Di luar, angin malam yang seharusnya sejuk, terasa dingin dan menusuk tulang. Aku telah membatalkan janji bertemu teman-temanku karena lebih ingin menikmati sendiri.
Aku berjalan tanpa tujuan, mencoba menenangkan pikiran. Namun, seberapa jauh berjalan, pikiranku terus kembali kepada Ibu. Gambaran wajahnya yang marah, suaranya yang penuh kemarahan, dan kata-kata terakhirnya meski terpatah-patah, terus menghantuiku.
Aku duduk di bangku taman. Langit bersih dan cerah oleh cahaya bulan, tetapi di dalam hatiku seolah-olah awan gelap bergemuruh. Apa yang Ibu lakukan sekarang? Apakah dia masih marah atau mungkin sedang sedih?
Makin lama perasaan bersalah ini makin menggerogoti hati. Aku tiba-tiba memikirkan semua hal yang telah Ibu lakukan untukku, semua pengorbanannya, dan semua perhatian yang terkadang terasa seperti gangguan. Mungkin aku terlalu kasar kepadanya.
Setelah beberapa waktu yang terasa seperti berjam-jam, aku memutuskan untuk pulang. Aku harus memperbaiki semua dan harus meminta maaf kepada Ibu.
Aku membuka pintu rumah dengan pelan. Ruang tengah sepi, begitu pula dapur. Aku menduga Ibu ada di kamar---dan betul, dia ada di dalam kamar. Ibu sedang duduk di tepi tempat tidur dengan kepala menunduk.
"Ibu," panggilku dengan lembut.
Ibu mengangkat kepalanya dan menatapku. Aku bisa melihat jejak air mata di pipinya dan hatiku terasa hancur melihatnya begitu.
"Tari, tolong besok antarkan aku ke panti jompo," katanya.
---
-Shyants Eleftheria, Osce te Ipsum-