Salah satu dari mereka mendekat ke meja Pak Darmaji, lalu berbicara dengan nada resmi. "Pak, kami dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kota, mau mengadakan acara Hari Buku Sedunia di sini," katanya.
Pak Darmaji tersenyum tipis. Sedikit harapan muncul. Akhirnya, ada juga upaya memperkenalkan buku-buku ke khalayak luas.
"Kapan acaranya?"
"Besok lusa, Pak," jawab pegawai dinas itu, "kami akan mengadakan pameran buku, pembacaan puisi, dan pidato dari pejabat kota," lanjutnya.
Mendengar kata "pejabat", semangat yang sempat menyala di hati Pak Darmaji mendadak redup. Bayangannya tentang pidato yang tidak lebih dari kata-kata kosong, sorotan kamera, tepuk tangan basa-basi, dan foto-foto seremonial untuk kebutuhan pencitraan, mulai memenuhi kepalanya. Semua sudah terlalu sering dia lihat. Namun, Pak Darmaji mencoba menepis skeptisme itu. Mungkin kali ini berbeda, pikirnya, meski dia masih sedikit meragukannya.
Tibalah waktu, perpustakaan yang biasanya sepi, kini berubah menjadi tempat keramaian. Spanduk besar bertuliskan "SELAMAT HARI BUKU SEDUNIA" dipasang dengan warna-warna cerah menghiasi halaman depan perpustakaan, seolah-olah ingin menutupi betapa bangunan itu sudah renta dan hampir menyerah pada waktu. Panggung kecil berdiri di tengah halaman, diapit oleh tenda-tenda penjual aneka minuman dan camilan yang tampak lebih ramai daripada tenda buku-buku yang dipamerkan gratis.
Saat acara dimulai, Pak Darmaji hanya bisa memandangi dari tempat duduknya. Seperti yang dia duga, pidato dari pejabat lokal mendominasi acara. Kata-kata tentang pentingnya literasi dan betapa masyarakat harus mencintai buku, berhamburan dari mulut sang pejabat, tetapi lebih terdengar seperti omong kosong formalitas. Para undangan lebih sibuk mengutak-atik ponsel mereka, berselfie dengan latar belakang spanduk "literasi" daripada mendengarkan apa yang disampaikan. Pak Darmaji merasa muak.
Pak Darmaji pun mendesah panjang. Beberapa orang duduk malas-malasan di bawah tenda, lebih tertarik menyesap minuman daripada melihat-lihat atau membaca-baca buku yang dipamerankan. Di sisi panggung lain, sekelompok anak muda dengan kaos seragam acara tampak berseliweran, sibuk menyoroti poster digital, mencuit tentang acara yang "sukses besar", lalu memamerkannya melalui ponsel mereka.
Di saat bersamaan, suara dari pusat perbelanjaan di seberang jalan kembali beraksi seperti memanggil-manggil.
"SALE 90%! BARANG TERBATAS!"
Iklan itu terdengar lebih menarik ketimbang apa pun yang ditawarkan di acara hari buku di perpustakaan. Orang-orang yang tadinya hadir, satu per satu meninggalkan area perpustakaan dan menyeberang jalan menuju pusat perbelanjaan. Acara pun kemudian berakhir lebih cepat dari yang dijadwalkan.