Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sekelumit "Tsukiko" pada Ending Cerita Cintaku

6 Januari 2024   14:25 Diperbarui: 7 Januari 2024   04:29 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu-satunya orang di kantor yang sering berhubungan denganku adalah Glen. Dia rekan kerjaku di divisi yang sama. Orangnya asyik dan aku menyukainya. Aku memang tidak ingin terang-terangan terlihat menyukainya, tetapi sering kali ketika meeting group untuk proyek properti kami, aku mencuri-curi pandang ke arahnya sambil tersenyum tipis. Aku yakin dia tidak akan pernah tahu. 

Pagi ini dia menghampiri meja kerjaku sambil membawa satu cangkir kopi yang masih beruap. 

"Sudah minum kopi, Sher? Rasanya, kok, aneh, ya?"

Aku menjawabnya dengan gurauan sekenanya bahwa air seduhan kopi telah kutambahkan dengan air toilet. 

"Ini rahasia," kataku.

"Iyakah?" 

Glen mendelik dan aku tertawa renyah melihat reaksinya, lalu dia pun ikut tertawa. Mungkin karena pernyataanku memang terdengar konyol. 

Padahal juga, tiba-tiba terbesit di kepalaku, suatu saat nanti, aku benar-benar ingin memasukkan air toilet ke dalam tangki seduhan kopi untuk karyawan kantor. Serius kukatakan begitu supaya setelah meminum kopinya, aku membayangkan Emma akan sakit perut seharian sehingga akan mengganggu aksinya bergenit ria di depan Pak Direktur; Jacob akan terganggu presentasinya yang selalu moncer dan merasa dialah yang paling pantas untuk dipromosikan naik jabatan; Davina akan terdiam dan tidak lagi sibuk memuji-muji atau menjilat-jilat atasan; dan yang lainnya, dan yang lainnya. Di kantor ini memang sudah terlalu banyak orang-orang yang kehilangan muka sehingga harus mencarinya dengan cara yang kurang beradab---kecuali Glen, menurutku. 

Glen pandai, itu penilaianku karena kami sering berinteraksi mengerjakan proyek kerja bersama dan aku terkesan dengan ide-idenya. Kinerjanya baik, presentasinya bahkan lebih menarik dari Jacob. Aku pikir Glen malah lebih pantas daripada Jacob mendapatkan promosi kenaikan jabatan. Sayangnya, orangnya tidak terlalu bernafsu. Katanya, santai saja, ikuti saja alurnya. Begitulah dia.

Glen terdiam sesaat seperti memikirkan sesuatu, kemudian dia berbicara lagi. 

"Ada film baru di bioskop, sudah dengar? Katanya bagus, tapi aku penasaran. Pendapatmu, Sher?"

Kali ini aku hanya mengedikkan bahu karena tidak tertarik membahas obrolannya. Selain fokus mengerjakan laporan harian di komputer, aku memang tidak mengetahui film apa saja yang sedang beredar di bioskop sebab jarang juga menonton film. Alih-alih melanjutkan obrolan, Glen malah nyelonong balik ke meja kerjanya. 

Sore melewati senja, waktu yang teratur untukku pulang setelah seharian penat bekerja. Saat inilah, sembari istirahat, aku lebih suka memanjakan diri dengan menikmati bacaan-bacaan ringan, seperti "Strange Weather in Tokyo" dari penulis Jepang, Hiromi Kawakami, yang kubeli tiga minggu lalu ketika ada pameran buku. 

Membaca sinopsis di bagian belakang buku, meski sekilas, tapi seakan-akan aku menemukan petualangan cinta tentang diriku sendiri. Tsukiko, tokohnya, perempuan pekerja berusia 30-an dikisahkan tidak memiliki teman dan jarang mengunjungi keluarganya. Perempuan itu diceritakan juga sudah lelah menjalani hubungan romantis dengan laki-laki karena selalu berakhir kandas. Suatu hari dia bertemu seorang guru di masa lalunya dan obrolan ringan pun berlanjut menjadi pertemuan rutin---nah, karena inilah aku membayar novel itu untuk mengetahui cerita utuhnya. 

Perutku tiba-tiba memberi sinyal lapar, segera kuletakkan "Tsukiko" untuk membuat sandwich dan segelas cokelat hangat. Cukuplah sekadar mengisi kekosongan perut, sebelum kemudian aku teringat dengan obrolan Glen tentang film yang kuabaikan tadi di kantor.

Kuambil ponsel dan kuketikkan pesan untuknya.

"Maaf, Glen. Aku tidak bisa berpendapat apa-apa karena memang tidak pernah mendengar film itu."

Cepat sekali balasan Glen. "Santailah, tak perlu minta maaf. Besok malam filmnya diputar lagi. Ingin pergi denganku?"

"Aku sibuk."

"Selalu saja alasanmu begitu, Sheryl. Ayolah!"

Baiklah, aku seharusnya tidak setakut itu dengan berkali-kali menolak ajakan Glen. Kecuali jadwal makan siang di kantor, aku kerap tidak pernah mau pergi dengannya, bahkan berjalan-jalan saat tidak bekerja sekali pun. Sebagai teman, aku hanya ingin menjaga segumpal hatiku agar tidak terlanjur bersarang lama untuknya meski berharap dia akan membalasku.

Ya, kali ini hanya menonton, bukan hal yang berlebihan. Maka, ketika bertemu dengannya di kantor, aku menyepakatinya untuk pergi berdua pada Sabtu malam. Tapi, apakah ini seperti ajakan berkencan?

Tidak ada yang membuatku hampir satu jam bolak-balik di depan kaca, berdandan, dan bergonta-ganti pakaian, selain karena Glen yang menepati janji menjemputku pukul tujuh malam. Apalagi ketika melihatku, dia seperti terkejut. Mungkin aku terlihat berbeda menurutnya.  

