Saya kerap marah atau dibuat marah oleh pasangan saya karena dalam suatu diskusi, pemikirannya terlalu logis atau terlalu masuk akal. Mengapa demikian?
Sekilas tampaknya aneh ketika saya menjadi emosional dalam perdebatan, apalagi ketika saya diam-diam mengakui kebenaran logika pasangan saya. Selama menjalin hubungan pun, saya mengetahui kalau dia memang kerap lebih berpikir secara logis atau rasional daripada saya.
Lantas, mengapa saya menganggap hal itu sebuah problematik dalam hubungan percintaan saya?
Begini, jika dilihat dari dekat dan jika dilihat dengan imajinasi yang cukup, kemarahan saya pun bisa sangat masuk akal.
Ketika berada dalam kesulitan, yang jelas pertama-tama saya cari dari pasangan saya adalah perasaan bahwa dia seharusnya memahami apa yang sedang saya alami.
Saya tidak mencari jawaban untuk suatu permasalahan yang mungkin berat dan tidak bisa diketahui secara jelas, tetapi lebih ke arah kenyamanan, kepastian, dan rasa kebersamaan kami---itu saja.
Maka dalam situasi demikian, penerapan sikapnya yang terlalu logis tidak pernah saya anggap sebagai tindakan kebaikan, melainkan sebagai bentuk ketidaksabaran dirinya yang seperti terselubung ketika menghadapi perilaku saya yang mungkin saja menurutnya juga memuakkan.
Suatu hari saya pernah mendatangi dirinya dengan keluhan berupa berat badan saya naik.
Baiklah, secara intelektual, ketakutan saya akan kegemukan memang jelas tidak beralasan dan saya mengetahui semua ini: porsi makan saya normal dan saya juga rajin berolah raga.
Akan tetapi, hal tersebut tidak mengurangi kecemasan saya dalam praktiknya.
Jika kemudian pasangan saya dengan sabar mulai menjelaskan ilmu biologi dan kimiawi kepada saya bahwa saya tidak akan bisa gendut, justru yang terjadi adalah seketika saya kesal dan tidak berterima kasih dengan penjelasannya itu.Â
Mengapa? Ya, karena saya tidak suka dibuatnya seperti kurang cerdas padahal saya pun paham mengenai teori "Mengapa perempuan bisa menjadi gendut".
Memang, terkait dengan pemikiran saya, jika dipikirkan lebih lanjut, sebenarnya banyak hal-hal yang telah mengganggu saya yang pada dasarnya memiliki struktur yang mirip dengan keluhan kegemukan itu. Kekhawatiran saya mungkin tidak sepenuhnya masuk akal, tetapi entah mengapa, saya tetap saja merasa gelisah.
Sebagai contoh tentang kekhawatiran-kekhawatiran saya, misalnya, saya bisa terus merasa bersalah karena telah mengecewakan orang tua saya, tidak peduli seberapa baik saya terhadap mereka (apalagi sekarang keduanya sudah tidak ada lagi di dunia); Saya bisa merasa sangat khawatir mengenai keuangan kami meskipun secara obyektif saya dan pasangan saya cukup aman secara ekonomi; Saya juga bisa merasa tidak percaya diri dengan penampilan saya padahal tidak ada orang lain yang menilai wajah atau tubuh saya dengan buruk; Atau saya merasa bahwa saya adalah orang yang gagal karena pernah mengacaukan segala sesuatu yang saya lakukan meskipun, secara obyektif, saya tampak melakukannya dengan cukup baik.
Nah, permasalahan yang selanjutnya terjadi, yaitu, ketika menceritakan kekhawatiran-kekhawatiran saya kepada pasangan saya itu, saya merasa bahwa dia seolah-olah meremehkan kekhawatiran saya dengan serangkaian jawaban logis yang disampaikannya secara tepat dan tidak berapi-api.
Secara wajar, memang, saya tidak seharusnya mempunyai rasa takut atau khawatir yang berlebihan sebab implikasinya adalah tidak ada orang waras yang akan sekhawatir saya.
Namun, saya justru berdalih bahwa kemarahan saya tidak perlu dianggap sebagai suatu polemik bagi pasangan saya yang mengedepankan sudut pandang 'logis'. Maka wajar saja saya berpikir kalau pasangan saya tidak perlu terkejut dengan tanggapan marah yang dia terima.
Saya pun berdalih bahwa pasangan saya pasti tidak mengetahui tentang betapa aneh dan di luar nalarnya pikiran yang ada dalam otak manusia, termasuk pikiran-pikiran saya. Saya juga berdalih bahwa logika berpikir yang pasangan saya terapkan sejatinya merupakan jenis akal sehat yang menolak hukum psikologi.
Tentu saja, pikiran manusia menjadi mangsa fantasi, ilusi, proyeksi, dan teror neurotik sehingga menjadikan manusia itu takut terhadap banyak hal yang tidak ada di dunia nyata.
Menurut saya, fenomena seperti ini bukanlah sesuatu yang 'tidak logis' melainkan layak untuk diterapkan dengan logika yang lebih dalam berdasarkan simpati terhadap kompleksitas kehidupan emosional.
Pendekatan yang terlalu logis terhadap rasa takut akan mengabaikan asal-usul rasa takut dan justru memusatkan perhatian pada alasan manusia tidak boleh memiliki rasa takut---hal ini pastilah menjengkelkan ketika seseorang sedang kesakitan, termasuk saya.
Melalui dalil-dalil saya tersebut, bukan berarti saya benar-benar ingin pasangan saya berhenti bersikap wajar, melainkan saya ingin dia menerapkan kecerdasannya untuk meyakinkan saya.
Itu artinya juga, saya pun ingin pasangan saya memasuki bagian-bagian aneh dari pengalamannya dengan mengingat pengalaman dirinya sendiri.
Kemudian, tidak apa-apa saya dipahami oleh pasangan saya sebagai manusia dengan pemikiran liar dan aneh. Saya mengerti itu.
Namun, saya juga ingin kemudian dia menghibur saya dengan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, tanpa harus memaparkan kalimat-kalimat logis.
Jadi, menurut saya, penerapan logika yang berlebihan itu hanyalah wujud suatu kebodohan kendati pasangan saya memberikan jawaban logisnya mungkin karena upayanya untuk lebih bersimpati kepada saya.
Akan tetapi, lagi-lagi menurut saya, jika pasangan saya benar-benar memahami semua kompleksitas fungsi emosional, daripada bertengkar seputar pertanyaan yang saya ajukan, sebaiknya dia berpura-pura saja menerima semua itu secara dangkal, lalu dengan lembut mengubah topik pembicaraan dan mengatakan, "Apa pun kamu, aku tetap mencintaimu."
---
-Shyants eleftheria, Osce te Ipsum-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H