---Â
Napas Mar berembus berat serasa menyuarakan perasaan teraduk-aduk setelah kabar buruk mengoyak ketenangan kami menjelang subuh tadi.
"Kita pergi sekarang, Bu?" tanyaku kepadanya dan dibalas dengan sekali anggukan kecil.
Usai merapikan seprai kusut di tempat tidur bekas duduknya, Mar mengambil tas, lalu memeriksa keadaan rumah untuk memastikan semuanya aman saat kami tinggalkan. Aku sudah melakukannya beberapa waktu sebelumnya, tetapi memang begitulah Mar, selalu kurang percaya kepadaku.
Kami pergi dengan Chevrolet Blazer, mobil yang kubeli di awal pernikahan ketika kami tinggal di kawasan minim transportasi. Mobil ini merupakan wujud perjuangan panjang karena menguras tabunganku dan tiga tahun pemotongan sebagian gaji dari pinjaman kantor.
Bagusnya, dua dekade pemakaian, mesin mobil masih prima. Mungkin karena aku telaten merawatnya. Keinginan menggantinya tidak pernah terlintas. Bagiku, memiliki mobil bukanlah untuk gaya hidup, melainkan pemenuhan kebutuhan saja. Mar sependapat. Kadang-kadang, pikiran kami bisa selaras dalam beberapa hal tertentu.
Sepanjang perjalanan menuju kota provinsi, kami belum berbincang. Kebisuan ini bukan hanya tentang perjalanan, tetapi tentang segala sesuatu yang terjadi.Â
Satu-satunya suara sibuk yang mengisi kekosongan adalah suara penyiar radio di saluran 99,3 FM, yang kemudian memutarkan lagu "Seperti yang Kau Minta" dari sang Legendaris Chrisye. Lagu ini membawaku bernostalgia.
"Sudah lama kita tidak seperti ini, ya, Bu," ujarku memecah diam, tetapi Mar hanya menatap lurus ke depan, tanpa menanggapiku sepatah kata.
Kami memang kian jarang berdua. Kendati Mirel telah melanjutkan pendidikannya di pusat kota, yang seharusnya memberikan lebih banyak ruang aku dan Mar, tetapi kenyataannya, kami terperangkap dalam kesibukan masing-masing.
Aku melirik ke arah Mar dan melihat ketegangan yang sulit disembunyikan di wajahnya. Kekhawatiran yang sama sebenarnya juga kurasakan, tetapi kututup-tutupi dengan segenap upaya. Faktanya, aku tidak bisa berbohong. Beberapa kali aku hampir kehilangan fokus kemudi.
"Hati-hati, Pak!" katanya dengan suara pelan namun tegas.
Tidak jauh, tiang penunjuk keberadaan SPBU terlihat pada jarak dua ratus meter. Tepat sekali, mobil sedang membutuhkan tambahan bahan bakar. Di dalam area SPBU ada minimarket. Aku juga hendak mencari minuman di sana.
"Mau titip apa, Bu?"
"Tidak. Aku tidak ingin apa-apa."
Meski demikian, sebotol teh kemasan dan sebungkus roti isi daging kuberikan kepada Mar ketika aku kembali. Dia mengambilnya dan meminumnya. Roti pun dia makan. Tadi di rumah, dia tidak menelan apa pun sebelum berangkat.
Mataku menangkap Mar tengah memperhatikan ibu dan anak kecil yang bergandengan di depan minimarket. Mungkin Mar teringat dirinya dan Mirel kecil.Â
Aku tahu, hati Mar juga lembut terhadap Mirel meskipun hubungan isteri dan anakku itu kerap berselisih paham.
"Apa yang akan kita lakukan, Pak?" tanyanya pelan.
"Kita lihat dulu kondisinya. Aku yakin Mirel baik-baik saja," jawabku hampir berbisik.
"Semoga," katanya sambil menghela napas.
Kami melanjutkan perjalanan. Kali ini radio mendendangkan tembang lawas "Penyesalan" milik Broery Marantika. Mar memejamkan mata, barangkali dia betul-betul menghayati lirik lagunya.
Akhirnya, sekitar dua jam setengah perjalanan, kami tiba di kantor pusat kepolisian.
Setelah menjelaskan informasi yang kami dapatkan, kami diarahkan seorang petugas menuju ruangan khusus penanganan narkoba. Seorang petugas lainnya menemui kami dan mengatakan bahwa Mirel dalam keadaan baik. Hasil tes urinenya negatif. Petugas itu juga mengatakan bahwa Mirel sudah siap untuk dijemput pulang.Â
Hatiku berdebar saat melihat puteriku itu datang dalam keadaan kacau, lalu kami memeluknya.
Kami pulang bertiga tidak banyak bicara. Situasi ini seperti terasa berat bagi kami, bagiku, bagi Mirel, terlebih-lebih bagi Mar.
Tiba-tiba Mar mulai bersuara.
 "Bisa-bisanya kau melakukan tindakan bodoh ini, Mirel."
"Bu, aku tidak tahu kalau itu pesta narkoba. Susan hanya bilang itu pesta ulang tahun temannya. Aku menemaninya dan sialnya terjaring razia." Mirel malah membela diri.
Mar menoleh ke jok belakang.
"Kau tahu, Mirel. Kau hampir terjebak situasi bahaya! Sudah Ibu katakan berkali-kali, jangan bergaul dengan sembarang teman! Lihat, Ibu dan Bapak terpaksa izin kerja hari ini karena tindakanmu. Seharusnya ini tidak terjadi. Seharusnya pula kau belajar, kuliah kedokteran bukan untuk main-main!" Mar meluapkan kata-katanya bagai bah.
"Aku tidak pernah main-main, Bu. Aku cuma butuh bersantai sesekali."
"Bisakah kau tidak menjawab?"
"Baiklah. Boleh aku minta ponselku?" tanya Mirel.
Mar diam sejenak sebelum menjawab dengan tegas.
"Jangan mulai lagi dengan ponselmu sebelum kita buat perjanjian."
"Aku hanya ingin mengirim pesan ke beberapa teman kampus."
"Ibu yang akan menghubungi pihak kampus. Sementara ini, Ibu tidak ingin melihat ponsel di tanganmu dulu. Kau dengar?"
"Ibu terus saja mengaturku. Harus begini, harus begitu! Semua harus aku turuti. Kuliah yang Ibu mau, aku turuti. Pernahkah sekali saja Ibu dengar maunya Mirel?" Suara Mirel bergetar.
Mar semakin berteriak.
"Karena Ibu ingin yang terbaik untukmu! Apa kau pikir Ibu dan Bapak tidak peduli? Kami bekerja keras agar kau bisa sekolah tinggi dan punya masa depan yang cerah, bukan untuk melihatmu terlibat dalam masalah seperti ini!"
"Bu, coba tenang sedikit," ujarku menengahi, "kita bicarakan nanti di rumah."
Mar mengentakkan napas.
"Kita berhenti dulu untuk makan," ajakku.
Dalam keadaan lapar, emosi sering kali tidak dapat terkendali. Mereka diam dan kuanggap itu bentuk persetujuan. Maka kami berhenti di restoran kecil untuk mengisi perut.
Pelayan datang menghampiri kami dan menyerahkan daftar menu. Mirel memilih paket ayam goreng lengkap dengan minuman dingin, Mar hanya ingin sup kentang hangat dan air mineral, sementara aku memesan nasi bakar dan kopi panas. Pelayan meminta kami sabar menunggu dalam beberapa menit.
Kami tiba-tiba merasa kikuk. Mirel menggigit-gigit kuku jarinya dengan mata ke sana kemari. Mar lantas menegurnya dengan tajam.
"Hentikan kebiasaan burukmu itu, Mirel!"
