar kala perempuan saingannya itu mengambil piring porselen, bekerja begitu cepat. Setelah memastikan tubuh Ambarwati tidak bergerak lagi, ia pun dengan sigap mengambil cangkir itu, bersama cangkirnya untuk dibasuh di wastafel. Racun yang tersisa di dalam cangkir teh perlahan-lahan terserap ke dalam lubang wastafel, bersamaan dengan gelembung sabun.
Alarm berbunyi tepat pukul satu dini hari. Jadwal Johan minum obat dan mendapatkan suntikan.