Mariah terus berjalan, diselingi berlari, begitu tergopoh-gopoh menarik koper besar yang mengeluarkan bunyi gemeretak di atas trotoar kasar.Â
Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan tidak seorang pun mengejarnya. Langkahnya kian cepat kendati tidak melihat tanda-tanda orang mengikutinya.
Napasnya tersengal-sengal begitu tiba di sebuah halte tiga ratus meter dari tempat semula ia pergi. Hari sudah malam. Tak seorang pun ada di sana, sepi.
Lima belas menit ia berdiri, bus terlihat dari kejauhan. Ketika bus mulai melaju pelan dan kemudian berhenti, Mariah mendekat, tetapi ia ragu-ragu menjejakkan kaki ke tangga bus, sebelum akhirnya mundur dan memutuskan berdiam diri untuk beberapa waktu ke depan.
Tidak lama, seorang perempuan lebih muda dari Mariah datang, lalu duduk di bangku panjang yang sama. Perempuan itu berambut keriting terikat, dan mengenakan jaket cokelat sewarna kulitnya.Â
Sekilas ia menatap Mariah datar, tanpa ekspresi, mungkin karena Mariah hanyalah seseorang yang kebetulan ada di sana, tidak lebih dari itu.
Mariah juga tidak hirau dengan sekelilingnya. Ia duduk sambil menggigit-gigit bibir serta menggoyang-goyangkan kaki, sementara jemari kanannya sibuk mengusap-usap cincin yang melingkar di jari manis sebelah kiri. Pikirannya risau, sampai-sampai tidak menyadari ponsel di dalam tasnya berdering.
Perempuan muda di sampingnya menoleh dan memandang Mariah penasaran.
"Ponselmu bunyi."
"Iyakah?"
Mariah membuka tas dan buru-buru menjawab panggilan itu setelah melihat siapa yang menelepon.