Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ibu Berisik

14 Mei 2024   21:58 Diperbarui: 16 Mei 2024   03:08 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibu berisik, hampir setiap hari. Aku capek mendengarnya. Saking capeknya, kadang-kadang aku membungkamnya kasar. Ujung-ujungnya, kami bertengkar. Dia merajuk, kepalaku pening.

Seperti suatu pagi, dia berisik dengan racauan panjang ketika aku sedang menyiapkan masakan sebelum berangkat ke kantor. Ibu meracau, seperti tidak bisa menahan diri untuk tidak mengomentari segala hal yang aku lakukan.

"Ikannya jangan terlalu lama dimasak! Bisa hancur nanti. Tidak enak dilihat!"

Baca juga: Musuh Sebenarnya

Begitulah seperti biasa, dia mulai membuatku tidak nyaman. 

"Jangan lupa ketumbarnya dimasukkan! Biar gurih. Terus, itu jahenya, jangan ambil yang baru. Potong saja jahe yang sebelumnya. Ya ... taruh sebagian di atas ikan pepesnya, sebagian lagi di dalam kuah. Nah, seperti itu."

Aku diam sejenak, mengambil napas, lalu melepaskannya dengan sekali embusan keras.

"Ingat, gulanya sedikit saja! Aku tidak suka masakan yang terlalu manis. Kau juga jangan sering-sering makan manis. Bisa kena diabetes nanti. Masih muda, kok, sakit. Biar aku saja yang sakit. Sudah tua. Wajarlah."

Dahiku berkeringat, entah karena terkena uap panas dari masakan di atas kompor atau karena ceracauan Ibu---atau karena keduanya. Aku mengelapnya dengan ujung lengan bajuku.

"Apinya kecilkan sedikit. Itu ... itu, jangan seperti itu. Aduh!"

Lama-lama aku terpancing kesal dan serba salah dengan segala ocehannya.

"Bisakah Ibu duduk saja di kursi makan? Biar aku selesaikan semuanya sendiri!" ujarku geram.

Ibu lalu menjauh dari dapur sambil menggerutu dan aku tidak mendengar jelas apa yang dia gerutukan itu.

Ibu menuju meja makan di ruang tengah dengan langkah yang tidak bisa dikatakan cepat. Alat bantu jalan, yang memiliki empat kaki dan dua roda kecil di bagian depan, justru membuat langkahnya kian berat. Aku hanya bisa melihatnya di antara sesal dan kasihan.

Dulu, Ibu baik-baik saja, sebelum Bapak meninggalkan kami. Ibu sosok yang tenang dan jarang sekali berbicara panjang, apalagi bernada tinggi. Dia selalu sabar, tidak pernah mengomel, bahkan tidak pernah mengeluhkan apa pun---sepanjang yang aku tahu.

Setelah Bapak tiada, entahlah, segalanya berubah. Mungkin karena kesedihan mendalam dan kehilangan besar, juga karena hidup kami yang tidak lagi sama, Ibu menjadi sensitif dan mudah cemas. Dia lantas melampiaskannya semua kepadaku.

Kemudian, gejala stroke menyerangnya dan makin memperburuk keadaan. Ibu jadi sering banyak bicara, bawel, dan mengeluhkan banyak hal kecil yang sebelumnya tidak pernah dia pedulikan. Dia seolah-olah tidak bisa berhenti mengeluarkan kata-kata dari mulutnya, kecuali tengah tertidur atau terpekur di atas kain ibadah di pojok ruangan.

"Dokter bilang, rahangku harus terus bergerak supaya tidak kram. Jadi, aku harus sering-sering bergerak dan berbicara."

Itulah alasan Ibu mengapa dia seperti keranjingan berbicara. Padahal, arah yang kutangkap dari nasihat dokter itu, sebenarnya dokter hendak memberi saran supaya Ibu rajin menggerakkan tubuh, termasuk rahang, dengan berolah raga, tanpa harus selalu mengeluarkan suara atau banyak berbicara.

Namun, begitulah Ibu. Dia seakan-akan membenarkan sendiri metode pengobatan untuk sakitnya. Cuma, makin ke sini yang kudengar, kata-kata yang diucapkan Ibu makin mulai ada jeda---sedikit terbata-bata. Apakah stadium sakit Ibu kian meningkat? Jujur, aku mengkhawatirkannya.

"Mau ke mana lagi kau, Tari?" tanya Ibu ketika melihat aku bersiap-siap untuk pergi keluar, "tidak bisakah kau di rumah saja malam ini?"

"Aku sudah ada janji dengan teman-teman, Bu."

"Tapi Ibu butuh bantuanmu di rumah. Pekerjaan banyak. Ibu sedang membungkus barang-barang dengan plastik. Ibu butuh kau di sini."

Aku baru sadar bahwa sejak beberapa hari kemarin, Ibu memiliki kebiasaan yang bisa dibilang aneh. Dia membungkus hampir semua barang di rumah dengan plastik. Meja, kursi, televisi, bahkan remote dan perabot kecil lainnya dibungkusnya dengan plastik bening. Ketika kutanya mengapa dia melakukan hal itu, jawabannya, supaya tidak repot bersih-bersih. Memang, rumah kami kecil dan tidak memiliki tempat untuk menyimpan barang-barang, tetapi apa yang dilakukan itu justru merepotkan dirinya sendiri.

