Mengapa? Ya, karena saya tidak suka dibuatnya seperti kurang cerdas padahal saya pun paham mengenai teori "Mengapa perempuan bisa menjadi gendut".
Memang, terkait dengan pemikiran saya, jika dipikirkan lebih lanjut, sebenarnya banyak hal-hal yang telah mengganggu saya yang pada dasarnya memiliki struktur yang mirip dengan keluhan kegemukan itu. Kekhawatiran saya mungkin tidak sepenuhnya masuk akal, tetapi entah mengapa, saya tetap saja merasa gelisah.
Sebagai contoh tentang kekhawatiran-kekhawatiran saya, misalnya, saya bisa terus merasa bersalah karena telah mengecewakan orang tua saya, tidak peduli seberapa baik saya terhadap mereka (apalagi sekarang keduanya sudah tidak ada lagi di dunia); Saya bisa merasa sangat khawatir mengenai keuangan kami meskipun secara obyektif saya dan pasangan saya cukup aman secara ekonomi; Saya juga bisa merasa tidak percaya diri dengan penampilan saya padahal tidak ada orang lain yang menilai wajah atau tubuh saya dengan buruk; Atau saya merasa bahwa saya adalah orang yang gagal karena pernah mengacaukan segala sesuatu yang saya lakukan meskipun, secara obyektif, saya tampak melakukannya dengan cukup baik.
Nah, permasalahan yang selanjutnya terjadi, yaitu, ketika menceritakan kekhawatiran-kekhawatiran saya kepada pasangan saya itu, saya merasa bahwa dia seolah-olah meremehkan kekhawatiran saya dengan serangkaian jawaban logis yang disampaikannya secara tepat dan tidak berapi-api.
Secara wajar, memang, saya tidak seharusnya mempunyai rasa takut atau khawatir yang berlebihan sebab implikasinya adalah tidak ada orang waras yang akan sekhawatir saya.
Namun, saya justru berdalih bahwa kemarahan saya tidak perlu dianggap sebagai suatu polemik bagi pasangan saya yang mengedepankan sudut pandang 'logis'. Maka wajar saja saya berpikir kalau pasangan saya tidak perlu terkejut dengan tanggapan marah yang dia terima.
Saya pun berdalih bahwa pasangan saya pasti tidak mengetahui tentang betapa aneh dan di luar nalarnya pikiran yang ada dalam otak manusia, termasuk pikiran-pikiran saya. Saya juga berdalih bahwa logika berpikir yang pasangan saya terapkan sejatinya merupakan jenis akal sehat yang menolak hukum psikologi.
Tentu saja, pikiran manusia menjadi mangsa fantasi, ilusi, proyeksi, dan teror neurotik sehingga menjadikan manusia itu takut terhadap banyak hal yang tidak ada di dunia nyata.
Menurut saya, fenomena seperti ini bukanlah sesuatu yang 'tidak logis' melainkan layak untuk diterapkan dengan logika yang lebih dalam berdasarkan simpati terhadap kompleksitas kehidupan emosional.
Pendekatan yang terlalu logis terhadap rasa takut akan mengabaikan asal-usul rasa takut dan justru memusatkan perhatian pada alasan manusia tidak boleh memiliki rasa takut---hal ini pastilah menjengkelkan ketika seseorang sedang kesakitan, termasuk saya.
Melalui dalil-dalil saya tersebut, bukan berarti saya benar-benar ingin pasangan saya berhenti bersikap wajar, melainkan saya ingin dia menerapkan kecerdasannya untuk meyakinkan saya.