Perpustakaan kembali senyap, persis hari-hari biasanya. Di sudut-sudut halaman, kertas bungkus makanan dan gelas plastik berserakan, dibiarkan oleh mereka yang memiliki moralitas rendah terhadap lingkungan. Sisa-sisa buku masih bertengger di rak-rak pameran, tidak ada satu pun yang disentuh. Panitia acara terlihat sibuk menggulung karpet merah, mencopot spanduk, dan membereskan perlengkapan tanpa banyak bicara. Wajah-wajah mereka lelah, bekerja cepat hanya untuk segera pergi. Sesekali terdengar bunyi alat-alat yang diseret kasar ke sudut ruangan, sebelum akhirnya perpustakaan benar-benar sepi.
Pak Darmaji merasakan sesuatu dalam dirinya perlahan-lahan runtuh. Sebuah pertanyaan mendesak menggerogotinya. "Untuk apa semua ini? Apa gunanya aku menjaga perpustakaan ini jika tak ada yang peduli?"
Pak Darmaji kemudian mengarahkan pandangannya ke pusat perbelanjaan. Lampu-lampu neon berkilauan, berkelap-kelip. Semua terasa begitu menggoda, lebih menggoda daripada debu-debu buku yang dia jaga selama ini.
Tanpa sadar, kakinya bergerak. Untuk pertama kalinya, dia melangkah meninggalkan perpustakaan. Jalanan yang menghubungkan perpustakaan dan pusat perbelanjaan terasa makin pendek. Hingar-bingar kehidupan yang berputar di seberang sana tiba-tiba terasa lebih masuk akal daripada kesepian yang selalu dia peluk.
Saat Pak Darmaji mencapai pintu pusat perbelanjaan, matanya menyapu segala kemewahan di dalamnya. Orang-orang tampak bahagia, riuh, dan menikmati hidup. Mungkin benar di benak orang-orang itu, bahwa kebodohan memang lebih menyenangkan. Kebodohan bukan lagi sesuatu yang memalukan; ia telah berubah menjadi tren yang dirayakan.
---
Shyants Eleftheria, Osce te Ipsum
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H