"Ini malam minggu, Bu. Sesekali aku ingin bersantai di luar, bersosialisasi dengan teman-temanku. Aku juga butuh ruang untuk diriku sendiri," jelasku.

Aku berharap Ibu akan paham bahwa usiaku sudah tiga puluh tahun. Selama ini, aku terlalu sibuk bekerja, ditambah pula harus merawatnya di rumah.

Aku pernah menawarkan seorang pembantu untuk Ibu. Paling tidak, ada seseorang yang menemaninya di rumah ketika aku bekerja atau sedang berurusan di luar, tetapi dia menolak. Ibu bilang, dia lebih baik sendiri. Ibu tidak begitu suka kalau ada orang lain di rumah, rikuh. Selain itu, Ibu bilang gaji pembantu mahal. Bisa-bisa gajiku habis hanya untuk membayar mereka, padahal pekerjaan pembantu tidak rapi-rapi dan tidak bersih-bersih amat. Mungkin karena sedari dulu kami tidak terbiasa memiliki pembantu. Semua pekerjaan, Ibu yang mengerjakan---tapi itu dulu.

Apa hendak dikata, susah melawan Ibu yang keras kepala. Jika membantah sedikit, sudah dianggap durhaka. Mau tidak mau, meski lelah, akulah yang harus turun tangan membersihkan rumah setelah pulang bekerja. Meski demikian, aku tidak pernah meminta Ibu ikut bekerja, sebab aku pun tidak ingin sakitnya kian parah.

"Sebaiknya, Ibu fokuskan saja pada kesehatan Ibu. Jangan melakukan hal-hal yang tidak penting," kataku.

Maksudku, supaya Ibu lebih banyak beristirahat karena aku hanya khawatir dengannya, tetapi dia malah tersinggung dengan ucapanku.

"Kau pikir semua yang aku lakukan ini tidak ada artinya! Aku hanya minta kau di sini malam ini saja. Aku sendirian, tidak ada yang peduli!"

Ibu mulai meracau lagi seolah-olah apa yang kulakukan selalu salah di matanya. Inilah yang membuatku kesal minggu-minggu ini.

"Aku hanya pergi sebentar, Bu. Nanti pulang-pulang, aku akan membereskan semua."

"Sudah, tidak usah! Aku masih bisa kerja, masih punya tenaga. Sana! Pergi saja kalau kau mau pergi. Bersenang-senanglah. Jangan pikirkan aku lagi. Kau memang tidak benar-benar berniat mengurusku. Mungkin aku cuma jadi beban saja. Sana pergi!"

Aku terdiam sejenak, terkejut, dan terluka oleh kata-kata Ibu. Perasaanku kecewa. Aku marah.

"Kenapa Ibu tidak pernah memikirkan aku? Aku sudah dewasa, tetapi Ibu terus-menerus mengatur. Aku lelah, Bu! Aku juga ingin bebas dengan hidupku!"

"Maksudmu, kau menyesal merawatku?"

"Aku tidak pernah mengatakan itu!"

"Tapi, aku mendengar kau tadi mengatakan itu!"

"Terserah Ibu sajalah!"

"Ingat, suatu saat nanti kau akan merindukanku!"

"Aku tidak akan merindukan Ibu jika sikap Ibu terus-terusan seperti ini!"

"Tari ...!"

Pertengkaran antara aku dan Ibu telah mencapai puncaknya. Kami sama-sama kacau dan sama-sama tersulut api. Aku cepat keluar rumah, membanting pintu di belakangku. Batinku terluka, bukan hanya karena sedih dengan kata-katanya, tetapi aku menilai kami sudah tidak bisa lagi berbicara secara baik-baik.

Di luar, angin malam yang seharusnya sejuk, terasa dingin dan menusuk tulang. Aku telah membatalkan janji bertemu teman-temanku karena lebih ingin menikmati sendiri.

Aku berjalan tanpa tujuan, mencoba menenangkan pikiran. Namun, seberapa jauh berjalan, pikiranku terus kembali kepada Ibu. Gambaran wajahnya yang marah, suaranya yang penuh kemarahan, dan kata-kata terakhirnya meski terpatah-patah, terus menghantuiku.

Aku duduk di bangku taman. Langit bersih dan cerah oleh cahaya bulan, tetapi di dalam hatiku seolah-olah awan gelap bergemuruh. Apa yang Ibu lakukan sekarang? Apakah dia masih marah atau mungkin sedang sedih?

Makin lama perasaan bersalah ini makin menggerogoti hati. Aku tiba-tiba memikirkan semua hal yang telah Ibu lakukan untukku, semua pengorbanannya, dan semua perhatian yang terkadang terasa seperti gangguan. Mungkin aku terlalu kasar kepadanya.

Setelah beberapa waktu yang terasa seperti berjam-jam, aku memutuskan untuk pulang. Aku harus memperbaiki semua dan harus meminta maaf kepada Ibu.

Aku membuka pintu rumah dengan pelan. Ruang tengah sepi, begitu pula dapur. Aku menduga Ibu ada di kamar---dan betul, dia ada di dalam kamar. Ibu sedang duduk di tepi tempat tidur dengan kepala menunduk.

"Ibu," panggilku dengan lembut.

Ibu mengangkat kepalanya dan menatapku. Aku bisa melihat jejak air mata di pipinya dan hatiku terasa hancur melihatnya begitu.

"Tari, tolong besok antarkan aku ke panti jompo," katanya.

---

-Shyants Eleftheria, Osce te Ipsum-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun