Anakku Alena, tolong jangan menangis karena saat kau membaca surat ini, Ibu tidak merasakan sakit lagi. Ketika dokter memberi tahu bahwa Ibu hanya punya waktu sebentar lagi, Ibu memikirkan semua hal yang ingin Ibu lakukan. Ibu ingin mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah Ibu datangi, makan semua makanan yang tidak pernah Ibu rasakan, tetapi pada akhirnya Ibu ingin menghabiskan beberapa hari terakhir dengan putri Ibu satu-satunya.Â
Tolong maafkan Ibu karena tidak mengatakan yang sebenarnya. Jangan pula menyalahkan ayahmu karena sandiwara semua ini. Tidak ada yang terjadi di antara kami. Ayah dan Ibu sudah menyelesaikan semuanya. Kami telah menghabiskan waktu bersama dengan bahagia, membesarkanmu, membuatmu menjadi mandiri.Â
Tolong banggalah kepada ayahmu yang membiarkan Ibu pergi dan tetap kuat. Ibu harap kita melakukan sesuatu yang menyenangkan bersama seperti makan mi telur brokoli hijau kesukaanmu. Dulu, kau selalu meminta Ibu memasakkan hidangan kesukaanmu itu untukmu. Jadi, Ibu ingin kau menikmatinya untuk terakhir kalinya.
Alena, anggaplah Ibu adalah ibu yang terbaik di dunia. Hidup itu berharga walaupun semua orang tidak pernah siap untuk menghadapi perpisahan. Tolong tersenyumlah untuk Ibu karena kau tentu punya lebih banyak senyuman. Hari-hari mendatang mungkin akan sulit, tapi kau harus kuat. Kau dan ayahmu harus kuat agar Ibu bisa tersenyum ketika pergi. Sayangi ayahmu dan berdoalah selalu untuk kami.Â
Ibu
Alena tertunduk membaca kalimat demi kalimat yang tertulis. Gemerutuk giginya menahan genangan air mata. Tidak lama, selembar kertas itu pun basah.
---
Shyants Eleftheria, Life is A Journey