"Kita berhenti dulu untuk makan," ajakku.
Dalam keadaan lapar, emosi sering kali tidak dapat terkendali. Mereka diam dan kuanggap itu bentuk persetujuan. Maka kami berhenti di restoran kecil untuk mengisi perut.
Pelayan datang menghampiri kami dan menyerahkan daftar menu. Mirel memilih paket ayam goreng lengkap dengan minuman dingin, Mar hanya ingin sup kentang hangat dan air mineral, sementara aku memesan nasi bakar dan kopi panas. Pelayan meminta kami sabar menunggu dalam beberapa menit.
Kami tiba-tiba merasa kikuk. Mirel menggigit-gigit kuku jarinya dengan mata ke sana kemari. Mar lantas menegurnya dengan tajam.
"Hentikan kebiasaan burukmu itu, Mirel!"
Mirel mendengkus, lalu melepaskan jaketnya dengan gerakan kasar.Â
Astaga! Sekilas aku melihat ada semacam bekas goresan benda tajam di pergelangan tangannya. Ada apa dengan anakku? Hatiku seketika teriris---luka.
Aku pamit ke toilet. Begitu melangkah masuk dan menutup pintu---tanpa ada siapa pun di dalam---aku membiarkan air mata yang sudah lama tertahan mengalir. Tanganku menggempur dinding toilet, sembari memaki-maki diriku sendiri atas kesalahan dan ketidakdigdayaanku sebagai seorang bapak.
Mar memang sangat keras mendidik Mirel. Bahkan, sejak kecil Mirel sudah dihujani berbagai macam les.Â
"Untuk melatih kedisiplinan," kata Mar.
Aku tahu, cara itu tidak salah, tetapi tidak sepenuhnya juga benar.Â