Beberapa menit berlalu, tidak ada bunyi halaman buku yang dibuka; tidak ada diskusi tentang bahasa; tidak ada perdebatan tentang tugas sekolah; yang terdengar justru bisikan lirih dan tawa kecil. Mata Pak Darmaji menyipit. Keningnya berkerut. Dia bangkit, berjalan perlahan ke arah kedua pelajar itu berada.
Ketika mencapai sudut rak, Pak Darmaji melihat sesuatu yang membuat darahnya mendidih. Alih-alih sedang mencari buku dan belajar, kedua pelajar itu berdiri di sudut ruangan, tersembunyi dari pandangan, berpelukan mesra, bercumbu, dan berdesah-desah manja, tanpa sedikit pun memedulikan tempat di mana mereka berada, seolah-olah perpustakaan ini hanya latar belakang yang tepat untuk menikmati kegiatan nakal mereka.
"Astaga! Apa-apaan ini! Apa yang kalian lakukan di sini?!"
Suara Pak Darmaji menggelegar di dalam ruangan sampai-sampai seekor cecak yang sedari tadi diam di dinding menhaksikan pola tingkah dua pelajar itu, seketika merayap cepat menjauh.
Kedua pelajar itu tersentak, buru-buru melepaskan sentuhan bibir satu sama lain. Si pelajar perempuan cepat-cepat merapikan kancing pakaiannya yang sempat terbuka, berusaha menutupi sembulan dada yang tidak sepantasnya terlihat. Wajah mereka memerah, tetapi bukan karena malu, melainkan karena aksi mereka terganggu oleh kedatangan Pak Darmaji yang tidak mereka sangka-sangka.
"Pak, kami sedang berdiskusi tentang tugas sekolah," jawab si laki-laki dengan dalih yang terdengar begitu konyol, bahkan untuk telinganya sendiri.
"Oh, begitukah cara kalian berdiskusi?" Pak Darmaji mendengus sinis. "Perbuatan memalukan!"
Kedua anak itu terdiam, menunduk, sesekali melirik canggung satu sama lain. Tidak butuh penjelasan, Pak Darmaji lantas mengusir keduanya. Tangan laki-laki tua itu gemetar karena murka. Di dalam pikirannya, dia merenungkan fenomena aneh yang terjadi di sekelilingnya. Apakah dunia ini memang dirancang agar manusia makin bodoh sehingga perbuatan asusila pun dianggap hal yang lumrah? Perpustakaan sebagai tempat warisan intelektual tersimpan, kini dijadikan arena perilaku dangkal yang tidak elok, bahkan oleh generasi penerus. Apa lacur, sungguh ironi yang menggigit.
Pak Darmaji mengempaskan tubuhnya ke kursi. Di luar, suara riuh dari pusat perbelanjaan terdengar samar-samar, seperti ejekan halus dari kemegahan imitasi yang sedang berpesta. Sebuah sindiran tentang kebodohan yang kian merajalela, tetapi makin banyak pula yang bangga dengannya. Pak Darmaji menahan getir. Menurutnya, kaum kapitalis telah berhasil menjalankan misi mereka.
Pak Darmaji menoleh ke arah kaca jendela, menatap bayangan dirinya yang tua dan terabaikan. Mungkin memang lebih mudah menjadi bodoh. Tidak ada beban untuk berpikir, tidak ada dorongan untuk memahami.
Pintu perpustakaan terbuka lagi. Kali ini, lima orang berseragam dinas masuk dengan langkah percaya diri, seperti sudah tahu apa yang mereka inginkan. Lamun, Pak Darmaji terlanjur skeptis. Ah, paling-paling mereka datang untuk buang-buang waktu, batinnya.