Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sandiwara Menyakitkan

27 Oktober 2023   13:45 Diperbarui: 28 Oktober 2023   16:46 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi selembar surat tentang sandiwara menyakitkan| sumber gambar pixabay.com

Alena sungguh terusik, padahal pagi itu ia masih ingin menambah jam istirahatnya sebentar saja. Semalaman dia larut mengerjakan makalah presentasi untuk tugasnya di kantor besok lusa. Namun, bel pintu berbunyi berkali-kali. Terpaksalah ia bangkit, lalu membukanya sambil menggerutu.

“Ibu!”

Tentu saja Alena terkejut. Ibunya tiba-tiba datang dengan membawa satu koper pakaian. Kedatangannya sendiri pula, padahal setahu Alena, ibunya tidak akan mau pergi kalau tidak ditemani ayahnya, apalagi perjalanan ke tempatnya lumayan jauh. Alena menebak, pasti sesuatu telah terjadi.

“Ibu kenapa tidak memberi kabar dulu?”

Mereka berpelukan dan Alena merasakan pelukan ibunya seolah-olah hendak meremas tulang-tulangnya. Mungkin ibunya benar-benar rindu.

Enam bulan terakhir Alena jarang pulang. Pekerjaannya makin padat, begitu yang ia katakan kepada orang tuanya. Ayah dan ibunya cukup memahami itu meskipun sederetan nasihat dimuntahkan juga kepada Alena bahwa sebagai wanita karir, ia harus bisa menjaga diri, kesehatan, kehormatan, dan tentu saja yang harus dipikirkannya adalah pendamping hidup.

Nasihat berulang-ulang seperti itu jelas menjemukan bagi Alena, tetapi ia tidak pernah membantah keras. Setidaknya, ia berupaya untuk tidak memperburuk hubungan yang umumnya terjadi antara orang tua dan anak, apalagi jika mereka telah hidup terpisah.

“Alena, kau tahu ayahmu sering melakukan sesuatu dengan caranya sendiri. Dan ketika Ibu tidak setuju, kami akhirnya—”

Ibunya mendadak diam. Alena seketika paham, orang tuanya pasti berselisih paham. Namun, di dalam pikirannya juga, ibunya seperti menyembunyikan suatu persoalan.

“Ayah dan Ibu baik-baik saja, kan?”

“Mungkin Ibu harus tinggal di sini sementara. Sampai semuanya beres.”

“Ada apa dengan kalian, Bu?”

Alena masih mencoba memahami keadaan orang tuanya yang telah menjalani kehidupan bersama hampir tiga puluh tahun. Masa ketika satu pasangan seharusnya sudah mampu menghadapi krisis kehidupan dalam keseimbangan, ketenangan, dukungan satu sama lain, saling terbuka, dan pengertian. Lantas, ia tidak habis pikir, mengapa kehidupan dalam pernikahan orang tuanya bisa berbalik menjadi sedemikian rumit?

“Ayah, kalian bertengkar? Apa masalahnya?”

“Ibumu sangat keras kepala dan Ayah tidak bisa melarangnya.”

“Ayah harus bicara dengan Ibu dan selesaikan masalahnya, tolonglah.”

“Alena, dengarkan dulu. Ayah sangat menyesal. Tolong beri tahu ibumu kalau Ayah sangat mencintainya.”

“Kenapa Ayah tidak memberitahunya sendiri? Aku tidak bisa menyelesaikan masalah kalian.”

Alena menutup teleponnya sambil menutup mata dan menghela napas panjang. Ia tidak mau menjadikan persoalan orang tuanya sebagai beban yang bisa membuatnya kacau untuk berpikir, apalagi ia sudah mempunyai kehidupan sendiri.

“Maafkan Ibu, Alena. Ini hanya sebentar.”

“Baiklah, Ibu bisa tinggal di sini, tentu saja. Tapi, aku harus memberitahu Ibu. Aku bekerja sepuluh jam sehari. Ketika pulang, kadang aku hanya ingin bersantai, bertemu teman-teman, kadang pula, aku harus berkutat dengan pekerjaan kantor yang belum selesai. Jadi, Ibu tidak boleh mengeluhkan keseharianku.”

Malamnya, Alena masih sibuk dengan worksheet di notebooknya di dalam kamar. Ibunya muncul membawa baki dengan semangkuk mi telur brokoli hijau yang masih hangat.

“Kau lapar, Alena? Ibu sudah memasak makanan kesukaanmu saat kecil.”

“Saya belum lapar, Bu, nanti saja.”

Ibunya hanya bisa memendam kecewa, air matanya tiba-tiba menetes dan akhirnya menghabiskan mi itu sendiri sambil menonton televisi. Semua masa berganti. Kadang-kadang, seorang anak tidak mau lagi mengadaptasikan kenangan masa kecil pada kehidupan dewasanya. Mungkin Alena lupa, ketika kecil, ia begitu lahap menyantap mi telur brokoli hijau dan tidak akan bosan meski hidangan itu disajikan setiap hari, sementara ibunya selalu mengingat kenangan itu.

