Ambarwati memilih tidak menjawab. Ia tahu pertanyaan itu adalah sindiran Martinah untuknya.
"Seingatku, ada wanita lain yang bekerja di sini. Ah, siapa namanya?"
"Maysaroh. Ya, dia masih kerja di sini. Datangnya pagi-pagi, tapi setiap petang, saya izinkan ia pulang. Untuk malam hari, biar saya sendiri yang menjaga Pak Johan."
Martinah mendengus pelan. "Duduklah," katanya kepada Ambarwati yang lebih terdengar seperti memerintah. "Saya ingin mengajukan pertanyaan terkait Bapak."
Mereka berdua sama-sama menarik kursi makan dan duduk berhadapan.
"Obatnya bagaimana? Apa Bapak masih rutin menerima suntikan?"
"Saya sangat detail dalam hal pengobatan Bapak. Saya bahkan menyetel jam alarm sebagai pengingat waktu, kapan harus memberinya obat dan suntikan." Ambarwati melirik jam di dinding dapur. "Pukul satu nanti, saya harus memberi Bapak obat dan suntikan lagi."
"Baguslah. Kau sangat telaten mengurusnya."
"Tapi, mengapa Ibu datang-malam-malam seperti ini? Apa yang ingin Ibu bicarakan?" Ambarwati seperti tengah merasakan sesuatu yang tidak baik untuknya.
Martinah memajukan tubuhnya. "Begini. Saya jauh-jauh terbang dari Sumatera ke sini karena hendak mengatakan hal penting tentang proses perceraian saya dengan Bapak."
"Baik, Bu. Katakan saja."