Mirel mendengkus, lalu melepaskan jaketnya dengan gerakan kasar.Â
Astaga! Sekilas aku melihat ada semacam bekas goresan benda tajam di pergelangan tangannya. Ada apa dengan anakku? Hatiku seketika teriris---luka.
Aku pamit ke toilet. Begitu melangkah masuk dan menutup pintu---tanpa ada siapa pun di dalam---aku membiarkan air mata yang sudah lama tertahan mengalir. Tanganku menggempur dinding toilet, sembari memaki-maki diriku sendiri atas kesalahan dan ketidakdigdayaanku sebagai seorang bapak.
Mar memang sangat keras mendidik Mirel. Bahkan, sejak kecil Mirel sudah dihujani berbagai macam les.Â
"Untuk melatih kedisiplinan," kata Mar.
Aku tahu, cara itu tidak salah, tetapi tidak sepenuhnya juga benar.Â
Kukatakan salah karena Mirel terkadang suka mengeluh kepadaku sebab menginginkan jeda dari belajar yang begitu intensif. Kukatakan benar karena ketika Mar bercerita tentang keinginannya untuk bersekolah di kedokteran, yang kemudian harus mengikuti kemauan bapaknya untuk bersekolah di kejuruan dan menjadi guru, Mar akhirnya memahami bahwa saat itu pilihan diambil karena alasan finansial.Â
Biaya terbatas membuat impiannya menjadi dokter harus dikubur, digantikan dengan kenyataan bahwa jalur kejuruan tidak mengecewakannya sebab mampu mengejawantahkan kariernya hingga berhasil menjabati kepala sekolah di kota kabupaten.
"Seni hanya hobi, bukan hal yang bisa menjadi pekerjaan serius ke depan," katanya saat Mirel mengungkapkan keinginan untuk melanjutkan pendidikan di bidang seni.
Mirel memiliki kecintaan terhadap dunia seni. Dia suka melukis, menari, dan bermain musik. Ironisnya, Mar dengan tegas melarangnya jika seni menjadi langkah utama Mirel untuk jangka panjang.
Mar begitu percaya bahwa masa depan cerah terletak pada pendidikan formal yang lebih konvensional dan terstruktur. Walaupun sempat berdebat tentang masa depan Mirel, kami menemui satu kesepakatan---lebih tepatnya aku yang mengalah---bahwa kami hanya ingin memastikan Mirel memiliki kehidupan yang aman dan stabil.
Aku memikirkan Mirel yang harus melalui semua ini, sementara aku merasa tidak bisa menjadi orang tua yang bijaksana. Mar, meskipun dengan niat terbaiknya, isteriku itu belum mampu kuajak berdiskusi secara realistis. Mar begitu keras, tegas, dan sulit untuk melonggarkan tali kendalinya.
Terjebak di antara keinginan untuk melindungi seorang anak dan ketidakmampuanku untuk mendekati seorang istri amatlah menyiksa. Perasaan ini menghantamku seperti gelombang besar, sesak, dan membuatku hampir tidak mampu bernapas.
Beberapa saat menguatkan diri, aku membasuh wajah, lalu kembali ke meja restoran. Mar sedang memotong kuku Mirel dengan wajah yang terlihat lelah dan basah, tetapi terdapat ketulusan dalam gerakannya.Â
Kuperhatikan keduanya sejenak, kedekatan mereka begitu nyata. Entah apa yang mereka bicarakan selama aku di toilet.
Saat pandanganku dan Mirel bertemu, kulihat sesuatu yang mendalam di matanya yang berkaca-kaca. Dia tersenyum dan mengangguk pelan.Â
Tanpa suara, bibirku bergerak, membentuk kata-kata yang semoga bisa diterjemahkan dan dia pahami bahwa kami, bapak dan ibunya, sangat menyayanginya.
---
Shyants Eleftheria, Osce te Ipsum
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H