Mariah mendadak gugup dan buru-buru menutup koper itu kembali. Wajahnya memerah, air matanya mengalir, dan suaranya terisak-isak. Tentu saja keadaan itu menyisakan kebingungan dan pertanyaan mengambang bagi perempuan muda yang melihatnya itu.
"Kamu kenapa? Apa yang terjadi?"
Bahu Mariah berguncang hebat. Perempuan yang bersamanya itu mendekati, mencoba memberikan perhatian.
"Mau duduk di sana lagi?"
Perempuan muda itu menuntun Mariah yang gontai kembali ke halte berharap supaya lebih tenang.
Perlahan-lahan, Mariah mulai membuka diri setelah beberapa saat. Ia menceritakan segala beban pikiran yang merundungnya, seperti ada kekuatan tidak terlihat yang membuatnya merasa bebas dan lega untuk berbicara kepada perempuan muda berambut keriting di sampingnya itu.
"Mungkin aku harus pulang menemuinya lagi."
"Apa? Kamu menyerah? Aku bahkan telah melihat yang lebih buruk dari keadaanmu."
"Tapi Jo tidak sungguh-sungguh melakukannya."
"Maksudmu, ia tidak pernah melakukan kekerasan terhadapmu?" Alis perempuan muda itu terangkat.
"Tidak begitu. Maksudku, Jo bisa menjadi pria yang paling baik hati dan paling lembut. Akulah yang merusaknya. Aku terlalu egois menuntut hidupnya dan itu membuatnya kejam. Itu bukan salahnya, itu salahku."