"Kamu ternyata bisa tampil cantik, Sher." katanya.

"Jangan menghina dibalik gombalan."

"Hei, aku menilaimu jujur. Malam ini kamu cantik sekali."

Baru kali ini kurasa mukaku bersemu merah di hadapannya, meski aku yakin yang terlihat olehnya sapuan blush on di pipi, tetapi setidaknya, malu-maluku tidak kentara.

Namun, terus terang, sepanjang perjalanan, sepanjang menonton film, aku merasakan detak jantungku yang tidak karuan. Sudah sangat lama aku menjatuhkan hati kepada Glen, tapi aku tidak mau berujung kecewa. Tidak! Aku tidak ingin Glen bagian dari wujud kekecewaan itu. Jadi, aku harus bagaimana?  

Setelah kami keluar dari gedung bioskop, aku berusaha berbincang senormal mungkin.

"Aku sama sekali bukan penggemar film, tetapi aku tahu kapan harus menyukai sesuatu," kataku, 

"Maksudmu, filmnya buruk?" 

"Aku tidak mengatakannya demikian. Mungkin seleraku saja yang buruk. "

"Kurasa karena kamu tidak menikmati filmnya saja."

"Mungkin. Baiklah, Glen, kamu harus mengantarku pulang sekarang."

"Hah! Kau lapar? Kita bisa mencari makanan di dekat sini, kok."

Apa? Bisa-bisanya pendengaran Glen bermasalah. Sedikit jengkel, ayunan tas hitam kecil kusasarkan berkali-kali tepat mengenai tubuhnya dan dia meminta ampun sambil tertawa. Pada momen ini aku melihat Glen sangat menawan. 

Kami pergi ke restoran cepat saji. Hanya itu yang terdekat. Saat kami duduk berhadapan, tiba-tiba saja Glen menatapku. Aku mendadak kikuk. Sungguh tatapannya membuatku gugup. Beruntung, pelayan datang membawa pesanan: Ayam goreng, kentang goreng, serta dua gelas minuman soda. Aku langsung menyeruput soda menghilangkan kecanggunganku yang luar biasa.

"Sher, boleh aku tahu sesuatu yang khusus tentangmu?" 

"Tidak ada yang menarik tentangku." 

"Kamu menarik."

"Jangan berlebihan berpikir begitu. Aku tidak suka." 

"Maafkan."

"Setelah malam ini, semoga tidak ada pertemuan lagi."

"Kita masih mengerjakan proyek bersama."

"Bukan itu maksudku."

Tiba-tiba kami berdua seperti tersengat kekakuan. Tidak banyak yang kami obrolkan sepanjang perjalanan pulang, selain membahas proyek yang harus kami kerjakan sebagai tim bersama. Entah mengapa, pembahasan itu menjadi obrolan yang tidak penting sama sekali. 

Pandanganku terpaku pada bulan. Ia akan bercahaya di langit sepanjang malam seperti yang telah terjadi selama ribuan tahun sejak ia mengikrarkan kesetiaannya pada bumi. Beberapa waktu, aku baru sadar kalau ternyata laju mobil telah berhenti persis di depan rumahku. Kami diam sejenak, saling menatap sejenak, dan selanjutnya, aku meninggalkannya tanpa kata-kata. 

Di kamar tidur, aku tidak bisa berhenti memikirkan hal yang seharusnya akan memberikan ancaman untukku. Aku tidak percaya memikirkan tentang ancaman itu bahwa aku benar-benar jatuh cinta kepada Glen. Oh, Tuhan!

"Bagaimana kabarmu, Sher? Kamu sepertinya lupa memasukan air toilet ke dalam tangki kopi. Rasanya tidak seaneh kemarin." 

Glen kembali menyapaku di kantor seolah-olah kencan kami pada malam lusa kemarin tidak membuatnya berkesan. 

"Jangan ganggu, Glen. Aku sedang sibuk menyiapkan laporan anggaran proyek kita." 

Sengaja aku bersikap ketus, padahal aku berharap dia mengatakan sesuatu terkait perasaannya.

"Apakah kamu butuh sesuatu?"

"Tidak." 

"Lakukan dengan cepat dan teliti, Sher. Pekan ini, kita harus turun ke lapangan juga untuk melakukan survei."

"Bukankah itu bagian pekerjaan anggota yang lain?"

"Mereka ada tugas tambahan. Aku ketua tim, jadi aku yang mengatur semua."

"Sejak kapan kamu jadi arogan seperti ini, Glen?"

Glen pergi, tanpa menggubrisku. Jelas-jelas menyebalkan sekali sikapnya.

Akhir pekan ini kami melakukan perjalanan mengendarai mobil berdua. Anehnya, Glen bahkan tidak memberitahuku lokasi survei yang baru. Aku bertanya-tanya dalam hati ke mana dia membawaku. Mungkin dia ingin membunuhku atau mungkin dia tahu betapa aku kesal kepadanya.

"Kita mau ke mana Glen, kenapa mobilnya berhenti?"

"Ini hari ulang tahunku."

"Iyakah? Maaf, selamat ulang tahun, Glen."

"Kamu mau menghabiskan waktu untuk hari-hari ke depan denganku, Sher?"

"Jadi, maksudmu, kita tidak sedang melakukan survei?"

"Aku tidak tahu caranya untuk bisa mengajakmu pergi ke luar lagi."

"Astaga, Glen!"

"Terkadang aku memikirkanmu."

Aku menangis, terharu. Sama terharunya setelah aku menamatkan "Tsukiko".  Ending kami sama.

--- 

-Shyants Eleftheria, Salam Cerdas Literasi-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun