“Mungkin Ibu harus tinggal di sini sementara. Sampai semuanya beres.”
“Ada apa dengan kalian, Bu?”
Alena masih mencoba memahami keadaan orang tuanya yang telah menjalani kehidupan bersama hampir tiga puluh tahun. Masa ketika satu pasangan seharusnya sudah mampu menghadapi krisis kehidupan dalam keseimbangan, ketenangan, dukungan satu sama lain, saling terbuka, dan pengertian. Lantas, ia tidak habis pikir, mengapa kehidupan dalam pernikahan orang tuanya bisa berbalik menjadi sedemikian rumit?
“Ayah, kalian bertengkar? Apa masalahnya?”
“Ibumu sangat keras kepala dan Ayah tidak bisa melarangnya.”
“Ayah harus bicara dengan Ibu dan selesaikan masalahnya, tolonglah.”
“Alena, dengarkan dulu. Ayah sangat menyesal. Tolong beri tahu ibumu kalau Ayah sangat mencintainya.”
“Kenapa Ayah tidak memberitahunya sendiri? Aku tidak bisa menyelesaikan masalah kalian.”
Alena menutup teleponnya sambil menutup mata dan menghela napas panjang. Ia tidak mau menjadikan persoalan orang tuanya sebagai beban yang bisa membuatnya kacau untuk berpikir, apalagi ia sudah mempunyai kehidupan sendiri.
“Maafkan Ibu, Alena. Ini hanya sebentar.”
“Baiklah, Ibu bisa tinggal di sini, tentu saja. Tapi, aku harus memberitahu Ibu. Aku bekerja sepuluh jam sehari. Ketika pulang, kadang aku hanya ingin bersantai, bertemu teman-teman, kadang pula, aku harus berkutat dengan pekerjaan kantor yang belum selesai. Jadi, Ibu tidak boleh mengeluhkan keseharianku.”