Satu hari berlalu. Saat Alena masih bekerja di kantor secara rutin, ibunya mulai merapikan rumahnya yang berantakan, mencuci piring, menyetrika, dan menyapu. Bertepatan dengan Alena yang baru pulang, ibunya tidak sengaja menyenggol vas bunga di ruang tamu hingga jatuh dan pecah berantakan.

“Ibu, kenapa?”

“Tidak apa-apa, hanya pusing sedikit. Cuma butuh istirahat.”

Alena membawa ibunya untuk duduk di sofa, mengambilkannya minum, sebelum ia masuk ke kamarnya, lalu keluar lagi.

“Mengapa Ibu melakukan semuanya?”

“Rumahmu seperti kapal pecah, Alena.”

“Tapi Ibu tidak bisa masuk ke kamarku begitu saja dan memindahkan barang-barangku.”

“Maaf, Alena, kali ini saja.”

Mereka kemudian berdua duduk berdekatan, keadaan yang mungkin tidak pernah mereka lakukan sebelumnya. Ibunya membelai rambut Alena seolah-olah masih ingin merasakan kalau putrinya itu adalah sosok kecil yang sejak dulu sudah keras kepala. Kekhawatiran tentang anaknya pun muncul.

“Kapan kau akan mengenalkan calon suamimu kepada Ibu?”

“Tolong, jangan memintaku untuk itu lagi, Bu. Aku tidak ingin bertemu seseorang yang kemudian berakhir seperti kalian. Lihat, aku mencintai hidupku, aku punya banyak teman. Aku bisa melakukan apa yang aku inginkan. Kebahagiaan milikku. Aku suka hidup sendiri, setidaknya untuk saat ini. Sekarang, aku baru pulang kerja, lelah sekali. Mungkin kita bisa bicara yang ringan-ringan saja, oke?”

“Baiklah, Ibu tidak akan membahasnya lagi. Dan kau jangan khawatir karena Ibu tidak akan lama di sini. Ibu akan segera pulang. Hanya saja ….”

“Apa, Bu?”

“Kau punya waktu malam ini?”

“Ya, Bu. Aku punya banyak pekerjaan lagi yang harus kuselesaikan. Mungkin besok malam kita akan menghabiskan waktu bersama. Kita bisa pergi ke tempat yang Ibu mau.”

Tidak ada seorang pun yang bisa menduga keadaan selanjutnya, bahwa keesokan harinya ibunya pingsan di dapur. Alena menangis, menelepon dokter, menelepon ayahnya juga agar segera datang ke rumah sakit.

Di rumah sakit, Alena dan ayahnya duduk saling berangkulan. Ayahnya seperti sudah menerima kenyataan pahit, tetapi tidak dengan Alena. Ia sangat marah kepada ayahnya, marah sekali,  karena sengaja membiarkan kondisi ibunya sakit seperti itu.

Alena hanya bisa menyesalkan tindakannya yang tidak dapat diperbaiki lagi. Ibunya harus dirawat di rumah sakit sampai akhirnya membuat Alena menangis sejadi-jadinya, bahwa ibunya harus meninggal.

Anakku Alena, tolong jangan menangis karena saat kau membaca surat ini, Ibu tidak merasakan sakit lagi. Ketika dokter memberi tahu bahwa Ibu hanya punya waktu sebentar lagi, Ibu memikirkan semua hal yang ingin Ibu lakukan. Ibu ingin mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah Ibu datangi, makan semua makanan yang tidak pernah Ibu rasakan, tetapi pada akhirnya Ibu ingin menghabiskan beberapa hari terakhir dengan putri Ibu satu-satunya. 

Tolong maafkan Ibu karena tidak mengatakan yang sebenarnya. Jangan pula menyalahkan ayahmu karena sandiwara semua ini. Tidak ada yang terjadi di antara kami. Ayah dan Ibu sudah menyelesaikan semuanya. Kami telah menghabiskan waktu bersama dengan bahagia, membesarkanmu, membuatmu menjadi mandiri. 

Tolong banggalah kepada ayahmu yang membiarkan Ibu pergi dan tetap kuat. Ibu harap kita melakukan sesuatu yang menyenangkan bersama seperti makan mi telur brokoli hijau kesukaanmu. Dulu, kau selalu meminta Ibu memasakkan hidangan kesukaanmu itu untukmu. Jadi, Ibu ingin kau menikmatinya untuk terakhir kalinya.

Alena, anggaplah Ibu adalah ibu yang terbaik di dunia. Hidup itu berharga walaupun semua orang tidak pernah siap untuk menghadapi perpisahan. Tolong tersenyumlah untuk Ibu karena kau tentu punya lebih banyak senyuman. Hari-hari mendatang mungkin akan sulit, tapi kau harus kuat. Kau dan ayahmu harus kuat agar Ibu bisa tersenyum ketika pergi. Sayangi ayahmu dan berdoalah selalu untuk kami. 

Ibu

Alena tertunduk membaca kalimat demi kalimat yang tertulis. Gemerutuk giginya menahan genangan air mata. Tidak lama, selembar kertas itu pun basah.

---

Shyants Eleftheria, Life is A Journey

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun