Alena sungguh terusik, padahal pagi itu ia masih ingin menambah jam istirahatnya sebentar saja. Semalaman dia larut mengerjakan makalah presentasi untuk tugasnya di kantor besok lusa. Namun, bel pintu berbunyi berkali-kali. Terpaksalah ia bangkit, lalu membukanya sambil menggerutu.
“Ibu!”
Tentu saja Alena terkejut. Ibunya tiba-tiba datang dengan membawa satu koper pakaian. Kedatangannya sendiri pula, padahal setahu Alena, ibunya tidak akan mau pergi kalau tidak ditemani ayahnya, apalagi perjalanan ke tempatnya lumayan jauh. Alena menebak, pasti sesuatu telah terjadi.
“Ibu kenapa tidak memberi kabar dulu?”
Mereka berpelukan dan Alena merasakan pelukan ibunya seolah-olah hendak meremas tulang-tulangnya. Mungkin ibunya benar-benar rindu.
Enam bulan terakhir Alena jarang pulang. Pekerjaannya makin padat, begitu yang ia katakan kepada orang tuanya. Ayah dan ibunya cukup memahami itu meskipun sederetan nasihat dimuntahkan juga kepada Alena bahwa sebagai wanita karir, ia harus bisa menjaga diri, kesehatan, kehormatan, dan tentu saja yang harus dipikirkannya adalah pendamping hidup.
Nasihat berulang-ulang seperti itu jelas menjemukan bagi Alena, tetapi ia tidak pernah membantah keras. Setidaknya, ia berupaya untuk tidak memperburuk hubungan yang umumnya terjadi antara orang tua dan anak, apalagi jika mereka telah hidup terpisah.
“Alena, kau tahu ayahmu sering melakukan sesuatu dengan caranya sendiri. Dan ketika Ibu tidak setuju, kami akhirnya—”
Ibunya mendadak diam. Alena seketika paham, orang tuanya pasti berselisih paham. Namun, di dalam pikirannya juga, ibunya seperti menyembunyikan suatu persoalan.
“Ayah dan Ibu baik-baik saja, kan?”