Meski begitu, Martinah tetap membiarkan tindakan Johan yang sudah kepalang tanggung. Pada akhirnya pun, ia lebih memilih jalan berpisah dengan suaminya itu. Padahal, suaminya itu tidak pernah berniat meninggalkannya. Padahal pula, mereka memiliki ikatan kuat karena telah memulai kehidupan rumah tangga dari titik nol bersama-sama. Namun, bagi Martinah, bagaimanapun, membagi dua cinta dalam satu ikatan pernikahan itu teramat berat. Ia jelas-jelas tidak mau berada dalam lingkaran seperti itu.
Seperti ingin mengalihkan pikirannya dari segala keresahan yang menghantui, Martinah meminta Ambarwati membuatkan teh panas untuk mereka berdua. Ambarwati terkejut sejenak, lalu meminta maaf karena sedari tadi lupa menawarkan minuman. Ia lantas menggeser mundur kursinya, bangkit, dan berjalan ke meja pantry untuk menjerang air hangat, menyeduh teh.
"O, ya, untuk saya, jangan pakai gula dapur. Saya selalu membawa gula sendiri. Gula jagung ini bagus untuk menjaga kadar gula saya. Kamu juga sebaiknya mulai membiasakannya," ujar Martinah.
Tidak lama, Ambarwati kembali ke meja makan membawa dua cangkir teh panas. Di depan Ambarwati, Martinah memasukkan bubuk gula kemasan sachet putih ke dalam minumannya. "Kau mau?" tanyanya kepada Ambarwati.
"Tidak, terima kasih. Teh punyaku sudah saya tambahkan gula di dapur."
"Bisa tolong ambilkan piring untuk kue gandum ini? Rasanya lebih enak kalau dinikmati sambil minum teh panas. Ini rendah kalori dan lebih sehat," ujar Martinah sambil membuka kotak kuenya yang berisi potongan kue gandum dengan topping kacang.
Ambarwati kembali ke meja pantry dan menunduk mencari dua piring porselen kecil di dalam laci bagian bawah, tidak lupa juga pisau kue dan  garpu kecil. Pada saat itulah, Martinah melakukan suatu gerakan cepat.
Jam di dinding menunjuk ke angka dua belas lewat tiga puluh menit tengah malam. Ambarwati dan Martinah menikmati kebersamaan mereka di ruang dapur. Ketika melihat Ambarwati mendekatkan cangkir porselen ke bibirnya dan menyesap dua kali minumannya dengan mengernyit, seperti ada rasa aneh menyelinap di lidah, Martinah pun tersenyum. Martinah ikut menyesap tehnya perlahan sambil menatap tajam ke wajah Ambarwati.
"Saya kira sudah waktunya kita berbicara tentang dirimu, Ambarwati," ujar Martinah ketika ia melihat gelagat Ambarwati mulai kehilangan fokus. "Bagaimana hidupmu bersama Bapak?"
Ambarwati merasakan tidak enak badan, mual, kepalanya berangsur pusing, pandangannya mulai kabur, tubuhnya terasa ringan, hampir melayang, tetapi ia masih bisa mendengar pertanyaan Martinah. Ia lantas meracau.
"Anda mungkin tidak tahu, Bu. Bapak sungguh mencintai saya. Bapak bahkan pernah bilang kalau saya adalah perempuan yang lebih menyenangkan di ranjang dibandingkan Anda. Tubuh Anda sudah mengendur, tidak elastis lagi seperti saya.