Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ibu Berisik

14 Mei 2024   21:58 Diperbarui: 16 Mei 2024   03:08 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bisakah Ibu duduk saja di kursi makan? Biar aku selesaikan semuanya sendiri!" ujarku geram.

Ibu lalu menjauh dari dapur sambil menggerutu dan aku tidak mendengar jelas apa yang dia gerutukan itu.

Ibu menuju meja makan di ruang tengah dengan langkah yang tidak bisa dikatakan cepat. Alat bantu jalan, yang memiliki empat kaki dan dua roda kecil di bagian depan, justru membuat langkahnya kian berat. Aku hanya bisa melihatnya di antara sesal dan kasihan.

Dulu, Ibu baik-baik saja, sebelum Bapak meninggalkan kami. Ibu sosok yang tenang dan jarang sekali berbicara panjang, apalagi bernada tinggi. Dia selalu sabar, tidak pernah mengomel, bahkan tidak pernah mengeluhkan apa pun---sepanjang yang aku tahu.

Setelah Bapak tiada, entahlah, segalanya berubah. Mungkin karena kesedihan mendalam dan kehilangan besar, juga karena hidup kami yang tidak lagi sama, Ibu menjadi sensitif dan mudah cemas. Dia lantas melampiaskannya semua kepadaku.

Kemudian, gejala stroke menyerangnya dan makin memperburuk keadaan. Ibu jadi sering banyak bicara, bawel, dan mengeluhkan banyak hal kecil yang sebelumnya tidak pernah dia pedulikan. Dia seolah-olah tidak bisa berhenti mengeluarkan kata-kata dari mulutnya, kecuali tengah tertidur atau terpekur di atas kain ibadah di pojok ruangan.

"Dokter bilang, rahangku harus terus bergerak supaya tidak kram. Jadi, aku harus sering-sering bergerak dan berbicara."

Itulah alasan Ibu mengapa dia seperti keranjingan berbicara. Padahal, arah yang kutangkap dari nasihat dokter itu, sebenarnya dokter hendak memberi saran supaya Ibu rajin menggerakkan tubuh, termasuk rahang, dengan berolah raga, tanpa harus selalu mengeluarkan suara atau banyak berbicara.

Namun, begitulah Ibu. Dia seakan-akan membenarkan sendiri metode pengobatan untuk sakitnya. Cuma, makin ke sini yang kudengar, kata-kata yang diucapkan Ibu makin mulai ada jeda---sedikit terbata-bata. Apakah stadium sakit Ibu kian meningkat? Jujur, aku mengkhawatirkannya.

"Mau ke mana lagi kau, Tari?" tanya Ibu ketika melihat aku bersiap-siap untuk pergi keluar, "tidak bisakah kau di rumah saja malam ini?"

"Aku sudah ada janji dengan teman-teman, Bu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun